Disukai
1
Dilihat
4,211
Amayadori
Romantis

Apa kau masih mengingat cinta pertamamu? Aku masih. Lebih tepatnya, aku tidak pernah benar-benar berusaha melupakannya.

Gadis itu cerah, seperti matahari. Berkebalikan denganku, si pembawa hujan.

Pertemuan pertama kami terjadi di bawah derai hujan. Hari itu aku tidak langsung pulang ke rumah, sekalipun klub sepak bola yang kuikuti diliburkan karena Kinoshita-sensei sedang sakit. Aku tidak ingin pulang, karena pulang berarti mendengar ibuku memaki ayahku, yang akan dibalas dengan tamparan dan teriakan yang lebih keras. Selalu. Setiap hari. Jadi aku tidak pulang. Aku memilih berteduh di bawah perosotan besar di taman dekat sekolah, yang cat kuningnya sudah banyak mengelupas, menunggu hingga hujan—juga pertengkaran mengerikan itu—mereda. Ayahku akan keluar rumah saat hari sudah gelap, menghamburkan uang yang didapat ibuku dengan bekerja di kedai bento dari subuh hingga sore bersama teman-teman pemabuknya, dan itu berarti tidak akan ada teriakan setidaknya hingga pagi kembali datang bersama pengacau itu.

Biasanya, aku menunggu sendirian. Kadang ditemani seekor anak anjing yang bosan meringkuk di dalam kardus tempat pemiliknya meninggalkannya di taman itu, atau burung gereja yang selalu terbang menjauh tiap kali aku mengulurkan tanganku ke arahnya. Aku selalu menunggu sendirian, hingga hari itu. Hingga gadis itu berlari menembus hujan ke bawah perosotan, lalu berjongkok di sisiku sambil memeluk ransel merahnya. Rok motif kotak-kotaknya tampak mahal, begitu juga pita besar yang menghiasi kuncir kudanya. Aku sempat melirik sekilas ke arahnya dan membaca nama yang tertera pada gantungan ritsleting ranselnya.

Hanaoka. ‘Bukit berbunga’.

Saat gadis itu tiba-tiba saja membalas tatapanku, aku buru-buru membuang pandang.

“Kau terluka,” katanya, menyodorkan selembar saputangan berenda ke arahku. Aku bahkan tidak berharap diajak bicara, tapi ia malah berniat meminjamkan saputangannya yang bersih dan jelas-jelas mahal juga itu padaku.

“Lututmu berdarah,” gadis itu menggoyangkan saputangan yang ia pegang karena aku diam saja, “Tapi aku tidak punya plester.”

Aku menatap saputangan putihnya selama beberapa saat, lalu menggeleng.

“Tidak usah,” tolakku, tapi gadis itu rupanya keras kepala. Tanpa permisi, ia menekankan saputangan putihnya itu pada luka berdarah di lututku. Saat aku melongo menatapnya, ia balas menatapku dengan tampang serius.

“Nanti infeksi,” katanya, “Lalu lukamu bakal bernanah. Lalu kakimu harus dipotong dan kau tidak bisa main sepak bola lagi. Mau begitu?”

Aku tidak tahu harus tertawa karena ancaman hiperbolanya atau karena ia tahu aku main sepak bola di saat aku bahkan tidak pernah melihatnya sebelum ini. Kami tidak satu sekolah dan aku bukan bintang di lapangan. Jadi mana mungkin gadis ini ternyata penggemar rahasiaku dari sekolah tetangga?

“Tahu dari mana?” aku balas bertanya, pada akhirnya tidak jadi tertawa.

“Ibuku yang bilang,” gadis itu menjawab.

“Bukan nanahnya,” sahutku, “Kau tahu dari mana aku main bola?”

Pandangan gadis itu pun bergeser ke bawah, ke arah kaus kaki hitam yang kukenakan.

“Teman sekelasku begitu juga,” katanya, “Kaus kakinya setinggi kaus kakimu dan dia kapten klub sepakbola di sekolah.”

“Oh,” komentarku, tidak tahu mesti menanggapi bagaimana. Aku ganti menatap saputangan putih gadis itu yang sekarang terpaksa kupegangi menutupi luka di lututku, lalu menemukan sepasang huruf kanji dibordir pada ujungnya.

“Mika,” aku membacanya. ‘Bunga yang indah’. Gadis ini punya dua huruf ‘bunga’ pada namanya.

“Tapi aku dipanggil ‘Hanami’ di sekolah,” gerutunya, dan aku tertawa.

“Maaf,” kataku cepat-cepat saat gadis itu, Hanaoka Mika, merengut ke arahku, “Tapi... namamu cantik.”

Secantik pemiliknya.

“Terima kasih,” rengutannya sudah berubah menjadi cengiran, “Kalau kau? Namamu siapa?”

Aku tidak sudi menyebut nama belakang yang diwariskan pemabuk itu padaku, jadi aku menjawab, “...Riku.”

“Riku,” Hanaoka Mika mengulang, lalu tersenyum sekali lagi padaku, “Kalau begitu, kau boleh memanggilku Mika.”

Dan dari sanalah segalanya bermula.

 

***

 

Aku dan Mika tidak bertemu setiap hari. Hanya pada hari-hari berhujan, saat kami berteduh bersama di bawah perosotan kuning itu sepulang sekolah. Kami biasa bertukar cerita tentang nyaris apa saja: kelinci gemuk yang ia pelihara di rumah, toko kue yang baru buka di ujung jalan, klub sepak bola yang kuikuti, juga les balet yang selalu dihindarinya setiap minggu dengan berbagai alasan. Apa saja, kecuali kekacauan di rumahku dan juga asal sekolahnya. Entah kenapa aku tidak pernah bertanya di mana Mika bersekolah, dan gadis itu juga sama saja. Dan aku selalu mengakhiri pertemuan kami di bawah hujan itu dengan satu kalimat yang sama.

“Aku lupa mencuci saputanganmu,” kataku saat hujan sudah reda dan gadis itu berdiri, bersiap pulang.

“Tidak masalah,” ia menyahut, selalu sama juga, “Lain kali saja.”

Setelahnya, kami akan bertukar ‘sampai jumpa lagi’ sembari saling melambai dan aku akan menghabiskan beberapa saat berjongkok di bawah perosotan sambil memperhatikan sosoknya yang berlari menjauh hingga menghilang dari pandanganku. Selalu. Setiap kali.

Bukannya aku pelupa. Saputangan itu sejatinya sudah kucuci sejak hari Mika meminjamkannya padaku. Juga selalu kubawa-bawa di dalam tas, terlipat rapi di antara buku-buku tulisku. Aku hanya mencari alasan agar tidak perlu mengembalikan benda itu cepat-cepat, karena mengembalikannya terasa seperti memutus satu-satunya benang merah yang menghubungkanku dengan gadis itu. Mengembalikannya berarti tidak ada lagi ‘lain kali saja’, dan entah kenapa aku tidak mau itu terjadi. Jadi aku selalu mengaku lupa mencucinya—yang buat Mika tampaknya sama sekali bukan masalah besar—hingga hari itu tiba-tiba datang dan aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengembalikan saputangan itu pada pemiliknya.

Waktu itu hanya beberapa bulan menjelang kenaikan ke kelas enam. Segalanya berlangsung normal dari pagi, hingga wali kelasku menyuruhku ikut dengannya ke ruang guru sepulang sekolah karena ibuku sudah menunggu di sana. Ibu menunggu dengan sebuah koper besar di sebelahnya, dan setelah pembicaraan panjang yang tak kupahami antara Ibu dan kepala sekolahku, aku diberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhirku bersekolah di sana. Ibu bahkan mengajakku berpamitan pada guru pembina serta rekan-rekan di klub sepak bolaku—yang sama sekali tidak terharu mendengarku pergi—sebelum mengajakku meninggalkan sekolah menuju stasiun kereta terdekat.

“Kita mau ke mana?” aku bertanya waktu itu, “Ayah bagaimana?”

“Kita pergi dari sini,” jawab ibuku, “Dan lupakan orang itu. Dia sudah bukan ayahmu lagi.”

Baru dua minggu setelahnya aku paham, rupanya ibuku bercerai dengan ayahku. Dan walaupun menjadi mantan suami ibuku tidak bisa membuat pemabuk itu—sayangnya—menjadi mantan ayahku, setidaknya pria itu tidak pernah muncul lagi untuk mengacaukan kehidupanku. Ibuku menikah lagi dengan seorang pemilik kedai di kota tempat tinggal kami yang baru dua tahun setelah kami pindah ke sana, dan aku beruntung suami barunya itu adalah pria tulus berhati hangat yang sayang padaku. Ia bahkan bersorak lebih keras daripada ibuku sewaktu tahu aku diterima di Universitas Tokyo dan menangis tersedu-sedu saking senangnya saat aku memberitahunya aku diterima bekerja di salah satu firma hukum terbesar di ibukota setelah lulus.

Singkatnya, kepindahanku dari kota kelahiranku hari itu benar-benar seperti semacam tombol reset yang menjungkirkan hidupku ke arah yang lebih baik. Hanya satu hal yang selalu kusesali dari hari itu: aku tidak pernah sempat berpamitan pada Mika. Aku tidak pernah mengembalikan saputangan putihnya dan ‘lain kali saja’ yang dulu selalu kutunggu-tunggu tidak pernah datang lagi.

Kupikir aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan gadis itu, hingga setumpuk berkas diletakkan di atas meja kerjaku pagi ini, tepat dua puluh tahun sejak hari aku meninggalkan kota kelahiranku. Berkas atas nama Tachibana Mika, seorang perempuan seusiaku yang dituduh menusuk suaminya sendiri dengan pisau dapur hingga mati kehabisan darah.

Klien baru yang harus kubela, sekaligus si pemilik saputangan putih yang sampai hari ini selalu kubawa-bawa di dalam tas kerjaku, terlipat rapi di antara buku-bukuku.

 

***

 

Sensei? Kenapa?”

Suara Hiyama, asistenku, membuyarkan lamunanku. Aku masih berdiri di mulut lorong yang akan mengantarku ke ruangan tempat aku akan bertemu Tachibana Mika untuk pertama kalinya sejak berkasnya mendarat di meja kerjaku, sementara asistenku itu sudah mendahuluiku beberapa langkah. Ia berhenti karena aku tidak juga mengikutinya.

“Tidak apa-apa,” tukasku sebelum pemuda itu memperpanjang pertanyaannya, “Ayo.”

Aku menjejerinya dan kami pun berjalan bersisian.

“Anda memang jadi sering melamun sejak mendapat kasus ini atau hanya perasaan saya saja?” Hiyama berkomentar lagi, melirikku ingin tahu.

“Hanya perasaanmu saja,” jawabku cepat. Sekalipun jantungku sekarang rasanya hampir meledak di dalam dada, aku memilih tidak memberitahukannya pada asistenku itu. Hiyama pemuda yang bawel—kalau saja ia tidak cerdas dan memiliki selera berpakaian yang bagus sehingga seringkali menyelamatkanku dari pilihan dasi yang menyedihkan, aku mungkin sudah memintanya diganti dengan orang lain yang lebih bisa menjaga mulut.

Aku memang belum bisa memastikan Tachibana Mika yang akan kubela ini adalah orang yang sama dengan Hanaoka Mika yang berteduh bersamaku di bawah perosotan dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya melihat potretnya, dan sekalipun kedengarannya agak mustahil mengenali seseorang setelah dua dekade tidak bertemu, aku cukup yakin aku tidak keliru. Bukan karena aku diam-diam masih ingin bertemu dengan Hanaoka Mika, bukan juga karena nama depan mereka dituliskan dalam dua huruf kanji yang sama, tapi karena mereka memang dua orang yang sama. Benar atau tidak, aku akan membuktikannya sebentar lagi.

Udara di sekitarku mendadak terasa pengap saat kami berhenti di depan pintu ruangan itu. Hiyama membukakannya untukku, tapi aku menyuruhnya masuk duluan. Asistenku itu menurut, sementara aku berlambat-lambat mengikutinya masuk dengan jantung berdebar seperti orang bodoh. Dan paru-paruku seolah lumpuh sejenak saat mataku menangkap sosok seorang perempuan yang duduk dengan kepala tertunduk di balik sekat kaca hanya beberapa langkah di depanku.

Aku tidak salah. Itu memang Mika.

Sensei?” Hiyama mendesis saat melihatku mematung di ambang pintu, membuatku buru-buru menyembunyikan raut terkejut—atau entah bagaimana aku harus menyebutnya—yang sempat mewarnai wajahku. Aku berdeham pelan karena tenggorokanku mendadak terasa kering, sebelum mengikuti Hiyama dan duduk di seberang Tachibana Mika, dengan sekat kaca berdiri tegak di antara kami.

Sesuai yang sudah kusuruhkan padanya, Hiyama membuka pembicaraan dan menjelaskan siapa kami serta untuk apa kami berdua datang menemuinya hari ini. Aku tidak menyimak sepatah kata pun yang diucapkan pemuda itu karena perhatianku tercurah sepenuhnya pada satu sosok yang duduk di depan kami, yang hari ini tampak begitu familier sekaligus asing di saat yang sama.

Tidak seperti Mika yang kuingat, Mika yang duduk di depanku saat ini tampak seperti sekuntum bunga yang layu. Wajahnya pucat, pipinya tirus, sinar matanya redup, dan rambut lurusnya yang dulu cukup panjang untuk dikuncir kuda hanya tinggal sebahu sekarang, menjuntai turun menutupi sebagian wajahnya walaupun tidak berhasil menyembunyikan bekas memar di sudut bibirnya. Aku tahu ia menjadi korban kekerasan yang dilakukan suaminya sendiri dari berkas kasusnya, tapi melihat buktinya secara langsung ternyata jauh lebih menyakitkan daripada membacanya saja.

Secuil penyesalan yang bertahun-tahun mengendap di sudut hatiku begitu saja membengkak tanpa bisa kukendalikan, memberondong benakku dengan belasan ‘seandainya’. Seandainya dulu aku tidak pindah begitu saja tanpa berpamitan padanya. Seandainya dulu aku berusaha lebih keras mencarinya. Seandainya dulu aku punya lebih banyak keberanian daripada sekadar mengaguminya dalam diam. Tidak ada yang tahu akan bagaimana jadinya kami sekarang seandainya dulu aku melakukan satu saja hal yang berbeda, tapi aku juga tahu tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah apa yang sudah berlalu. Suka tidak suka, di sinilah kami sekarang: seorang pengacara dan kliennya. Dari ribuan cara yang mungkin mempertemukan kami berdua kembali, hidup memilih salah satu yang paling kejam untuk kami.

“Hiyama,” aku akhirnya bersuara, menginterupsi penjelasan panjang lebar asistenku yang entah sudah sampai di mana. Hiyama menoleh ke arahku, sementara Mika masih tertunduk tanpa reaksi di depan kami berdua.

“Ponselku tertinggal di kantor,” aku menyambung, masih menatap lekat-lekat sosok di depanku. Dari sudut mataku, kulihat Hiyama mengerjap kebingungan. Aku menunggu sesaat, dan karena pemuda itu tidak kunjung melontarkan kalimat yang ingin kudengar, aku pun membalas tatapannya, menambahkan, “Kembalilah ke kantor. Ambilkan untukku.”

Kali ini, kedua alis Hiyama terangkat tinggi. Ia sempat melempar lirikan ke arah Mika yang masih betah memandangi lututnya sendiri sebelum kembali menatapku.

“Sekarang... Sensei?”

Aku mengangguk.

“Tapi—”

“Sekarang. Tolong.”

Hiyama mengatupkan bibirnya, lalu berdiri perlahan dengan berat hati. Sekalipun aku tahu ia ingin menggerutu, ia tidak mengatakannya terang-terangan padaku. Mungkin nanti, entah di mobil dalam perjalanan meninggalkan tempat ini atau saat sudah sampai di kantor, tapi aku tidak begitu peduli. Hanya dalam hitungan detik, Hiyama pun meninggalkanku berdua saja dengan Mika di ruangan ini. Kuanggap polisi berwajah datar yang berdiri di sudut ruangan di belakang Mika tidak masuk hitungan.

Hening yang memenuhi ruangan ini terasa menyesakkan. Aku menghabiskan beberapa saat lagi memandangi sosok di depanku—yang tidak juga mengangkat muka untuk sekadar membalas tatapanku—hingga aku membuka mulut.

“Aku lupa mencuci saputanganmu.”

Untuk pertama kalinya sejak aku menginjakkan kaki di ruangan ini, Mika mendongak. Sepasang matanya yang sayu melebar saat beradu pandang denganku, dan dari lautan emosi yang kulihat di dalam sana, aku menangkap satu hal. Ia mengenaliku.

“...Riku?” ia menggumam, entah tidak percaya aku masih mengingatnya atau tidak percaya akulah yang sedang duduk di hadapannya sekarang. Aku membiarkan sebentuk senyum tipis menghiasi wajahku saat aku mengangguk.

“Lama tidak ketemu,” kataku, melontarkan satu-satunya kalimat yang terpikirkan oleh otakku yang nyaris beku setelah melihat Mika membalas tatapanku dan mendengar suaranya melafalkan namaku. Lagi, setelah dua puluh tahun.

Mika tertegun selama beberapa saat, menatap wajahku dengan cara yang tidak bisa kudeskripsikan sebelum tatapannya itu turun dan berhenti pada pin berlambang neraca yang tersemat pada kerah jasku. Kedua ujung bibirnya terangkat sedikit saat ia melihat benda itu.

“Riku pengacara sekarang,” komentarnya, “Keren.”

Aku tertawa kecil, kedengaran begitu canggung dan tidak pada tempatnya.

“Masih main bola?” ia bertanya, dan aku menggeleng.

“Lututku sempat cedera parah waktu SMP, jadi aku berhenti.”

Mika mengangguk maklum, lalu bersuara lagi.

“Jadi nama belakangmu Amemiya,” katanya, “Aku baru tahu.”

Aku mengedikkan bahu, sedikit merasa bersalah tidak pernah memberitahunya dulu sementara aku sendiri tahu nama lengkapnya.

“Dulu Ameno,” aku pun memberitahunya, “Sebelum orang tuaku bercerai, lalu kami pindah ke Yokohama dan ibuku menikah lagi dengan Amemiya-san, ayahku yang sekarang.”

Mika tercenung mendengar jawabanku, sebelum senyumnya melebar walaupun sedikit.

“Pantas saja selalu hujan kalau kita ketemu.”

Butuh beberapa detik sebelum aku menangkap maksudnya, lalu tertawa sendiri. Iya juga, aku baru sadar nama belakangku selalu mengandung huruf ‘ame’—hujan. Tawaku menular pada Mika dan selama sesaat, rasanya kami berdua seperti terlempar kembali ke bawah perosotan kuning di taman itu, ke hari-hari berhujan saat kami bebas berbagi cerita tentang apa saja. Mika yang duduk di depanku kembali menjelma menjadi bunga matahari yang mekar sempurna, hingga senyum di wajahnya meredup dan tatapannya padaku berubah sedih.

“Maaf, ya,” katanya, “Kita harus ketemu lagi dalam keadaan begini.”

Buru-buru aku menggeleng.

“Aku yang seharusnya minta maaf,” sahutku, “Aku... tidak pamit padamu dulu.”

Mika terdiam sesaat, sebelum kembali menunduk dan menatap lututnya.

“Aku selalu ke sana tiap hari,” ia lalu menggumam, lirih, “...Taman itu. Bahkan saat hari tidak hujan. Aku selalu ke sana sepulang sekolah, tapi aku tidak pernah bertemu denganmu lagi.”

Begitu saja, rasanya seperti ada sebongkah batu besar muncul entah dari mana, menyumbat tenggorokanku yang mendadak kering. Belum sempat aku menyahut, Mika mendongak lagi dan kembali menatapku dengan senyumnya yang sedih.

“Tapi melihatmu begini sekarang, aku ikut senang.”

Aku tidak. Aku tidak senang melihatmu begini sekarang. Aku mungkin tidak benar-benar mengucapkannya, tapi kurasa Mika bisa membacanya dari caraku menatapnya. Senyumnya yang sedih pun meluruh juga, dan aku bisa melihat sepasang matanya basah saat ia berbisik, nyaris terdengar seperti memohon, “...Aku tidak melakukannya. Itu kecelakaan.”

Sebagai pengacara, aku tahu aku tidak seharusnya percaya mentah-mentah apa yang dikatakan orang lain padaku, tapi aku mempercayainya. Aku percaya Mika memang tidak melakukan apa pun itu yang dituduhkan padanya.

“Aku tahu,” sahutku, “Dan aku akan mengeluarkanmu dari sini.”

 

***

 

Aku mengakhiri pertarungan berbulan-bulan di pengadilan dengan kemenangan yang manis. Mika menangis dalam diam pada hari pembacaan vonisnya, saat ia dinyatakan tidak bersalah atas kematian suami yang semasa hidup kerap memukulinya itu. Ia sempat menghampiriku seusai sidang, tapi saat aku mengulurkan tangan kananku untuk menjabat tangannya, ia lebih memilih membungkuk dalam-dalam tanpa menyambut uluran tanganku, lalu berpamitan dengan sepatah ‘terima kasih’.

Setelah segalanya usai, Mika memutuskan pindah ke sebuah kota kecil di pinggir pantai untuk menenangkan diri. Ia tinggal di semacam shelter milik sebuah yayasan sosial yang memang fokus membantu wanita-wanita korban kekerasan domestik sepertinya, serta anak-anak yang ditelantarkan karena alasan serupa. Orang tua Mika memang sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat lebih dari lima tahun yang lalu, dan setelah kematian suaminya, baik Mika maupun keluarga pria itu tidak berniat memperpanjang hubungan baik—kalau memang bisa disebut begitu—yang sempat terjalin di antara mereka. Ia juga memilih menggunakan kembali nama Hanaoka alih-alih nama belakang mendiang suaminya.

Aku sendiri rutin mengunjunginya tiap akhir pekan sejak ia mulai tinggal di sana. Sejujurnya aku ingin datang lebih sering, tapi menumpuknya pekerjaan serta perjalanan pulang-pergi yang memakan waktu tiga jam naik kereta dari apartemenku ke tempat itu membuatku harus puas bertemu Mika hanya sekali seminggu. Hanya Hiyama yang tahu soal agenda akhir pekanku ini, dan pemuda bawel itu bilang ia ikut senang melihatku terang-terangan mendekati seorang wanita seperti ini setelah melajang bertahun-tahun. Saya pikir selama ini Anda suka cowok, katanya, dan sekalipun ia beranggapan aku jatuh cinta pada Mika gara-gara menghabiskan berbulan-bulan membelanya sepanjang proses persidangan, aku tidak merasa perlu meluruskannya dengan menceritakan sejarahku dan Mika yang sebenarnya. Itu rahasia kami berdua—orang luar tidak perlu tahu.

Kembali soal Mika, aku senang melihat keadaannya berangsur membaik tiap kali aku datang. Walaupun tidak lagi seceria dulu, binar yang sempat hilang dari kedua matanya perlahan kembali. Ia bahkan sudah mulai ikut membantu mengurusi shelter tempatnya tinggal sekaligus memberikan dukungan moral pada anggota lain yang baru datang. Ia tersenyum lebih sering, bicara lebih banyak, dan perlahan tapi pasti, ia kembali menjadi seperti Mika yang selalu kuingat. Bunga indah yang secerah matahari.

Dan hari ini, saat aku membantunya menjemur seprai di teras samping yang menghadap ke laut setelah rutin mengunjunginya selama enam bulan, Mika bertanya padaku.

“Kenapa?”

Aku menatapnya, mengerjap beberapa kali.

“Kenapa?” tanyaku balik, dan Mika menatapku lekat-lekat. Luar biasa bagaimana hanya bertukar pandang dengannya seperti ini sudah cukup untuk membuat irama detak jantungku melenceng dari normal. Dulu aku tidak tahu apa namanya ini, tapi sekarang aku paham.

“Kenapa kau selalu datang mengunjungiku kemari?” Mika memperjelas pertanyaannya.

Sekalipun jawabannya sudah jelas, aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.

“Kau keberatan?” aku malah balik bertanya.

Mika tertawa kecil, menggeleng.

“Aku hanya heran,” katanya, “Ini akhir pekan. Kau seharusnya pergi berkencan dengan pacarmu, bukannya malah menjemur seprai bersamaku di sini.”

Perkataannya membuatku tertawa.

“Aku tidak punya pacar,” kataku jujur, membuat Mika menatapku seolah aku baru saja mengaku kalau aku ini ternyata perempuan. Cukup lama ia terdiam, sebelum aku mendengarnya bertanya lagi.

“Kenapa?”

Kali ini aku paham apa yang ia tanyakan, dan aku pun memilih menjawab jujur. Jujur sejujur-jujurnya. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan lagi seperti dua puluh tahun lalu.

“Karena aku menyukaimu. Dan setelah menghabiskan dua puluh tahun hidupku menyukai satu orang yang sama, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menyukai orang lain.”

Sekalipun terkejut, Mika tidak terang-terangan menunjukkannya. Atau mungkin, ia memang tidak sekaget itu. Ia hanya membuang muka, lalu berjalan ke tepian teras dan menatap jauh ke arah laut lepas. Aku pun berdiri menjejerinya, dan Mika masih tidak menatapku saat ia bersuara lagi, melontarkan satu pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.

“...Kenapa?”

Aku turut menatap laut lepas yang menghampar di hadapan kami.

“Aku tidak tahu. Mungkin karena kau berteduh bersamaku hari itu.”

Mika menoleh, dan aku tersenyum membalas tatapannya.

“Karena untuk pertama kalinya, aku tidak menunggu sendirian di bawah hujan. Dan kau yang membuatnya begitu.”

Mika kembali membuang pandang, tapi kali ini aku bisa melihat rona kemerahan mewarnai kedua pipinya. Wajahnya tampak gelisah di saat yang sama, membuatku tergerak berbicara lagi.

“Kau tidak perlu menjawabku saat ini juga, aku bisa menunggu,” kataku, “Aku sudah melakukannya dengan baik selama dua puluh tahun jadi, yah, tidak masalah melakukannya sedikit lebih lama lagi.”

Mika tertawa kecil mendengarnya.

“...Riku bego,” ia menggumam.

“Kau orang pertama yang menyebutku bego,” sahutku, dan kami berdua tertawa bersama. Hening kembali menyusup di antara kami setelah tawa kami reda—hanya debur ombak serta lengkingan camar di kejauhan yang terdengar, hingga Mika menjadi yang pertama bersuara di antara kami berdua.

“Saputanganku,” katanya, “Kau masih menyimpannya?”

Aku mengerjap, mengangguk perlahan.

“...Kau mau aku mengembalikannya padamu?”

Diam-diam aku takut Mika mengiakan, tapi wanita itu hanya menatapku, lalu tersenyum.

“Lain kali saja,” jawabnya lembut, “Kalau kau sudah tidak lupa mencucinya.”


******


Picture for cover credit to Aleksandra Boguslawska on Unsplash, edited by me

Juga di-post di Ruang Menulis Bentang, Oktober-November 2021

Juga di-post di Wattpad (@fanny_fc), 22 Maret 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar