“Aku suka Dahlia dengan segala mimik mukanya ketika bercerita.”
Pujian nyaring Tanjung Ijo Gede kesebelas kalinya yang mustahil didengar Dahlia.
“Menyerahlah Tanjung! Dahlia manusia tuli.”
Sulit betul menghentikan Tanjung, namun Kutilang Paruh Bengkok belum bosan berusaha.
“Semua manusia itu tuli, bukan hanya Dahlia. Tidak masuk akal bila manusia mampu mendengar pohon sepertiku ataupun burung sepertimu berbicara.”
Kutilang berdehem lega karena rupanya pemahaman itu masih menancap di akar Tanjung. Tanjung memandang lurus kembali. Cerita Dahlia belum tamat. Tengah masuk ke bagian paling seru.
Raksasa mulai bergerak. Melangkah sedikit demi sedikit menuju ke rumah Timun Mas. Dum, dum, dum, dum.
Dahlia berjalan mengangkang, menginjak rumput dengan kaki telanjang. Kedua lengkung lengannya mengepak lebar. Ia tampakkan ekspresi muka paling berbahaya. Dahlia ingin anak perempuannya, Melati meyakini bahwa dirinya adalah raksasa lapar nan mengerikan. Melati menelan ludah, tubuhnya sekaku manekin. Batin Melati seluruhnya terserap ke dalam cerita. Ia benar-benar takut Timun Mas bakal digondol raksasa.
Senjata yang terakhir adalah terasi. Timun Mas melemparkannya setelah gagal membuat raksasa tenggelam di laut. Terasi yang jatuh ke tanah berubah menjadi lautan lumpur. “Tolong, tolong, tolong!” raksasa berusaha naik ke tanah berkali-kali tapi tidak bisa. Akhirnya raksasa menyerah. Ia membiarkan tubuhnya tenggelam di lautan lumpur. Timun Mas selamat dari kejaran raksasa. Ia kembali pulang dan ibunya menyambut Timun Mas dengan hati gembira.
Melati kembali meluruskan lutut di kepala rumput. Dadanya terasa luas karena Timun Mas mengecup bahagia di akhir cerita. Daun-daun Tanjung bergemerisik, merayakan betapa mengagumkannya teknik bercerita Dahlia.
“Nggak usah lebai! kamu bukan Melati!”
Tanjung tidak peduli olokan Kutilang. Justru merontokkan daun-daunnya, bersemangat. Di bawahnya, Melati berputar-putar riang, teringat suasana musim gugur kala liburan ke Tiongkok.
***
“Dahlia itu perempuan menawan. Dia….”
Kenangan yang mau Tanjung ceritakan, terpotong begitu mengawalinya.
“Bahkan kau sudah menganggapnya seorang perempuan, bukan lagi manusia. Kau bersikap layaknya lelaki yang sedang jatuh cinta.”
Sinis Kutilang. Ia sengaja meludahkan sikap menyebalkan sebab tak ingin Tanjung melewati batas, seperti mencintai makhluk perusak yang sebutannya manusia.
“Jangan sembarangan bicara, Kutilang! mana mungkin pohon jatuh cinta pada manusia perempuan. Bahkan penulis novel romansa menolak untuk mengisahkannya. Aku hanya ingin kau tahu bahwa Dahlia itu berbeda. Ia memang manusia tapi kegemarannya bercerita, bukan merusak kaumku.”
Kutilang mengalah sementara. Ia sepakat menyimak Tanjung sampai selesai.
Dahlia oh Dahlia. Datang kemari berteman suami dan Dahlia versi mini, Melati sapaannya. Tak seperti sembilan sampai sepuluh pemilik hunian sebelumnya. Dahlia seratus kali lebih pandai merawat apa-apa sekitarannya. Lantai rumah, jendela rumah, perabot rumah, mengkilap ketiga-tiganya. Flora pula, kaum yang biasanya luput dari perhatian kebanyakan manusia, ia buat subur semuanya.
Halaman belakang rumah yang beralamatkan jalan Kaliurang, Yogyakarta ini, Dahlia sulap menjadi taman yang mengundang pujian mulut maupun mata. Bayi-bayi rumput terpotong sejajar, rapi. Mereka menyebar, menyelimuti hampir seluruh tanah bagaikan karpet hijau. Daun-daunku yang tua maupun muda, yang bertebaran di dekat kulit batangku, ia kumpulkan hingga menggunung, ia bakar di dalam drum merah yang ada tutupnya.
Aneka bunga mengerumpul di masing-masing tanah persegi panjang. Dahlia menanamnya berdasar jenis. Setiap Dahlia muncul dari pintu belakang, bougenville bonsai-lah yang menyambut kali pertama. Tanaman merah muda yang mendadak tersenyum ketika Dahlia menoleh ke kelopaknya. Melangkah sedikit lagi ada sekumpulan mawar merah di sisi kiri.
Dua langkah berikutnya, kelompok bunga sepatu berona kuning sedang berdendang, memohon perhatian supaya Dahlia menengok ke kanan, mengelusnya sejenak. Kuntum-kuntum mungil terakhir bernama Melati, berada tiga jengkal setelah bunga sepatu. Mereka rukun dengan sesamanya di area yang berlawanan dengan bebungaan warna kuning.
“Tapi Dahlia mengelap badan Melati menggunakan tisu basah. Banyak membakar kertas-kertas gambar begitu saja padahal belakangnya masih kosong. Kau masih berpikir ia peduli dengan kaummu?”
Hati Kutilang tidak meleleh setetes pun dengan puisi ketelatenan Dahlia. Mulut daun terbuka, Tanjung melepas O2 sebelum bicara.
“Itu masalah lain, Kutilang. Memang begitulah manusia hidup. Mereka bakal mati bila tidak memanfaatkan sumber daya di sekitarnya.”
Tidak adil namanya apabila semua yang memakai tisu dan kertas dicap abai terhadap kaum flora. Intinya, Tanjung menolak gagasan Kutilang.
“Bukan lagi ‘memanfaatkan’ sebutannya, tapi ‘eksploitasi’. Kau tahu sendiri, makin boros manusia menggunakan barang dari alam, maka makin habis-habisan pula mereka akan membabat kaummu.”
Hujan panas sore-sore mendinginkan suasana yang nyaris memanas antara Kutilang dan Tanjung. Keduanya beralih memandang hujan serta Dahlia yang tergopoh-gopoh menggendong Melati menuju rumah.
***
Penyelamatan Melati dari hujan sia-sia. Ubun-ubun Melati tetap lembap, meskipun tidak sekuyup Dahlia. Sembari menggosok-gosokkan handuk kecil ke kepala Melati, Dahlia mempersiapkan mental. 1 jam berselang, Melati mulai menggigil. Tubuhnya terasa panas. Melati pernah mengeluh karena demam terlampau menyukainya. Membuatnya tidak bisa bermain lebih banyak maupun lebih lama. Juga, lomba lompat jauh di bawah hujan bersama katak, hanya akan terus bersarang dalam angannya.
Semalaman Dahlia mengurus sakit Melati sendirian. Angsana, suaminya berada di Jepang. “Syuting film,” pamitnya pada awal Agustus. Dahlia memakinya penipu di dalam kepala, kendati membebaskan kening, pipi, dan bibirnya dikecup Angsana. Rutinitas sebelum pergi ke mana pun, yang kini terasa seperti pelecehan ketimbang kasih sayang. Dahlia belum menyelidiki Angsana lebih jauh semenjak melakukan perbincangan dengan Lily (istri sutradara bernama Jati, ia sering menemani sang suami di lokasi syuting) 30 Juli lalu.
“Angsana mau ke Jepang buat syuting Firework, besok lusa? Proses syuting film itu sudah selesai bulan kemarin, Dik Lia. Sekarang sedang berada di tahap editing, Mas Jati sendiri yang kasih tahu aku.”
Tubuh Dahlia melorot lemas usai mendengar betapa sumbangnya realita. Lily melarangnya berpikir jelek sebelum mengonfirmasi segalanya, namun isi kepala Dahlia terlanjur keruh. Tiang penyangga rumah tangga yang megah dan kokoh selama lima tahun, mulai ia dengar retakannya. Lily terpaksa pulang sewaktu Dahlia menginginkan hening di kediamannya.
Dahlia pikir cahaya pagi terburu-buru naik, padahal baru lima belas menit matanya terpejam. Ia menempelkan termometer pada liang telinga anaknya. Suhunya mencapai angka normal. Dahlia bersyukur.
“Ma, berarti Melati boleh sekolah?”
“Besok ya, Nak….”
Selesai menyeka tubuh Melati dengan tisu basah, ia mengganti pakaian anaknya dengan bahan yang sama tipis. Menyuapinya nasi berkuah berisi potongan ayam, wortel, buncis, dan kentang, sampai kenyang. Dahlia mengambil kertas sketsa, mencoret-coretinya di kamar Melati. Melati menirunya dengan memulas buku berisi kumpulan benda-benda langit. Mereka duduk serius beralaskan seprai bergambar miniatur-miniatur planet Saturnus.
“Melati kangen Papa, nggak?”
“He’em, pingin ketemu Papa.”
Mengobrol lewat layar ponsel dengan Papanya, takkan pernah memuaskan bagi gadis kecil yang selalu memonopoli papanya itu ketika di rumah.
“Kalau Melati sembuh nanti, kita susul Papa.”
***
Dahlia memaafkan Lily atas kesalahan membungkam mulut sendiri. Ketidakberesan Angsana telah tercium semenjak tahun kedua syuting di Jepang sebetulnya. Tetapi Lily malah memencet hidung kuat-kuat, kabur, dan mengaku tidak menghirup apa-apa.
“Kemungkinan suamimu di sini.”
Lily menebus kelakuan masa bodohnya dulu, dengan membantu Dahlia sebisanya. Membocorkan informasi yang Lily kumpulkan sendiri melalui kenalan-kenalannya. Termasuk nomor ponsel dan di mana kondominium yang ditinggali Sakura, wanita yang terduga selingkuhan Angsana. Dia aktris Jepang. Lawan main Angsana di film berlatar Jepang yang disutradarai Jati itu. Tidak tanggung-tanggung, Lily juga bersedia menemani Dahlia ke sana. Lokasinya berada di Shibuya, Tokyo.
Dahlia dan Lily berangkat 8 hari kemudian. Sesudah menunggu demam Melati melayang sekaligus menunggu kesiapan diri Dahlia. Pakaian musim gugur melapisi tubuh ketiganya. 16 jam terbang. Lepas landas menjelang siang, mendarat esok sorenya di bandara Narita.
“Mau ke sana kapan?”
Pertanyaan Lily berbuntut permintaan maaf. Alasannya karena gagal mengetahui jadwal pribadi Angsana maupun Sakura.
“Sudah cukup, kamu sudah kebanyakan minta maaf. Kita ke sana besok pagi.”
Dahlia pikir, Angsana yang semestinya memohon pengampunannya berkali-kali. Kalau perlu menciumi kakinya sekalian. Dahlia dan Lily menginap di hotel Indigo. Jaraknya cuma 500 meter dari kondominium Sakura.
Wanita yang namanya Sakura sangat cantik. Terlampau berkilau sampai menyakiti mata Dahlia. Alis Dahlia berkerut-kerut, kesusahan menyesuaikan penglihatan dengan kilau Sakura. Tidak bisa melek seutuhnya namun masih kelihatan siapa yang kini datang membelakangi Dahlia. Itu Angsana. Belakang lehernya dililit kedua lengan Sakura, erat. Sakura berbisik di telinganya “Peluk lebih erat dan jangan menoleh ke belakang.” Sakura girang waktu Angsana menurutinya. Satunya mata mengejek. Satunya lagi mata geram. Sakura dan Dahlia sama-sama tidak mau berhenti saling menatap. “Cium aku.” Dahlia-lah yang terlebih dahulu memalingkan muka.
“Bangsat.”
Dahlia duduk menekuk lutut. Merehatkan keningnya di sana. Mimpi itu meloloskan diri dari kepalanya melalui lubang telinga. Masuklah ia ke pori-pori dada, menyesaki organ dalamnya. Dahlia megap-megap, tersiksa.
***
Sakura seperti perempuan baik-baik. Dapat kutebak kata-katanya saat menonton Lily menelponnya di hadapan pramutamu kondominium. “Eh, iya betul” lalu “Lily-san? ah Lily-san! apa kabar?” lalu “Eh, benarkah? tentu boleh”. Pramutamu menerima uluran ponsel dari Lily atas permintaan Sakura. Pramutamu yang sikap tubuhnya berubah setengah membungkuk itu, memegang ponsel dengan kepala manggut-manggut mengucap ‘iya’ menggunakan bahasa Jepang formal. Kemudian pramutamu mengantar kami sampai depan ruangan paling mewah.
Dahlia membungkuk, menirukan gestur pramutamu selesai mengantarnya dan Lily saat itu.
Sakura membukakan pintu. Sakura mempersilakan kami masuk dengan muka teramah sejagad. Sakura menjabat tanganku dan Melati, kemudian menyebut namanya yang kuketahui sejak lama tapi aku berlagak belum pernah mendengarnya. Ia fasih berbahasa Inggris. Kutengok sekeliling ruang, Angsana belum kelihatan. Sakura belum mau memanggilnya. Sakura lebih memilih menyusun yatsuhashi (kue isi pasta kacang merah) di piring dan menyeduh teh panas untuk tamunya. Sakura menaruh suguhan di meja tamu yang berada di tengah-tengah sofa, yang di kelilingi kaca jendela besar-besar. Sakura mengobrol tenang dengan Lily. Aku tidak ikut bicara karena tidak mengerti bahasa Jepang. Cuma Melati yang kupedulikan. Meniupi sesendok teh untuk diminumkan ke mulut mungil anakku. “Papa!”
“Hahahahahahahahahahahaha!” Tawa Dahlia menggelegar. Sambil memegangi perut, ia mengingat betapa jelek muka Angsana ketika ketahuan.
Melati melihatnya lebih dulu. Ia berlari, menabrak dan memeluk kaki Angsana. Mukanya masih bengkak tapi sudah tidak ada jejak tahi mata maupun air liur di sudut mulut. Kebiasaannya cuci muka dan sikat gigi begitu bangun belum berubah sampai sekarang. Angsana menggendong Melati, mengabulkan rengekannya. Angsana memucat, begitu menyadari aku dan Sakura seatap dengannya. Lily bergerak, bermaksud menggendong Melati tapi Melati tidak mau melepas Angsana. “Biarkan dia di sini, Lily juga tidak perlu pergi.” Niatku memang ingin mempermalukan Angsana.
Dahlia menyeringai.
Angsana dan Sakura sudah setahun memadu kasih. Namun Sakura baru tahu bila Angsana masih berstatus suami. Sakura setuju menjalin hubungan lantaran Angsana mengaku tengah melakoni proses perceraian. Tidak hanya aku, Sakura juga dicurangi lelaki itu. Aku kira riwayat Angsana telah tamat. Aku membayangkan Sakura memutuskannya. Begitu pula aku yang menceraikannya. Tapi tidak. Kukatakan sekali lagi, tidak!
Dahlia menyerukan kata tidak, amat nyaring, bercampur amarah.
Sakura malah menyuruh Angsana memilih. Memacari Angsana yang nyatanya sudah beristri dan punya satu anak, tak terlalu ia masalahkan. Dan bangsatnya lagi, di depan muka istri dan anaknya, Angsana memilih Sakura lancar sekali. Intonasi suaranya bersih dari keragu-raguan. Aku menggendong Melati, meletakkannya di sofa sementara. Untungnya ia tidak protes karena kukatakan aku hanya meminjam papanya sebentar. Angsana kupukuli mukanya. Kutampar pipinya. Kujambak rambutnya. Kutendang kakinya, pantatnya, punggungnya, terakhir kejantanannya. Melati menangis melihat Papanya kesakitan. Ia tidak tahu siapa yang membuat papanya menderita karena Lily menutup anakku tadi. Sakura membuka pintu, menunggu pihak keamanan yang melalui telepon berjanji segera datang. Kami diusir dari kondominium, kecuali Melati. Anakku itu terus menempeli papanya, tak mau ikut denganku. Penolakan itu makin membuat belati bernama kesepian menghujam dalam jantungku. Aku menangis di perjalanan.
Batang Tanjung, Dahlia jadikan sandaran. Ia kelelahan usai berapi-api menceritakan peliknya masa lalu, yang entah pada siapa. Tidak ada manusia di sini. Hanya Tanjung, si pohon. Kutilang, si burung. Rumput. Tanah. Mantan suami dan anaknya tidak lagi pernah muncul. Dahlia tidak cantik dan wangi seperti dulu. Penampilannya pantas dijuluki wanita buangan. Kaos putih kebesaran dipasangi kolor jingga sepaha. Berminggu-minggu Dahlia enggan menggantinya. Rambutnya lepek terurai menghalangi sebagian mukanya yang kusam dan berminyak. Bibir atas bawah, sama pecah-pecahnya. Bunga-bunga kesayangan Dahlia pula, tak jauh beda keadaannya dengan tuannya. Banyak dari mereka yang kerontang. Menangis, Tanjung meratapi Dahlia.
Angsana kamu pilih Sakura.
Karena dia lebih banyak uangnya.
Angsana kamu pilih Sakura.
Karena dia karirmu makin jaya.
Angsana kamu pilih Sakura.
Karena dia punya banyak kuasa.
Angsana kenapa pilih Sakura?
Padahal dia usianya empat lima.
Dahlia bersenandung “Nina Bobo” tapi liriknya ia ubah.
Angsana kenapa pilih Sakura?
Padahal kalian selisih satu lima.
“Lirik yang terakhir terdengar memaksaaaaakkkkkhhhhh. Aaaaakkkkkhhhhh. Aaaaakkkkkhhhhh. Aaaaakkkkkhhhhh. Hah….”
“Dahlia!”
Tanjung bersusah payah mematahkan cabang yang terikat tali tambang, namun terus gagal karena daging cabang terlalu tebal.
“Tidak ada yang bisa kau lakukan, Tanjung! Kau bukan siapa-siapa! Kau tak berhak mencampuri keputusan manusia, termasuk Dahlia!”
Mayat Dahlia tidak terperangkap gaya gravitasi. Menggantung-gantung ke utara dan ke selatan, menanti seseorang datang. Kutilang harap seseorang itu tidak telalu lama. Ia cemas leher Dahlia keburu putus.
***
“Kawan-kawan kutilang sekalian, sebagai sahabat mendiang Tanjung Ijo Gede, saya ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas kesediaan hadir dalam acara peringatan sepuluh tahun kematian Tanjung. Meskipun Tanjung amat keras kepala, namun ia tetaplah sahabat sejati saya. Semasa hidup, ia membiarkan saya bertengger sesuka hati di dahannya. Ia juga mendengar dengan baik keluh kesah saya soal para betina. Sesungguhnya, kematian Tanjung tidak dapat dikatakan tiba-tiba karena sebelumnya saya telah mewanti-wanti agar ia tidak mendamba manusia. Sayangnya, Tanjung kukuh mempertahankan kebebalannya. Cinta yang ia punya pada sosok Dahlia semakin besar dan semakin besar, sehingga begitu diserang kenyataan mengerikan berupa keberpihakan Dahlia kepada maut, Tanjung pun kewalahan dan tidak tahu harus bagaimana. Ia bahkan menutup pori-pori akarnya, menolak menyerap air dan mineral. Ia bilang:
aku tidak mau memakan Dahlia. Dahlia telah mati dan menyatu dengan tanah. Jika aku menyerap air dan mineral dari dalam tanah, bukankah itu artinya aku membunuh Dahlia untuk yang kedua kalinya?
Kalimat itu benar-benar menghancurkan hati saya. Tanjung sudah kehilangan akal. Ia anggap cabangnya musabab terbesar kematian Dahlia, padahal manusia itu sendiri yang membuat keputusan. Saya harap setelah kejadian nahas itu tidak ada lagi (baik kaum flora maupun fauna) yang percaya, berharap, apalagi menaruh hati pada manusia. Amin.”
Sekawanan kutilang menundukkan kepala di hadapan kayu bekas tebangan yang sudah dipagut Tuan Pelatuk Bulu Gagah. Pagutan itu berbentuk pohon dengan angka tahun kematian (2017), di bawahnya. Kutilang sendiri yang meminta bantuan burung pelatuk itu. Katanya agar tidak keliru tempat ziarah, karena area kediaman Dahlia sudah diratakan pemilik lahan sejak 96 jam lalu.
***