Disukai
1
Dilihat
105
17tahun Budak Cinta
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Cinta pertama sering kali terasa seperti puncak Gunung Tangkuban Perahu, indah namun jauh dan sulit dicapai. Bagi Lega, pemuda sederhana yang hidup di bawah bayang-bayang harapan ibunya, Novi adalah gadis yang nyaris tak terjangkau, seperti puncak gunung yang tersembunyi di balik kabut tebal. Novi, gadis tercantik di sekolah mereka, berasal dari keluarga religius dan mapan sebuah rumah tangguh, dibangun dari iman dan keteguhan.

Pertemuan pertama mereka di kaki gunung itu memulai perjalanan panjang yang penuh liku. Di sanalah mereka mengucapkan janji-janji remaja, janji yang perlahan menjadi beban. Hubungan mereka berubah seperti cuaca di puncak gunung  cerah dan hangat satu saat, tiba-tiba tertutup awan gelap membawa badai. Mereka belajar bahwa cinta bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga soal bertahan di tengah badai dan kabut yang mengaburkan jalan.

Di tengah perjalanan itu, Lega merasa seperti daun yang bergetar di ujung ranting rapuh dan mudah terbawa angin ketidakpastian, cemburu, dan harapan yang tertunda. Sementara Novi, meski hidup dalam kenyamanan, sering kali merasa seperti burung dalam sangkar emas, mencari kebebasan di balik tuntutan keluarga.

Namun, pertanyaan terus bergema di benak mereka  Apakah cinta ini cukup kuat untuk menahan badai yang tak kunjung reda?

Pada awal 2007, Lega berdiri di tengah lapangan sekolahnya, memandang sosok Novi yang berdiri tak jauh darinya. Rambut panjang Novi tergerai, berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Saat ia tersenyum pada teman-temannya, dunia Lega seakan berhenti berputar.

Seperti Gunung Tangkuban Perahu yang menjulang di kejauhan, Novi tampak begitu jauh puncak indah yang mungkin tak akan pernah bisa Lega capai. Hati Lega bergetar seperti daun di ujung ranting, tak berdaya oleh angin perasaan asing ini, campuran antara kekaguman dan ketakutan. Ia tahu, sejak saat itu, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Lega sering merenung di kamarnya yang kecil dan remang, diterangi lampu belajar tua yang cahayanya mulai redup. Di sana, ia berhadapan dengan bayangannya sendiri di cermin kecil di dinding. Ia memandang bayangan itu, mencoba melihat seorang pemuda yang percaya diri dan pantas untuk Novi, namun yang terlihat hanyalah sosok lelah dengan mata penuh keraguan dan kecemasan.

"Mengapa aku mencintai gadis yang begitu jauh dari jangkauanku?" gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tenggelam oleh denting hujan di luar jendela. Ada ketakutan yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun, ketakutan bahwa cintanya pada Novi hanyalah ilusi yang diciptakan oleh mimpinya sendiri mimpi seorang pemuda miskin yang ingin meraih bintang.

Mereka mulai sering bertemu, mengobrol singkat di perpustakaan atau kantin sekolah. Novi selalu ceria, sementara Lega selalu merasa gugup dan kurang percaya diri. Suatu hari, saat duduk bersama di bawah pohon besar di halaman sekolah, Novi bertanya, "Apa impianmu, Lega?"

Lega terdiam, mencari kata yang tepat. "Impian?" Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keraguannya. "Aku hanya ingin membuat ibuku bahagia."

Novi menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca lebih jauh dari kata-kata yang terucap. "Itu impian yang indah," katanya lembut, tetapi ada sesuatu di matanya yang membuat Lega merasa dia tahu lebih dari yang dikatakan. Ada kekosongan di sana, seperti langit malam tanpa bintang.

Ketika Lega diundang ke rumah Novi untuk pertama kalinya, ia merasa seperti pengembara yang tersesat di gurun, tanpa bekal kecuali rasa cintanya yang kini tampak tak cukup kuat untuk menembus dinding tak terlihat ini. Rumah Novi seperti istana yang bercahaya dengan doa-doa subuh yang selalu terucap dalam kesunyian. Dinding-dindingnya dipenuhi kaligrafi Arab yang indah, namun bagi Lega, setiap kaligrafi itu seperti pengingat akan jarak yang memisahkan mereka.

Di ruang tamu besar, dikelilingi oleh lukisan mahal dan perabotan antik, Lega merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya. Setiap kata yang diucapkan ayah Novi, Haji Murta, terasa seperti gema yang bergema dalam pikirannya, mengingatkannya bahwa dia hanya tamu tak diundang di dunia mereka.

"Apa kamu tahu, Lega, bahwa segala sesuatu di dunia ini hanya titipan?" tanya Haji Murta, matanya meneliti wajah Lega dengan tajam.

"Ya, Pak Haji," jawab Lega, berusaha menyembunyikan rasa tak nyaman. "Rumah ini... indah sekali, Pak Haji. Saya belum pernah melihat yang seperti ini."

Haji Murta tersenyum tipis. "Alhamdulillah, semuanya dari rezeki yang Allah berikan. Tapi, semua ini hanya titipan." Di balik kata-kata Haji Murta, Lega merasakan tekanan yang tidak diucapkan darinya. Haji Murta menguji pandangan Lega tentang dunia materi, mencoba melihat apakah Lega terpesona oleh kekayaan atau tetap berpikiran sederhana.

Lega merasa semakin kecil, seperti anak kecil yang berusaha berdiri di tengah angin kencang. Meski mencintai Novi dengan tulus, ia tahu ada jurang dalam antara dunianya dan dunia Novi. Dalam hatinya, suara kecil berbisik, "Aku tidak cukup. Tidak akan pernah cukup."

Hubungan mereka terus berjalan, menghadapi tantangan dari berbagai arah. Menjelang kelulusan, Lega dihadapkan pada pilihan sulit  melanjutkan ke perguruan tinggi atau mulai bekerja untuk membantu keluarganya. Novi, yang berasal dari keluarga berada, tidak pernah merasakan tekanan seperti ini. Namun, dia melihat bagaimana Lega sering kali terjebak dalam dilema antara cinta dan tanggung jawab.

"Kamu sering pulang terlambat akhir-akhir ini, Lega. Apa pekerjaanmu semakin banyak?" tanya Novi suatu malam ketika mereka sedang berjalan-jalan di taman kota. Ada kekhawatiran di matanya, meski ia mencoba menyembunyikannya di balik senyumnya.

Lega menatap jauh ke depan, mencoba menghindari tatapannya. "Ya, banyak yang harus dikerjakan. Kita butuh tambahan uang, kan?" jawabnya dengan nada datar. Ia merasa bersalah karena menjauh dari Novi, tetapi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Jadi, ia menyalahkan pekerjaannya.

Pada 2015, mereka akhirnya menikah. Namun, pernikahan yang mereka impikan penuh dengan ujian. Lega dan Novi menemukan bahwa cinta bukan satu-satunya hal yang diperlukan untuk mempertahankan hubungan. Masalah keuangan mereka yang dulunya seperti sungai kecil yang tenang, kini berubah menjadi air berlumpur yang meluap dan menggerus tebing-tebing kesabaran mereka.

Setiap malam, Lega duduk di kursi kecil di dapur sempit mereka, di bawah lampu neon yang berkerlip, membuat bayangannya tampak lebih suram di dinding. Bau minyak tanah dari kompor tua yang mereka gunakan untuk memasak nasi seakan menjadi pengingat akan kesulitan yang mereka hadapi. Novi sering berdiri di jendela kecil yang menghadap ke gang sempit, menatap keluar dengan mata kosong, seolah mencari jawaban di antara cahaya lampu jalan yang redup.

"Kenapa kamu tidak coba cari pekerjaan lain?" tanya Novi suatu malam, matanya berkabut dengan kelelahan dan frustasi.

Lega, yang duduk di kursi kecil di sudut kamar, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap lantai kayu di bawah kakinya. "Aku sudah mencoba," katanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

"Baik saja tidak cukup, Lega. Kita butuh lebih dari itu," balas Novi, suaranya tegang. Di balik kata-katanya, jelas ada ketidakpuasan. Ia butuh lebih dari sekadar janji kosong atau harapan yang tak pasti, tetapi takut kata-katanya akan melukai Lega lebih dalam.

Novi mulai menerima pesan-pesan anonim di telepon genggamnya pesan yang mengatakan bahwa Lega tidak jujur padanya, bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia merasa ada bayang-bayang di balik kehidupan mereka yang sederhana, lebih dari sekadar masalah keuangan.

"Ada apa dengan pesan-pesan ini, Lega?" tanya Novi suatu malam, suaranya gemetar.

Lega terdiam, ekspresinya berubah. "Itu... hanya seseorang yang mencoba memecah belah kita, Novi. Jangan percaya mereka."

Namun, Novi tidak yakin. Ada sesuatu dalam nada suara Lega yang membuatnya meragukan kata-katanya. Seperti ada rahasia besar yang disembunyikan.

Kemudian, pandemi melanda dunia pada 2020, menjadi katalis bagi banyak krisis yang sudah ada. Usaha Lega gagal, dan mereka dipaksa untuk lebih sering bersama karena lockdown, memperbesar masalah mereka. Ketegangan dalam pernikahan mencapai titik pecah, mengarah pada argumen sengit dan penarikan diri secara emosional.

"Apakah kita masih punya harapan, Novi?" tanya Lega suatu malam saat mereka duduk di ruang tamu yang gelap, hanya diterangi lampu kecil di pojok ruangan.

Novi terdiam, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu, Lega. Aku benar-benar tidak tahu."

Lega merasa seperti perahu yang terombang-ambing di tengah badai, tanpa arah dan tanpa bintang penuntun di langit malam yang gelap. Ia tahu, mereka harus membuat keputusan  terus berjuang demi pernikahan atau mempertimbangkan untuk berpisah.

Di malam-malam sunyi, Lega sering berdiri di depan masjid kecil di ujung jalan, memandang pintu kayu yang tertutup rapat. Dalam doanya, ia mencari jawaban, mencari makna di balik semua penderitaan ini. "Ya Allah, apakah ini ujian yang harus kuterima? Ataukah ini cara-Mu menunjukkan jalan lain?" Kekosongan mendalam mengisi hatinya, namun dalam kekosongan itu, ia juga merasakan ketenangan perlahan-lahan mengisi, seperti air hujan yang mengisi sumur yang hampir kering.

Pada akhirnya, di tahun 2024, setelah 17 tahun bersama, mereka memutuskan untuk berpisah. Keputusan yang sulit, tapi mungkin satu-satunya jalan yang tersisa. Seperti daun-daun yang berguguran di musim gugur, cinta mereka yang dulu segar dan hijau kini luruh satu per satu, meninggalkan pohon yang kosong dan kering.

Di luar, langit mendung, seolah menunggu hujan deras yang akan mengguyur habis semua kenangan yang telah mereka bangun bersama. Namun, di balik awan itu, mereka tahu matahari masih ada, meski tak terlihat.

"Maafkan aku, Lega," bisik Novi di akhir pertemuan mereka, suaranya hampir tidak terdengar di tengah gemuruh hujan.

Lega menatapnya, air mata menggenang di matanya. "Aku juga minta maaf, Novi. Mungkin... ini memang yang terbaik. Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk bersama di dunia ini, tapi semoga kita bertemu lagi di tempat yang lebih baik, di bawah cahaya yang lebih terang."

Mereka berpisah dengan hati yang berat, tetapi juga dengan kedamaian kedamaian dari mengetahui bahwa mereka telah mencoba yang terbaik.

Tahun-tahun berlalu seperti angin yang membawa pergi awan di langit, meninggalkan hanya langit yang tenang dan bersih. Lega dan Novi kini hidup terpisah, mencoba menemukan kedamaian di tengah serpihan mimpi yang dulu pernah mereka bangun bersama.

Di kamarnya yang sederhana, Lega duduk di depan meja kecilnya, menulis surat kepada ibunya dengan tangan yang sedikit bergetar. "Bu, aku mungkin tidak selalu bisa membuatmu bangga," tulisnya, "tapi aku berharap sekarang aku bisa membuatmu mengerti... aku akhirnya menemukan kedamaian, bukan dari memenuhi harapan orang lain, tetapi dari menerima diriku sendiri." Di luar, hujan mulai turun, namun kali ini Lega tidak merasa takut. Ia tahu, di balik awan kelabu, matahari selalu ada, menunggu untuk bersinar lagi.

Di tempat lain, di tepi danau kecil yang dulu sering ia kunjungi bersama Lega, Novi duduk sendirian, merasakan angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, dan ia tersenyum lembut. "Mungkin memang begini jalannya," bisiknya, "dan aku... baik-baik saja dengan itu." Ia telah belajar bahwa beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk bertahan, tetapi tetap memiliki nilai dalam kehidupan seseorang.

Seperti Gunung Tangkuban Perahu yang tetap berdiri tegak meski tertutup kabut dan hujan, Lega dan Novi juga telah menemukan kekuatan dalam diri mereka untuk tetap berdiri, bahkan ketika cinta mereka tidak lagi bersama. Mereka telah belajar bahwa cinta sejati bukan selalu soal memiliki, tetapi soal memberi dengan tulus, melepaskan dengan ikhlas, dan menemukan kedamaian dalam hati yang penuh iman.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar