Bagi Ratmi, hidup ini sudah lengkap. Tiap pagi dibukanya dengan raupan air yang mengejutkan pori-pori kulit kedua tangannya yang kurus dan tak pernah terhias cincin kawin. Basuhan berlanjut sampai ke ujung jari-jari kakinya. Dalam remang senyap kamar, kain mukena yang tak lagi cemerlang putihnya menunggu disibakkan dari lipatannya.
Bagi Ratmi, dirinya semakin utuh seusai menebar salam pada alam semesta, meski balasan tabik tak terdengar oleh telinganya. Hatinya terasa hangat. Doa dipanjatkan untuk kedua orangtuanya agar mereka tenang di alamnya. Perlindungan dan segala kebaikan bagi adik-adik beserta keluarganya. Jalan menuju cita lengkap dengan cinta yang dimudahkan bagi murid-muridnya. Bersama doa penutup sembahyangnya, Ratmi berharap mereka semua juga merasakan kenikmatan akan begitu dekatnya Sang Pencipta. Selanjutnya pagi Ratmi telah bertemu dengan kesempurnaan. Kesunyian yang bersahabat. Meski kadang berharap seseorang berbagi sapaan pagi saat Ia membuka pintu kamarnya. Namun tak apa, dua pasang parkit berseru riang menyambutnya. Cicit-cicitnya cukup menambah semangat untuk memulai pekerjaan pagi. Rumah kontrakannya tak butuh banyak waktu dan tenaga untuk disapu dan dipel. Ditambah sepuluh menit untuk memandikan beberapa pot tanaman di muka rumah. Secangkir teh hangat, Ratmi pun siap menjumpai hari.
Bagi Ratmi, seluruh harapan dalam hidupnya berkumpul pada kayuhan pertama di pedal sepeda onthelnya yang telah setia selama puluhan tahun. Harapan untuk terwujudnya cita-cita sederhana. Harapan kelak murid-muridnya menjadi pembangun bangsa ini. Di tempat-tempat terdepan negri tercinta ini. Setiap kayuhnya tak lagi lincah seperti dulu, namun cukup kuat mengajak rantai sepeda berputar meski berat.
Di seberang rumahnya, seorang bocah kurus dengan seragam putih kekuningan dan merah lusuh terbengong. Anak tetangga itu terheran memandang Ratmi dan sepedanya. Ekspresinya bertanya-tanya. Ingin bertanya tapi enggan. Ratmi melambai dan melempar senyum dari atas sepedanya pada anak itu, “Ayo, cepat berangkat, le, nanti terlambat.” Tak membalas, anak itu berlari masuk ke dalam rumahnya sambil berteriak, “Ibu…. Ibu… Bu Ratmi! Bu-bu Ratmi!”. Sang Ibu berlarian keluar rumah secepatnya. Namun Ratmi telah menjauh bersama sepedanya saat Ibu muda itu berteriak memanggil-manggil namanya. Ratmi membalas panggilan itu dengan lambaian tangan tanpa menoleh.
Ratmi dan sepedanya terus berjalan menembus pagi dengan penuh harapan. 12 kilometer bukannya sedikit apalagi untuk seusianya. Ratmi mengatur napasnya. Sedikit lagi. Nah itu dia. Bangunan sekolah sederhana dengan tembok pagar rendah telah ramai oleh anak-anak tanggung berbalut setelan putih biru. Wajah-wajah riang berbaur dengan wajah-wajah bingung yang menatapnya. Bisik-bisik hingga teriakkan menyebut namanya. Ratmi melambai ramah. Kemudian mengambil parkir untuk onthel, sang sahabat.
Tak ada risau dalam hatinya, dengan keyakinan Ia melangkah menuju ruang kantor guru. Di depan pintu Ia berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya –beberapa tahun lebih muda darinya— wajahnya yang bulat tak dapat menyembunyikan keterkejutan, melihat sosok guru sepuh itu didepannya.
“Lho, Bu Ratmi!” seru lelaki paruh baya tadi spontan.
“Pagi, Pak Tulus…” Sapa Ratmi dengan ramah.
“Pagi, Bu, Pagi! Ibu mau ketemu siapa?” Pak Tulus tak mau punya pikiran jelek, menduga yang baik saja. Siapa tahu wanita itu memang ada janji dengan seseorang di sekolah.
“Kok mau ketemu siapa? Ya ketemu semua to, Pak!” Ratmi menjawab dengan tertawa sembari masuk ke ruangan guru. Meninggalkan Pak Tulus yang belum juga kekurangan bingung.
Sekejap seluruh ruangan itu dilanda panik. Ada sebuah dugaan. Sebagian ragu, sebagian lainnya yakin. Mereka yang ragu menjadi yakin karena Sang guru yang kini membuat orang-orang disekelilingnya resah ini melenggang ke arah kursi dan mejanya. Dugaan itu nampaknya benar.
Semua seakan dikomando untuk saling berbisik. Semua saling mendorong untuk berbicara pada sang guru sepuh.
Siti Sundari bukanlah orang yang berani, tapi ia memang yang paling dekat dengan Bu Ratmi. Hanya ia yang memberanikan diri untuk maju menghadap. Sebenarnya bukanlah keberanian yang mendorongnya, melainkan iba.
“Bu…” Sundari menyapa lembut. Ia mencoba merangkai kata yang akan diucapkannya kemudian, sebaik mungkin bisa terdengar oleh guru yang diam-diam dikaguminya itu.
“Eh.. Ndari!”
“Bu…” Sundari masih tak tahu harus berkata apa. Digenggamnya tangan Ratmi. Sundari menahan tangis.
“Pagi, Bu Ratmi,” suara berat seseorang di belakang Sundari seakan menyelamatkannya dari tugas berat ini.
“Pagi, Pak Jatmiko,” Ratmi membalas sapaan bapak kepala sekolah itu. Kini mulai bingung. Kenapa semua orang di ruangan ini menatapnya dengan pandangan aneh. Seakan-akan tidak kenal siapa dirinya. Kenapa Sundari muram memegang erat tangannya.
“Mari Bu, ke ruangan saya sebentar” Ajak Jatmiko. Pria ramah itu termasuk pandai mengendalikan situasi. Ia tak ingin membuat malu Ratmi di depan guru-guru di situ. Ratmi menurut walau tak mengerti. Sundari menggandeng lengan Ratmi. Tiga orang itu keluar menuju ruang kepala sekolah di seberang. Sisanya sedikit lega kejadian tersebut telah ‘ditanggulangi’, tidak harus oleh mereka.
Sekejap yang tadinya hanya berani berbisik kini ramai berebut giliran bicara. “Ini ketiga kalinya! Yang sebelumnya saya juga menyaksikan,” Agus Salim berapi-api, kontras dengan beberapa waktu lalu, “padahal belum satu bulan dari yang sebelumnya.”
Beberapa, termasuk Ningsih, kurang suka dengan sikap Agus Salim, memang selalu cari perhatian saja dia itu. Ningsih hanya bisa mengiba, “Kasihan Bu Ratmi itu, hidup sendiri. Bagaimana ini?” Selanjutnya Ningsih saling mencurahkan segala ibanya dengan tiga orang guru lainnya. Muhammad Irman, yang baru satu minggu mengajar tak sanggup menahan penasaran. Ia mendekat kepada sekelompok guru yang sedang mengiba itu dan menyimak pembicaraan mereka.
“Kasihan,” kata ini berulang kali didengar Irman, “Mungkin belum terbiasa, kan baru beberapa bulan beliau pensiun. Juga sudah sepuh, mungkin sudah sering lupa.”
“Ah, sudah hampir setahun.”
“Pensiun? Diberhentikan maksudmu? Harusnya Bu Ratmi masih ada waktu mengajar sampai tahun depan, tapi memang pikunnya itu sudah sangat mengganggu aktivitas mengajarnya.”
Yang lain mengangguk-angguk. “Ah, kasihan…”
“Ingat waktu tiba-tiba beliau masuk ke kelas saya? Dikiranya jam pelajarannya. Dan yang mengalami begitu bukan hanya saya. Beliau memang sudah linglung, tak ingat jadwal, sering salah masuk kelas, materi yang disampaikan juga sering keliru. Yang sudah pernah disampaikan, diberikan lagi.”
“Ya, sering sekali begitu.”
“Kasihan, ya…”
“Iya, para siswa pun jadi bingung.”
“Tapi kasihan juga, ya.”
“Itu masih tidak apa-apa. Puncaknya ketika beliau mendapat giliran menjadi pembina upacara,”
“Benar. Sebelumnya perasaan saya sudah tidak enak.” Yang lain memotong.
“Pidatonya kacau, bicaranya berputar-putar, lama sekali sampai para siswa bingung dan mulai keletihan berdiri di lapangan saking lamanya.” Kini cerita ini mereka tujukan pada Muhammad Irman, guru baru itu. Tampaknya setiap guru dalam kelompok kecil itu begitu bersemangat memberikan inormasi pada Irman detil cerita tentang Bu Ratmi.
“Pak Jatmiko sampai harus menghentikan Bu Ratmi berpidato.” Yang lain menambahkan.
“Ya, kasihan memang. Tapi jelas sudah tidak bisa diteruskan lagi masa jabatannya”
“Ah, kasihan…” Lagi-lagi kasihan.
Di seberang ruangan, masih ditemani Sundari yang merangkulnya dari samping, juga bersama Bapak Kepala Sekolah di hadapannya, dan seorang guru lagi yang tadi menyusul masuk ke ruangan itu. Ratmi mencoba menangkap samar-samar kejadian yang baru saja diutarakan Jatmiko. Kapan dirinya dihentikan tugasnya? Ia tak ingat. Apa benar –bukan kata-kata yang keluar dari mulut Jatmiko, namun beginilah Ratmi menangkapnya-- Ia sudah tidak melaksanakan tugasnya dengan baik?
Ratmi menatap Sundari yang sejak tadi basah matanya, meminta peneguhan. Sundari mengagguk pelan. Ada hening panjang, sebelum Ratmi menarik napas panjang dan tersenyum, “Ternyata saya sudah pikun, ya?” Ratmi menertawakan dirinya sendiri. Yang lain, kecuali Sundari tersenyum menanggapi guyonan Ratmi.
“Padahal saya masih semangat mengajar,” lanjutnya, “Rasanya tugas saya belum selesai. Saya ingin terus mengajar.” Kembali hening. Bahkan Jatmiko pun kini tak tahu harus bilang apa.
“Mungkin Gusti Allah ingin saya istirahat saja.” Ratmi menghibur diri. Membuat para lawan bicaranya tak enak hati.
Ratmi minta pamit. Jatmiko memaksa mengantarkannya pulang, biar sepeda onthelnya diantarkan sore nanti oleh Parmin, penjaga sekolah. Ratmi menolak. Kembali dibujuk. Ratmi tetap menolak. “Kalau jalan pulang ke rumah, saya masih ingat.” Ratmi mencoba berkelakar, lagi-lagi yang lain jadi canggung.
Bagi Ratmi, semangat yang pagi tadi membuatnya bergerak pasti telah direnggut darinya. Kayuh demi kayuh bergerak pulang hanya terasa berat. Seberat dirinya mencoba menelan kenyataan. Dirinya tidak dibutuhkan lagi. Mereka ingin aku pulang saja. Mau dikemanakan gairah untuk mendidik ini?
Bagi Ratmi, sungguh kali ini ada yang keliru dalam hidupnya. Banyak orang yang tidak peduli, tapi dirinya sebaliknya dan bersedia mengesampingkan hidupnya untuk mendidik anak bangsa ini. Kenapa dirinya yang disisihkan?
Sejauh ini Ratmi hanya tahu yang harus Ia lakukan sekarang hanya pulang ke rumah. Selanjutnya tidak tahu. Mau apa setelah ini?
***
Ninuk gelisah sejak tadi pagi kalah cepat dengan laju sepeda onthel Ratmi. Ia menyambut tetangganya itu dengan wajah cemas. Ia merasa bersalah. Di desa pinggiran kota kecil ini, sebagai tetangga terdekat, Ibu muda itu merasa dirinyalah yang paling bertanggung jawab menjaga ibu guru sepuh itu. Apalagi kedua adik kandung Bu Ratmi yang tinggal jauh di luar kota menitipkan Ratmi kepadanya. Sedikit menggerundel pada suaminya, ia terima tugas mulia itu. Ia mengeluh bukan karena harus menyisihkan waktu dan tenaganya untuk Ratmi. Tidak mendapat amanah pun Ninuk akan menjaga Ratmi. Yang membuatnya tak suka adalah karena dirinya tak mengerti kenapa adik-adiknya tidak ada yang bersedia mengurus kakak kandungnya sendiri. Bahwa sebenarnya Ratmi lah yang tidak mau merepotkan adik-adiknya, Ninuk tidak tahu itu.
“Aku lupa kalau sudah pensiun, Nuk,” Kata Ratmi setelah turun dari sepeda onthelnya. “Dasar pikun!” Kelakar Ratmi, menertawakan dirinya sendiri. Ninuk tidak ikut tertawa.
“Mari saya bantu.” Ninuk mengambil alih setang onthel dari tangan Ratmi. Ratmi mengawasi Ninuk yang gesit namun hati-hati menggiring onthel masuk ke dalam teras rumah Ratmi. Hati Ratmi sedikit miris karena pikiran yang tiba-tiba saja datang. Kalaulah Ia punya anak, mungkin seusia Ninuk.
Ninuk menggandeng lengan Ratmi. “Istirahat dulu, Bu. Saya ambilkan minum.”
Seteguk air sedikit membantu Ratmi melepas penat. Tak bisa mengusir kecewanya. Keduanya sibuk berdiam. Ingin Ninuk menghibur Ratmi, tapi sungguh tak tahu caranya.
“Saya lupa.” Ratmi tiba-tiba membuka mulut, membuat Ninuk terkejut.
“Bahwa suatu saat saya akan menjadi tua,” lanjutnya. Ratmi seakan bukan berbicara pada Ninuk yang duduk di sampingnya. Kedua mata Ratmi lurus menatap entah apa.
“Tapi saya masih ingin mengajar. Kalau tidak mengajar, saya harus bagaimana? Mau apa? Bingung saya.” Kecewa. Entah pada siapa. Gelora yang pagi tadi berkumpul saat ia mengayuh sepedanya kini bersurai.
Kembali hening. Ratmi mungkin berharap Ninuk –atau siapa pun--bisa menjawab, memberikan jawaban. Masih menerka-nerka rencana Tuhan selanjutnya untuknya. Sementara Ninuk pun berharap punya jawaban yang bijak untuk membuyarkan duka di wajah Ratmi. Ingin Ia hibur hati ibu yang dulu juga pernah menjadi gurunya. Namun Ninuk tahu benar, satu-satunya yang bisa membuat Ratmi terhibur hanyalah kembali ke sekolah. Menjalani harinya seperti dulu.
Bagi Ratmi, pengabdiannya belum terasa cukup. Dalam diamnya, Ratmi menguatkan hati untuk mengucapkan selamat tinggal pada pekerjaan yang amat dicintainya. Mungkin sudah pernah dilakukannya, dirinya tak ingat betul. Biarlah. Tak cukup sekali atau dua. Setiap mengingat masa-masa pengabdiannya, Ratmi memutuskan untuk selalu mengucapkan selamat tinggal. Demi meyakinkan sebagian dirinya yang belum ikhlas melepasnya.
Bagi Ratmi, tugas berikutnya adalah membuat hidupnya kembali utuh meski dengan kehilangan yang besar.