Disukai
0
Dilihat
2,532
Amaryllis, Simbol Dara dan Mandala Bunga
Drama

 

Anggi melirik Dion yang sedang kusyuk membaca bukunya. Pria yang ia kenal 4 bulan terakhir ini memiliki garis rahang tegas yang semakin ia perhatikan, semakin membuatnya terpana. Di bawah telinganya, ada sebuah tattoo simpul dara yang memiliki makna luar biasa dan membuatnya semakin menarik. Anggi tahu, bukan saatnya ia jatuh cinta. Tapi menurutnya di tengah polemik hidupnya, kehadiran Dion seolah oase di tengah padang pasir. Pertemuan yang tidak sengaja di perpustakaan umum ini 4 bulan lalu membuatnya menyadari satu hal, dirinya berharga seperti apapun keadaannya dan apapun kesalahan yang pernah ia lakukan.

Mengingat hal itu, membuatnya terlempar pada saat pertama kali bertemu Dion di teras perpustakaan ini. Saat itu ia terburu-buru keluar dari perpustakaan dan menabrak pria itu dengan kasar. Ya, Anggi memang sedang marah saat itu dan berjalan dengan kasar, ia sedang mempersiapkan tes ujian masuk perguruan tinggi yang sudah ia tunda selama 2 tahun dalam keadaan tak baik-baik saja. Namun, di tengah sibuknya ia mengejar ketertinggalan materi ia kembali menerima pesan berisi makian dari sang ayah dan keluarganya. Mereka selalu meremehkan dan menyalahkan masa lalu Anggi. Masa lalunya ketika ia salah mengenal pria hingga terperosok pada kehidupan seks bebas dan hamil. Namun sialnya, pria itu tak mau bertanggung jawab dan meninggalkannya begitu saja. Usianya yang terlalu muda dan mental yang tidak siap membuat kehamilannya yang tanpa persiapan itu semakin menghancurkan hidupnya, karena putranya terlahir prematur.

Setelah perang batin yang luar biasa, cemohan keluarga, bahkan orang tuanya yang kecewa padanya, Anggi akhirnya berusaha menerima keadaan dirinya. Namun, lagi-lagi dunia mengujinya, putranya hanya bertahan selama 3 bulan dan pergi meninggalkannya. Anggi menghabiskan sisa tahun kemarin dengan suram. Ia butuh waktu untuk menerima rentetan kejadian menguras emosi itu tapi keluarganya tak peduli dengan apa yang ia rasakan, orang tuanya yang merasa malu atas kebodohan yang ia lakukan tak sabar untuk memberinya waktu sejenak berdamai dan memaksanya untuk melanjutkan kembali kuliahnya yang terhenti 2 tahun lalu. Tentunya dengan tak lupa membandingkan dirinya dengan adiknya. Berharap itu akan memotivasinya, namun kenyataannya, apa yang orang tuanya lalukan adalah mencabut perlahan otot kakinya hingga membuatnya lemas serta tak lagi mampu berjalan.

Saat itu Anggi melihat Dion terpental karena menabraknya hingga sikunya membentur ujung pagar beton perpustakaan. Sontak ia meminta maaf dan bertanya keadaan pria itu. Ia melihat pria itu memeriksa sikunya, ia menyingsingkan lengan kemejanya dan membuat tattoo berupa symbol seperti bunga yang berada di lengannya terlihat. Ternyata sikunya berdarah hingga membuat Anggi terkejut dan merasa bersalah.

“Astaga, kau berdarah!” Anggi lalu duduk di samping pria itu dan mengulurkan tangan untuk memeriksa luka Dion.

Pria itu melihat Anggi dengan terkejut karena tiba-tiba wajah Anggi sudah berjarak tidak sampai 30 cm di depan wajahnya. Ia lalu melihat ke arah tangan Anggi yang memeriksa sikunya, awalnya pria itu membiarkan Anggi memeriksa dirinya seraya berkata bahwa ia baik-baik saja. Namun, saat menyadari jari telunjuk Anggi dibalut plester, ia langsung menepis tangan Anggi.

“Jangan!” serunya.

“Hah?!” Anggi terkejut mendapat penolakan yang tiba-tiba dan tepisan yang kencang, hingga secara tak sadar ia menunjukkan ekspresi tersinggung di wajahnya.

“Ah, maaf. Bukan maksudku untuk kasar. Aku tidak apa-apa. Sungguh!” ucapnya seolah mengerti bahwa sikapnya membuat gadis itu tersinggung. Ia lalu bergegas bangun dan berusaha pergi dari sana.

“Tunggu. Siapa namamu? Kau pengunjung di sini?” tanya Anggi tepat setelah pria itu membalik badannya sebelum beranjak pergi.

“Dion, aku pengunjung tetap di sini.”

“Setidaknya ijinkan aku bertanggung jawab atas lukamu karena keteledoranku,” ucap Anggi tanpa basi-basi. Namun pria itu menggeleng dan segera kabur. Anggi mengejarnya hingga ke toilet pria, tempat pria itu menghilang. Sebenarnya Anggi sedang kesal karena pesan yang ayahnya kirim dan makiannya tapi kejadian tadi membuat emosinya menjadi sedikit menurun. Ia juga tak tahu kenapa bisa begitu. Saat sedang memikirkan hal itu, pria tadi keluar dari toilet pria dengan lengan yang sudah ia bersihkan tapi masih menyisakan bercak darah.

“Astaga!” ucap Dion dengan terkejut mendapatiku menunggu di depan kamar toilet, ia tak menyangka.

Anggi melangkah maju tapi Dion mundur satu langkah dan menggelengkan kepala.

“Kenapa?” tanya Anggi.

“Aku ODHA dan kau sedang terluka,” seraya menunjuk jemari Anggi yang di plester, “itu bahaya untukmu.”

Saat itu Anggi hanya terpaku, mencerna dahulu untuk beberapa saat hingga akhirnya sadar dan menutup mulutnya karena terkejut. Tapi tak lama, ia segera menurunkan tangannya karena khawatir akan menyinggung perasaan pria itu. Anehnya Dion malah tersenyum manis, seolah sudah biasa. Dan dari sanalah mereka mulai berteman. Anggi salut dengan penerimaan Dion atas dirinya yang mengidap HIV karena keteledoran sebuah klinik yang tanpa sengaja membuatnya tertular penyakit mematikan itu. Padahal seperti kita tahu masih banyak orang yang menjauhi ODHA. Apa yang menjadi masa lalu Anggi juga tak kalah berat tapi menurut Anggi, jika ia ada di posisi Dion mungkin rasanya hanya ingin mati.

“Ehm.” Dion berdehem memecah lamunan Anggi tentang nostalgia pertemuan mereka. Anggi tersenyum canggung hingga tak lama kemudian Dion mengeluarkan sebuah kotak.

“Apa ini?” tanya Anggi bingung seraya membukanya. Sebuah kotak kaca berisi bunga berwarna nila yang diawetkan.

“Bunga Amaryllis.” jawab Dion yang membuat Anggi menaikkan kedua alisnya, tak mengerti.

“Anggi, setelah ini mungkin kita tak bisa sering bertemu, jadi aku ingin kau mengingat satu hal. Ini adalah bunga Amaryllis, lambang cinta diri, penerimaan diri, kekuatan dan keberanian. Aku ingin kau mencintai dirimu dan menerima dirimu atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Menurutku hal biasa melakukan kesalahan karena bisa jadi dari situlah kita belajar. Dan beranilah untuk terus maju dan berkembang. Karena tak mungkin membuat tattoo di tubuhmu seperti milikku, Simpul Dara dan Simbol Mandala Bunga, jadi aku menggantinya dengan bunga Amaryllis. Mereka memiliki arti yang sama.”

“Maksudnya?” tanya Anggi masih tak mengerti.

“Kau tahu akhir dari penderita HIV kan? Akhir-akhir ini penyakit penyertaku semakin sering kambuh dan memburuk. Aku tak bisa sering-sering bertemu denganmu. Jadi jika tiba-tiba aku menghilang, ingat saja yang tadi aku katakan. Ok?” Dion tersenyum santai.

Anggi hanya dia dan menatap tajam Dion yang tersenyum manis, ada bulir air mata yang membasahi pipinya. Dengan perlahan tangannya mengambil bunga Amaryllis itu dan membawanya ke pelukannya seraya mengangguk. Banyaknya kehilangan yang ia alami 2 tahun terakhir ini membuatnya tak terkejut ditinggalkan seseorang, bedanya, kali ini berakhir manis walau tetap akan menyisakan kekosongan pada akhirnya. Meski tak ada kehilangan yang indah tapi Anggi tahu, ia akan baik-baik saja.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar