WOLFDADDY (SCRIPT)
9. Sensasi

Shift siang.

Marwan mendorong troli/kereta berisi perlengkapan housekeeping di lorong hotel. Ia memarkir troli di depan salah satu kamar yang pintunya terbuka. Di kamar itu ada Rindi yang sedang merapikan kamar. Marwan masuk kamar, membawakan sprei dan selimut baru.

Rindi mengambil sprei dan selimut, lalu membereskan tempat tidur. Sementara itu Marwan mengambil alih bathroom, ia buang air besar terlebih dahulu sebelum membersihkannya.

“Wan?” Panggil Rindi sambil membereskan ranjang.

“Ya Rin?”

“Lo ngapain? Mandi?”

“Berak Rin, sebentar.”

“Gue udah mau selesai nih..” Kata Rindi.

“Oh yaudah duluan aja, biar troli nanti gue yang bawa.” Jawab Marwan.

“Iya.”

Rindi menyelesaikan kerjaannya.

“Wan gue duluan ya! Gue juga pengen pup!”

“Yaudah sini bareng!” Canda Marwan.

“Hih! Jijik lu ah!” Rindi melangkah keluar kamar.

“Lho kok!? Gue kira kita sahabat?” Ujar Marwan. Tidak ada jawaban, Rindi sudah keluar kamar.

Marwan juga sudah menyelesaikan hajatnya. Ia mem-flush closet.

----

    Marwan sedang mendorong troli, hendak kembali ke ruang storage yang bersebelahan dengan ruang pantry. Ia berjalan pelan, tidak bergairah seharian ini. Baru beberapa langkah dari kamar yang ia bersihkan tadi, Marwan berpapasan dengan seorang IBU-IBU(35 th), berpenampilan anggun, berkelas seperti seorang pejabat/wanita karir. Ibu-ibu tersebut hendak masuk ke salah satu kamar. Ia terlihat sangat sibuk. Tangan kirinya memegang tas kerja dan goodie bag, tangan kanannya memegang handphone dan kunci kamar. Marwan mendengarIbu-ibu tersebut sedang menelfon suaminya.

 

“Iya Pah, aku ini lagi ketemu client, rapat untuk projectnya..

Ya mungkin pulang malam, agak malam..

Iya kamu handle Adel dulu ya..

Bilangin aja mama lagi kerja dulu, atau ditidurin aja, kasih sereal kesukaannya..

Jangan sekarang deh, udah mau rapat!”

 

Si Ibu hendak membuka kunci kamar namun tak sengaja menjatuhkannya. Marwan dengan cekatan mengambilkan kunci si Ibu, dan membantu membukakan pintu kamarnya. Si Ibu tersenyum pada Marwan.

Makasih..” Kata si Ibu pada Marwan, tanpa suara, hanya gerakan bibir.

Marwan membalas senyum. Si Ibu kembali bicara dengan orang di handphonenya.

 

“Yaudah Pah nanti Mama kabarin ya.

Love you too!” Katanya. Si Ibu masuk kamar,

 

Marwan lanjut berjalan.

Baru beberapa langkah, ia bertemu seorang TUKANG CCTV(27 th), membawa tas ransel besar, memakai seragam PDL dan topi yang bertuliskan SUN CAM.

 

Bang?” 

Ya?” Marwan menoleh. 

“Pantrynya sebelah mana ya?” Tanya Sang Tukang CCTV. 

“Mau ketemu siapa?” 

Oh enggak.. Ini saya dari SUN CAM, mau mindahin kamera, soalnya yang di lobby diganti device.” “yang baru yang lebih canggih, terus yang bekas lobby disuruh pindahin ke pantry.”

Saat si pemuda jasa pasang CCTV bicara, seorang Bapak-bapak parubaya melewati mereka berdua, dan masuk ke kamar si Ibu yang berpapasan dengan Marwan tadi. Marwan memperhatikan orang itu, dalam hati menyimpulkan mereka adalah pasangan selingkuh. Sesaat pikiran Marwan melayang,membayangkan perasaan-perasaan yang terlibat dalam perselingkuhan tersebut. Gelora kasmaran dari pasangan selingkuh itu, sensasi mengendap-endap, mencuri-curi waktu untuk berhubungan, perasaan orang yang didustai, perasaan menang, perasaan kalah, rasa puas merebut, rasa sakit dikhianati, Marwan membayangkan semuanya. “Apakah senikmat itu? Sensasi perselingkuhan.. Sehingga orang-orang melakukannya?” Tanya Marwan dalam benaknya.

 

Bang?! Bang?!” Tukang pasang CCTV, menepuk bahu Marwan. Marwan tersadar dari lamunannya.

Bang?!”

“Oh iya, ke pantry kan? Ayo ikut saya!”

Marwan membawanya ke pantry. Mereka berjalan berbarengan.

“Jadi CCTV di Pantry udah lama mati?”

“Udah 4 hari menurut rekamannya. Ada tangga kan Bang?”

“Ya, ada.”

****

 

DI BASECAMP BUYUNG DKK.

Nuril berjongkok menyender di tembok. Buyung berjongkok di sebelahnya. Viskah, Fajar dan dua orang lagi, mengelilinginya. Buyung sedang “menyidang” Nuril, karena videonya di warnet. Nuril merasa takut, ia merasa hal buruk akan terjadi. Buyung di sebelahnya bersikap misterius.

“Jadi.. Lo takut sama gue, atau takut video nya nyebar? Itu dua hal yang beda soalnya.” Kata Buyung, dingin.

“Dua-duanya. Dua-duanya gue enggak mau!” Jawab Nuril.

“Enggak bisa! Pilih satu.. Pilih aja enggak usah takut.” Sahut Buyung.

“Jangan takut! Yaelah..” Fajar berteriak.

“Gue.. takut videonya disebar.” Jawab Nuril ragu-ragu, takut.

“Jadi lo enggak takut gue!? Gitu? Apa gue enggak ada artinya? Apa gue cuma becandaan!? Apa gimana?” Tanya Buyung lagi.

Enggak gitu maksudnya Yung! Iya gue takut sama lo Yung, dan temen-temen lo juga. Maafin gue ya?” Nuril mengemis.

Ssshh.. Gue kan cuma nanya. Jadi takut mana nih?” Buyung mendekatkan kepalanya ke kepala Nuril, menanti jawaban, mengintimidasi.

Iya gu-gue.. gue rasa.. Gue lebih takut kalian. Terutama lo Yung.” Jawab Nuril.

Oke..”

Buyung berdiri. Tolak pinggang, terdiam sebentar. Nuril merasa ia menjawab jawaban yang benar. Ia agak tenang.

Tiba-tiba Buyung manampar pelipis Nuril. Nuril memegangi pelipisnya sambil meringis, menunduk, melindungi wajahnya. Lalu Buyung mendorong Bahu Nuril dengan kakinya, agak keras. Nuril jatuh terlentang. Di lengannya ada bekas telapak sepatu Buyung.

“Enggak terima gua!” Kata Buyung, agak berteriak. Ia menunjuk-nunjuk wajah Nuril.

Lo pake foto gebetan gue buat begituan! Lo bayangin enggak perasaan dia kalo dia tau? Sayko lu!”

Udah pantes lu diginiin.. Masih mending kagak kita sebarin.” Sambung Fajar.

“Sumpah Yung! Niat gue cuma mau ngegambar mukanya Dina!” Nuril mencoba meyakinkan Buyung dalam ketakutannya.

“Ya buat apa?! Mau godain dia gitu? Lo pikir gue izinin? Terus lo pikir dia bakal suka sama lo? Lo tuh lemah!” Hina Buyung.

“Si anjing naksir si Dina masa? Enggak tau diri!” Lanjut Buyung lagi.

“Enggak kok! Enggak Yung!”

Udah sebarin aja videonya di grup kelas!” Ujar Buyung.

Jadi sebetulnya belum dihapus?” Nuril menatap Viskah dan Fajar. 

Udah sebarin sekarang!” Suruh Buyung.

Nuril langsung merangkak mendekat pada Buyung, ia memohon, merapatkan telapak tangannya.

Tolong jangan Yung. Jangan.. Gue mohon!” 

Enggak ada! Katanya lo takut sama gue, bukan takut videonya kesebar!?” 

Iya Yung, tapi jangan disebar Yung.. Tolong banget! Gue akan lakuin apapun asal jangan disebar Yung, gue jadi orang suruhan lo sebulan enggak apa-apa Yung.” Kata Nuril.

Buyung dan genknya lihat-lihatan satu sama lain, mendengar penawaran permohonan Nuril. Mereka tersenyum menyeringai, jahat.

****

 

Marwan duduk bersama Rindi di sofa. Sama-sama lesu membicarakan rumah tangga mereka yang bermasalah. Di sisi lain ruangan pantry terlihat tukang pasang CCTV sedang mengganti kamera CCTV. Jam shift Marwan dan Rindi hampir usai, mereka agak bersantai, beristirahat.

“Kermarin gue mergokin laki gue masih berhubungan sama bandarnya. Ya gue hapus nomer bandarnya, gue giniin dulu, Berani hubungin laki gue lagi, gue laporin polisi” Ujar Rindi.

“Hebat! Lo menyelamatkan keluarga lo. Gue enggak bisa bayangin, keluarga lo, tanpa lo.” Puji Marwan sambil tersenyum kecil.

“Gue juga suka kebayang begitu.” Sahut Rindi.

“Kebayang apa?”

“Kebayang keluarga gue tanpa laki gue. Pasti lebih bahagia dari sekarang.. Hmm..” Rindi tersenyum juga, bercanda.

“Hmm.. Terus si bandarnya bales apa?” Tanya Marwan.

Enggak bales lagi. Terus laki gue marah, malah ngebelain bandarnya.” Jawab Rindi.

Marwan menatap Rindi, prihatin.

“Terapinya gimana?”

“Ah boro-boro Wan!”

“Lo masih mau bertahan?”

“Ya.. Demi anak sih. Gue mikirin hidup anak gue, udah ABG, lagi rawan-rawannya.”

“Hidup lo sendiri gimana?”

“Yah, kita mah udah tua Wan!”

Kan kata orang kalo udah jadi orang tua mah idup udah buat anak. Apa aja dikorbanin. Harta, badan, perasaan.” 

Kata orang.” Marwan tertawa kecil. Ia mendekat pada Sari, membangun intensitas yang lebih.

“Kenapa harus selalu jadiin cerita hidup orang sebagai contoh sih? Lo lagi menconton orang yang hidupnya enggak bahagia lho Rin! Emang kalo misalnya tau bapaknya pemakai, ibunya berkorban perasaan tiap hari, ni anak bahagia?” Jelas Marwan.

“Anak jaman sekarang orang tua cerai dijadiin alesan buat bandel. Gue ngeri Wan!” Jawab Rindi.

“Apalagi ngeliat orang tuanya yang bandel! Yang dicontoh salah, ya makin-makin! Justru lo harus selamatkan anak lo dari situasi kayak gini Rin!” Ujar Marwan. 

Bingung gue Wan. Kalo minta cerai pun, emangnya laki gue ngasih? Terus kalo gue cerai, apa enggak makin ribet hidup gue?”

Kalo yang bikin lo bertahan itu anak lo, yang bikin laki lo bertahan apa? Dia tau hidupnya enggak bebas, punya istri dan anak makin nambah beban, kenapa masih bertahan?” Tanya Marwan lagi.

“…Seks gratis kali! Itupun buat rekreasi dia doang, gue nya sih dia enggak peduli.” Jawab Rindi.

Rindi mengesah kasar.

“Stress lahir bathin gue makanya, enggak ada hiburan. Manusiawi lah kalo gue frustrasi akhirnya, enggak pernah goal.” 

“Sorry kalo pertanyaan gue kurang ajar.. Jadi.. Maksud lo, seks bisa menyelamatkan rumah tangga lo?”

Salah satunya! Ya Itu kan kebutuhan juga Wan. Hiburan paling murah, paling gampang. Kalo duit enggak ada, liburan enggak pernah, apalagi hiburan kita? Emang lo enggak ngerasain? Ada masalah sama Sari soal ranjang?

Oh enggak. Baik-baik aja kok.”

“Kapan terakhir gitu sama Sari? Masih sering kan?”

“Masih kok.” Jawab Marwan, singkat.

Marwan jadi memikirkan Sari. Membayangkan apa yang sedang dilakukannya sekarang.

Tukang pasang CCTV selesai mengganti CCTV di pantry.

Ia turun dari tangga dan menghampiri Marwan, membawa kamera CCTV lama yang rusak. Ia melapor pada Marwan sebagai kordinator shift.

Bang, ini udah selesai. Saya pamit ya!”

“Enggak mau ngopi dulu Bang? Tuh kopi ada kok!” Tawar Rindi.

“Udah Mbak barusan..

Ini kameranya mau taro dimana Ya?”

“Sini aja Bang.” Marwan mengambil kamera CCTV. Ia melihat-lihat kamera itu, memikirkan suatu rencana.

“Jadi ini rusak Bang?” Tanya Marwan.

“Iya ini kameranya yang rusak.” Jawab Abang CCTV.

“Ini cara kerjanya gimana sih?” Tanya Marwan lagi.

“Ini ada kabel dari kamera, nyambung ke VDR yang kotak kaya DVD player. Baru deh dari VDR itu ada kabel nyambung ke ke monitor, atau ke HP. Pake internet juga bisa, tanpa kabel.” Jelas Abang CCTV.

“VDR namanya?”

“Iya Bang. Tapi ini sih rusak kamera sama infra red-nya, jadi enggak bisa ngerekam apa-apa.”

“Emang berapa kalau untuk pasang baru di rumah?”

“Macem-macem. Paket yang paling murah sih dua kamera itu udah termasuk installasi, tiga jutaan Bang.”

“Hmm.. Yaudah ini aja gue bawa deh. Tapi situ punya nggak VDR rusak atau bekas yang udah enggak terpakai?”

“Ada beberapa di mobil sih Bang.”

Buat apaan si Wan, kan rusak?” Tanya Rindi, penasaran.

Buat.. Cuma buat nakut-nakutin maling, Rin.” Jawab Marwan dengan ekspresi biasa saja.

----

Marwan mengambil motornya di bengkel. Habis di service. Lalu ia membawa motornya.

Di perjalanan pulang, dia memikirkan kata-kata Rindi, soal hubungan suami-istri. Ia mengingat betapa jarang ia dan Sari melakukan hubungan suami-istri, tanpa alasan yang terlalu jelas sejak Marwan ditipu dan mereka sekeluarga mengalami krisis finansial.

Marwan terus memikirkan kata-kata Rindi. Ada warung jamu dekat rumahnya, Jamu Hendi. Akhirnya ia memutuskan untuk berhenti disana, dan memarkirkan motornya di samping warung jamu.

 

Marwan dengan canggung masuk ke warung jamu, namun tidak ia sangka melihat Nuril di dalam warung, sedang memasukkan dua liter minuman keras ke dalam tasnya. Mereka Marwan dan Nuril bertatapan beberapa saat, saling terkejut. Nuril panik gelagapan, Marwan marah.

 

Heh! Apa itu yang kamu masukin ke tas?!” Sentak Marwan sambil menunjuk tas Nuril.

Enggak Pak..” Nuril panik.

“Itu apa!?” Tanya Marwan lagi.

Marwan mengambil paksa tas Nuril, lalu mengeluarkan lagi kantong miras tadi. Marwan benar-benar marah.

“Ini apa!? Mabok kamu!? Iya!?”

Marwan memasukkan lagi minuman itu ke dalam tas Nuril, dan menjatuhkannya ke lantai sembarangan. Dia memegang kerah seragam Nuril.

“Bukan! Bukan punya Nuril Pak!” Nuril ketakutan.

Sontak Hendi keluar dari belakang bar jamu, ia memisahkan Marwan dengan Nuril, ia memegangi Marwan dan menjauhkannya dari Nuril. Marwan berusaha meredam emosinya, mengetahui Nuril beli miras.

“Bang, sabar Bang!”

“Begitu kelakuanmu kalo Bapak enggak ada?!”

Nuril disuruh Pak.. Demi Tuhan Nuril enggak minum.”

Iya, dia disuruh Bang! Saya tahu kok! Malah dia enggak ngerti yang dibeli tuh apaan.” Hendi membela Nuril. Marwan mencoba tenang. Hendi masih memeganginya. Marwan melihat bekas cetakan telapak kaki di lengan Nuril.

“Sumpah Pak, Nuril enggak minum. Nuril disuruh, dipaksa!”

“Iya itu lebih parah! Ngapain kamu nurut!?” Tanya Marwan.

“Siapa yang suruh?!”

Nuril takut untuk menjawab. Ia diam.

“Hey! Siapa yang suruh?! Bapak tanya!”

“Si Buyung Pak!” Jawab Nuril.

“Iya, si Buyung kali, adeknya si Bang Anom.” Sahut Hendi. Marwan menatap Hendi, melihat begitu takutnya Hendi jika keributan ini didengar orang-orang dan masyarkat tahu bahwa ia menjual miras ke anak dibawah umur.

“Sumpah Pak! Ini aja Nuril mau ke tempat si Buyung, nganterin minuman, lalu balik lagi!”

“Kalau begitu Bapak ikut!” Ujar Marwan.

“Enggak bisa gitu Pak!” Jawab Nuril.

“Maka kamu bohong! Jawab jujur aja! Kamu minum kan?!”

“Enggak Pak! Sumpah!” Jawab Nuril lagi.

“Pak, aku anter ini dulu, aku langsung pulang lagi, aku janji!” Lanjut Nuril.

Nuril ragu-ragu mengambil tasnya di lantai.

Jangan berani-beraninya kamu nurut sama mereka ya!” Kata Marwan.

“Aku harus pergi Pak!”

“Nuril! Kamu nurut sama mereka atau sama Bapak. Kamu mau pergi, tas kamu tetep disini!”

“Pak..!” Nuril merengak.

“Kamu takut sama mereka? Diapain kamu!? Sampe nurut sama mereka!” Tanya Marwan.

“Lihat aja kalau kamu berani lebih nurut mereka daripada Bapak!” Ancam Marwan sambil memelototi Nuril.

“Iya udah aja Dek! Turutin kata Bapaknya aja!” Sahut Hendi.

Nuril terlihat menimbang-nimbang. Akirnya ia menyerah dengan pergejolakan bathinnya. Ia membuang tasnya di lantai dan berlari keluar, pulang ke rumah. Ia pasrah, Buyung pasti akan melakukan sesuatu karena tidak membawakan minumannya.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar