Disukai
0
Dilihat
78
Adalah Suatu Kehormatan
Sejarah
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Putra? Bukanlah seharusnya kau diberi nama Zoon? Kau tahu, perumahan ini hanya untuk para Belanda!”

Putra berharap itu benar demikian. Andai dirinya sejak awal adalah Zoon, bukan Putra. Keturunan dari seorang Belanda murni, bukan anak pribumi yang ditelantarkan. Bahkan, meskipun dunia cukup kejam untuk tak mengizinkannya lahir dari darah seorang Belanda, setidaknya biarkan dia tetap bersama para pribumi, tanpa pernah diseret ke tengah-tengah para Belanda sedikit pun.

Berada di garis perbatasan kedua pihak seperti ini, bukan apa pun selain menyiksa. Putra hanya ingin tahu siapa dia sebenarnya, apakah dia harus menyebut dirinya sebagai pribumi ataukah Belanda? Mungkin terkesan sederhana, hanya sebuah sebutan. Namun, di tengah peperangan seperti ini, identitas dan kepada siapa berpihak, adalah poin terpenting untuk bertahan hidup.

Putra tak pernah tahu apa yang sesungguhnya terjadi kepada keluarga kandungnya. Hal paling lawas yang dapat diingat hanyalah wajah tersenyum lebar Geen saat menggendong Putra yang masih usia tiga tahun.

Semua mungkin masih sedikit lebih baik andai sang ayah—dia memanggilnya demikian, bukan ayah angkat atau sejenisnya lantaran terlalu bingung—hanyalah orang Belanda. Namun, nyatanya, Johannes van Geen adalah Kepala Pabrik Gula Purwoasri, industri dengan penghasilan terbesar di daerah tersebut.

Posisi tinggi sang ayah membawa Putra ikut naik, tetapi itu sama sekali bukan hal yang baik. Putra belajar di sekolah Belanda saat ini. Usia enam belas tahun, dia akan lulus tahun depan. Teman-temannya didominasi para anak Belanda, pribumi hanya beberapa, kemudian yang sangat langka, Indo-Belanda alias berdarah campuran.

Putra berteman baik dengan para anak Belanda, itu pun entah karena mereka memang menoleransi perbedaan atau hanya karena Putra adalah anak yang dirawat oleh orang Belanda yang begitu dihormati. Terlepas dari itu semua, Putra memang bisa merasakan bahwa kata teman di antara mereka tak lebih dari sebuah rangkaian huruf di atas kertas. Orang yang benar-benar dekat dengannya adalah Edie, seorang pemuda pribumi berusia 22 tahun yang sudah seperti kakak kandung.

Yang pasti Putra rasakan saat ini, usianya yang sudah melewati pertengahan belasan tahun, tak ada lagi rasa aman dan perlindungan untuk anak kecil. Kemudian, Putra mengetahui dunia benar-benar menagih jawaban atas pertanyaan, “Siapakah dirimu?” saat tentara Jepang datang di tahun 1942.

“Putra, masuklah ke dalam rumah!” Edie mendorongnya kencang, saat suara tembakan tiba-tiba bersahut-sahutan dengan kencang. Putra sudah kerap menyaksikan situasi panas beberapa kali akibat gesekan antara pribumi dengan para Belanda, tetapi yang satu ini benar-benar kekacauan hebat.

“Mereka menginginkanku.” Ayahnya, Geen, tiba-tiba berjalan menuju pintu depan rumah.

“Ayah, tunggu!”

“Mengapa? Kau sungguh ... menghentikanku? Bukan diam-diam berharap aku terbunuh oleh mereka?”

“Itu ....” 

“Putra, ingatlah siapa dirimu. Hingga kau menemukan keyakinan, bersembunyilah dahulu.” 

Geen benar-benar meninggalkan rumah dan terjun ke tengah kekacauan hari itu. Sementara Putra hanya bisa tenggelam dalam keragu-raguan dan rasa takut yang mengguncang tubuhnya. “Aku ini siapa? Aku jelas-jelas seorang pribumi! Aku ingin tanah ini segera bebas dari bangsa asing. Namun ... ayahku ... aku, tak bisa mengkhianatinya. Aku harus bagaimana?”

Pertempuran itu dimenangkan tentara Jepang, mereka mengambil alih kekuasaan di Purwoasri, sedangkan para tentara dan orang penting Belanda, termasuk Geen, terpaksa meninggalkan tempat ini.

Itu sudah tiga setengah tahun lalu dan Putra hampir lupa bagaimana persisnya peristiwa di hari tersebut, saat Edie menghampirinya di tengah jam istirahat para pekerja Pabrik Gula Purwoasri dan mengatakan, "Putra, aku membutuhkan bantuanmu."

Hanya dengan satu kalimat, Putra merasakan ada yang tidak beres. Benar saja, kalimat selanjutnya Edie adalah, "Aku ingin kau mengumpulkan pemuda."

Pertempuran dengan tujuan mengusir Belanda beberapa tahun lalu, dilakukan tentara Jepang atas permintaan para pribumi. Sebagai gantinya, Jepang ingin memiliki kekuasaan di Purwoasri selama tiga setengah tahun. Namun, omongan itu kini mulai terendus kebusukannya.

“Mereka tak berniat pergi?”

Edie mengangguk.

“Namun, sungguh aku… yang harus melakukannya?”

“Tak apa, aku yang akan memimpin pasukan,” katanya. “Kau tahu, Putra. Dalam catur, ketika sang raja mati, tak peduli berapa banyak prajurit yang masih tersisa, permainan akan berakhir. Kehidupan ... adalah seperti itu pula. Maksudku, kita tidak perlu berperang habis-habisan. Target kita adalah pimpinan mereka. Selama orang itu sudah terbunuh, maka semua selesai. Jadi, bagaimana? Kau seorang pribumi, bukan?”

Dia terdiam, tak bisa menjawab.

“Putra… kurasa itu namamu?”

Jelas. Kini cukup sudah. Putra lantas mengangguk.

Dia menuruti permintaan Edie, entah karena terlalu percaya diri dan mengandalkan pemuda itu sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan di atas permintaannya atau memang yakin dirinya seorang pribumi—meski dia ragu akan kemungkinan yang kedua ini.

"Waktu tiga setengah tahun yang Nippon janjikan telah berakhir. Lantas, katakan kepada saya!" Putra menemui pemimpin dan para prajurit Jepang bersama Edie, saat mereka menghampiri Pabrik Gula—entah apa tujuannya. "Apakah … Anda benar-benar akan pergi dari sini setelah tiga setengah tahun?"

"Bila… saya mengatakan tidak, maka bagaimana?"

"Kalau begitu …." Putra meraih bambu dan pisau di dekat pabrik, lalu memotong salah satu ujung bambu sehingga lancip. "Itu sudah sangat cukup! Janji tersebut telah batal dan kami pantas untuk melawan kalian!" Dia memegang bambu dengan tangan kanan, lantas menurunkan sisi tumpul ke tanah dengan kencang.

"Kalian …." Edie menatap kanan kiri tak percaya. Memang dirinya sendiri yang meminta Putra untuk mengumpulkan para pemuda, tetapi dia tak percaya bahwa mereka akan berkumpul dengan begitu cepat tepat setelah deklarasi Putra.

Hari itu benar-benar pertempuran yang konyol, kelompok kecil pemuda pribumi melawan sebuah pasukan besar. Putra tak benar-benar ikut serta lantaran dia dengan cepat kembali goyah dan ketakutan akibat melihat betapa kacaunya medan perang. 

"Kembalilah. Maafkan aku karena begitu egois. Agaknya berada di tengah perang memang masih terlalu berat untukmu."

"Namun—"

"Putra, apa kau memercayaiku?"

Dia tertegun.

"Katakan padaku apa yang ingin kaulindungi. Aku akan berusaha untuk menjaganya pula!"

“Edie….” Untuk sesaat, Putra begitu tertegun akan pemuda itu. Kemudian, dia akhirnya tampak yakin dan serius. “Tanah ini… tolong jangan kau berikan kepada siapa pun!”

Kemenangan pribumi di Purwoasri hari itu benar-benar sebuah keajaiban. Edie berhasil menerobos seluruh pasukan dan memojokkan sang pimpinan. Dengan demikian, dia bisa memaksanya untuk menarik mundur prajurit Jepang dan pertempuran pun berakhir—meski dia sendiri juga nyaris terbunuh.

Putra benar-benar bernapas lega setelah kepergian Jepang dari Purwoasri. Dia melanjutkan bekerja di Pabrik Gula. Banyak orang menyarankannya untuk mengambil alih jabatan sang ayah, tetapi dia menolak dan memberikan posisi tersebut kepada Hadian, seorang pria pribumi yang dirasa memang sangat pantas untuk itu—lantaran Putra ingin hidup tenang dengan mengerjakan hal-hal sederhana. 

Setidaknya, pemikiran itu bertahan selama dua bulan, sampai suatu malam dia mengirimkan pasokan gula ke salah satu toko roti di Purwoasri dan menyadari ada banyak kotak-kotak kayu di depan toko.

“Itu dari Tuan Hadian, bukan? Aku mengeluh betapa sulitnya mempertahankan toko di kondisi perekonomian saat ini. Dia benar-benar pria yang baik,” kata Marie, gadis yang mengelola toko.

“Apa maksudmu?” Hadian kebetulan juga ada di sana malam itu. “Aku belum melakukan apa pun terkait keluhanmu.”

“Lantas … kotak-kotak ini?”

“Apa aku terlihat seperti berbohong bila mengatakan tidak tahu apa pun tentang kotak-kotak itu?”

Malam itu adalah tragedi paling mengerikan. Edie bersama Tentara Sukarela—para pribumi yang dikumpulkan oleh Putra saat pertempuran melawan tentara Jepang dahulu—mendapati bahwa kotak-kotak itu berisi manusia.

Manusia.

Hidup.

Saat dia menusukkan bambu runcing ke dalamnya, darah merembes keluar. Kepanikan melanda dengan cepat, situasi menjadi begitu tegang.

“Londo Ambon!” Begitu mereka disebut saat itu. Pasukan khusus di bawah perintah Belanda, yang berisi orang-orang Ambon. Pasukan yang datang akibat hasutan Jepang kepada KNIL bahwa para warga Belanda yang tersisa di Purwoasri dijadikan budak oleh para pribumi, padahal itu jelas-jelas fitnah.

Mereka diperintahkan untuk keluar dari kotak secara serentak pada pukul satu malam. Namun, sebelum saat itu tiba, Edie dan Tentara Sukarela lebih dulu membakar kotak-kotak tersebut.

Sialnya, kotak-kotak juga terdapat di toko lain. Mereka yang belum sempat dibakar dan lebih dulu mendengar kekacauan di depan toko roti, memilih untuk keluar dari kotak lebih awal.

Edie langsung meminta Marie kembali ke dalam toko untuk berlindung. “Tentara Sukarela, bersiap!” Dia menatap para pemuda di sana. “Putra, kau juga!”

“Edie, tunggu…,” dia panik dengan cepat. “Aku tak yakin ini ide yang bagus. Terakhir kali bergabung dengan kalian, aku berakhir mundur dari medan perang.”

“Selamanya kau anak menjadi anak kecil yang plin-plan?” katanya dengan agak kesal. “Aku akan bertanya… mengapa? Kau tak ingin Marie mengetahuinya, bahwa kau hanyalah tempelan debu di tepi jendela dan bukanlah seorang lelaki yang dapat diandalkan?”

“Aku—”

“Putra.” Edie begitu serius. Waktu sudah menipis, sisa orang-orang Londo Ambon akan segera datang kemari. “Aku mungkin telah menyinggung tentang ini beberapa kali, tetapi bukankah sekarang saatnya kau berpikir lebih jauh?”

“Apa maksudmu?” Putra tertegun dan agak keheranan.

“Menurutmu, ayahmu membesarkanmu untuk menjadi apa? Pengecut? Tentu tidak, ‘kan? Kau sejatinya adalah pribumi, kau harus bertekad kuat dan membela tanah ini, sekali pun musuh terbesarmu adalah keluargamu sendiri. Lagi pula, alasan mengapa orang itu nyaris tidak menunjukkan kasih sayang secara langsung… bukankah karena itu? Dia tak ingin terlalu dekat denganmu karena itu hanya akan membuatmu makin sulit untuk mengakhiri ini semua.” Edie menghela napas dan membuang muka dengan ogah-ogahan. “Yah… walau kurasa sudah terlambat untuk mengatakan itu, kita telah terlepas dari Pemerintahan Belanda maupun Nippon.”

Putra menunduk murung. “Kau benar. Telah terlambat. Aku mengabaikan kesempatan untuk membuktikan siapa diriku, bahkan dua kali.”

“Putra, kau…,” Edie gusar. “Pemuda yang kau kumpulkan, Tentara Sukarela, bekerja dengan baik. Kita juga unggul dalam hal jumlah pasukan kali ini. Lalu, kau masih saja kabur dan bersembunyi, bahkan di peperangan yang sudah jelas menjadi kemenanganmu? Kau senang akan itu?”

“Kurasa ....” Dia menggeleng.

“Lantas katakan padaku, siapa dirimu?”

“Pribumi!”

“Apa yang harus kau lakukan sekarang?”

“Berperang!”

Putra begitu yakin saat Edie melemparkan sebuah bambu runcing dan menangkapnya dengan tepat. Dia benar-benar menepati kata-katanya, bergabung dengan Tentara Sukarela. Edie benar, pertempuran kali ini tidak seberat melawan tentara Jepang dua bulan lalu.

Londo Ambon dipojokkan dengan cepat. Salah satu anggotanya terkunci oleh seorang Tentara Sukarela. Namun, sayangnya, Edie juga terpojok, terkunci oleh musuh yang membawa senapan. Situasi menjadi imbang. Pergerakan kedua pihak nyaris berhenti total saat itu juga.

Tersisa Putra yang kebetulan berada di tengah-tengah keduanya.

“Ke mana kau berpihak, wahai anak muda?”

Sebuah pertanyaan yang bodoh. Ketegangan menjadi makin menjadi, saat Putra kemudian dengan berani berteriak, “Tentu saja pribumi! Aku ingin berhadapan dengan pimpinan kalian! Siapa pimpinan kalian?”

Salah seorang, pria paruh baya, keluar dari sela-sela para Londo Ambon. Dia yang berbeda sendiri. “Saya... pimpinan mereka.”

Edie mengangkat alis miris dan meringis. “Demi Tuhan... ini mengerikan.”

Putra terbelalak. Terkejut, bingung, dan menjadi sedikit ragu akan apa yang barusan dikatakannya sendiri. “Ayah?”

“Putra... putraku....” Pria itu berjalan mendekat perlahan.

“Ayah....”

Putra hampir lupa akan segalanya; bambu runcing, peperangan, teriakan kencang, rasa sakit, darah. Dia merindukan ayahnya. Hingga kemudian satu teriakan dari Edie menyadarkannya, “Putra! Ini kesempatanmu! Di sini, buktikanlah… siapa dirimu!”

Londo Ambon yang mengunci Edie seketika begitu tersentak sesaat, kemudian menatap Putra waspada. “Anak Muda, kusarankan jangan. Sekali kau mengarahkan senapan itu kepada Tuan Geen, peluru juga akan bersarang di kepala lelaki ini.”

“Lakukan, Putra! Lakukan! Jangan pedulikan aku! Kami membutuhkanmu! Putra! Kumohon!”

Putra terdiam dan menunduk sesaat. Kemudian, tiba-tiba mengambil mengangkat senapan—milik salah satu Londo Ambon yang berhasil direbut—dan sudah melepaskan tembakan ke arah Geen. “Masih sulit bagiku untuk melihatmu terluka, tetapi... kau tak perlu khawatir, Edie, bila tentang yang satu ini, aku telah memutuskannya sejak tadi.”

Londo Ambon itu menghela napas. “Pilihan yang buruk.” Sebuah peluru dilepaskan.

Dengan pemimpin yang telah dikalahkan, London Ambon dengan mudah didesak mundur dan kemenangan dengan cepat diambil oleh Pasukan Sukarela, pribumi. Sorak sorai gembira langsung menggema kencang, “Merdeka!”

“Merdeka!”

“Merdeka!” seru mereka.

Sementara sang pimpinan pribumi sendiri, justru yang paling mengenaskan. Putra, dia sama sekali tak terluka secara fisik, tentu saja. Namun, dia begitu hancur. Dia menghampiri pria di sana yang tergeletak bersimbah darah. “Ayah!”

Pria itu tersenyum tipis, dengan begitu layu dan lesu, begitu mendapati seorang lelaki muda di hadapannya. "Ayah senang… kau baik-baik saja, Putra…."

“Ayah, bertahanlah!” Putra berusaha mencari di mana peluru bersarang, dan saat dia menemukannya—sebuah lubang—jantungnya seakan-akan ikut terkikis.

Pria itu tertawa lirih miris. “Apa yang kau katakan, Nak? Itu bukan kalimat yang sesuai setelah kau menembak seseorang.”

“Ayah... maafkan, aku.”

“Kau melakukannya demi saudara-saudaramu, bukan? Itu bagus sekali. Terima kasih … telah menjadi putraku yang dapat dibanggakan."

“Ayah....” Putra meraih telapak tangan pria itu, meletakkan dahinya di sana. Dia mendengar ucapannya, begitu mendengar, begitu memahami. Namun, makin dia membenarkan, makin menyakitkan itu.

"Aku menyayangimu...." Senyuman pria itu perlahan luntur, dan di saat terakhir, dia menutup mata.

Putra langsung memeluknya, begitu erat. “Mengakhiri hidup Anda untuk memenangkan tanah ini… adalah suatu kehormatan, Ayah. Terima kasih karena telah membesarkanku sebagai seorang Putra Indonesia!”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Rekomendasi