WOLFDADDY (SCRIPT)
6. Marwan

14 TAHUN KEMUDIAN. 2019

MARWAN(34 th) Di bawah shower sebuah kamar mandi. Rambut Marwan agak panjang, tubuhnya tidak terlalu kurus, tidak terlau berisi. Marwan kini memiliki tattoo bunga matahari di lengan. Marwan mematikan shower. Ia membuka pintu, mengeluarkan kepalanya. Marwan memanggil membereskan kasur. Rindi mengenakan polo shirt pink dan celana bahan.

"Rindi! Tolong ambilin anduk baru dong di lemari!" Suruh Marwan pada Rindi.

Rindi menunda pekerjaannya, lalu membuka lemari dan memberikan handuk baru berwarna putih pada Marwan.

"Makasih.." Marwan kembali masuk WC. Rindi dengan santai lanjut membereskan tempat tidur.

Tak lama Marwan keluar membawa handuk bekasnya, mengenakan pakaian yang sama persis dengan Rindi.

"Cepet banget mandinya. Emang boleh mandi disini?" Tanya Rindi, heran.

"Ya jangan ketauan! Gue belum mandi dari kemaren. Air di rumah, mati." Jawab Marwan.

"Udah dibenerin?"

"PAM-nya mampet kayaknya. Eh kamar nomer berapa lagi yang check out? Tanya Marwan.

"Nomer 4! Bener ya katanya pernah ada pembunuhan disitu?" Rindi merasa takut.

"Iya.. Cewek BO dibunuh pelanggannya." Jelas Marwan.

Rindi dan Marwan keluar kamar membawa sprei dan handuk-handuk bekas.

Rindi dan Marwan bekerja di hotel yang sama, hotel bintang 1 yang kebanyakan tamunya adalah pasangan mesum golongan ekonomi menengah ke bawah. Kebijakan hotel yang tidak teratur dengan baik membuat mereka harus bekerja sebagai housekeeper dan juga merangkap sebagai OB. Rindi belum lama bekerja di hotel tersebut, itu pun berkat bantuan Marwan ia bisa bekerja disana.

Hari sudah malam saat itu. Marwan dan Rindi menyelesaikan shift mereka. Di Pantry hotel, ada seorang petugas CCTV memeriksa CCTV di salah satu sudut ruangan Pantry. Rindi masih membuat kopi 3 gelas sementara Marwan berkemas bersiap-siap pulang, terlihat lesu.

"Rindi! Ayo balik! Jam kita udah beres, biar yang lain yang ngerjain." Suruh Marwan.

"Bentar, ini bikin kopi buat Abang CCTV, disuruh Bang Mukni."

"Kok dia nyuruh-nyuruh lo sih?" Marwan sinis.

"Yang lain lagi pada bersihin kamar soalnya! Gue enggak enak.. Udah enggak apa-apa kok. Duluan ajam gue dijemput laki gue kok." Jelas Rindi.

"Yaudah gue duluan ya!" Marwan pamit, hendak meninggalkan pantry, sudah berjaket dan menggendong tas punggungnya.

"Balik lo abis ini! Gaji enggak ditambahin, jam kerja juga jangan." Sambung Marwan.

"Eh Wan!" Rindi memanggil. Marwan berhenti, menoleh.

"Sekali lagi makasih udah ngasih gue kerjaan ini!" Ucap Rindi, menatapnya.

"Kita lagi sama-sama terpuruk, harus saling bantu. Lagian kemampuan lo belum ilang kok. Pulang ya!" Jawab Marwan.

"Oke, salam buat Sari!"

"Yoo!" Marwan dan Rindi saling senyum. Marwan pergi, dan Rindi menyiapkan kopi di atas nampan. Ia membawanya.

Marwan yang pulang-pergi kerja dengan naik motor, tiba di depan rumahnya. Terlihat letih. ANOM(39), BUYUNG16 th), dan OTTO(40 th) asyik mengobrol di pos ronda. Rumah Marwan dengan pos ronda kurang lebih hanya 15 meter, dan untuk menuju rumahnya, Marwan harus melewati pos ronda tersebut. Anom adalah seorang ketua ormas di daerah itu, "Ormas Patriot" namanya, meskipun Marwan lebih senang memanggilnya "Preman Kampung". Buyung adalah adik tiri Anom, dan Otto adalah seorang polisi yang bekerja di polsek setempat. Anom dari pos ronda meneriaki Marwan.

"Be! Malem amat pulang Be! Macam direktur aja." Teriak Anom. Be adalah kependekan dari OBE (Office Boy), panggilan yang diberikan Anom pada Marwan karena pekerjaan Marwan. Marwan sebetulnya tidak terima dipanggil begitu.

Mereka yang ada di poss ronda tertawa. Marwan hanya mengangguk sambil senyum terpaksa, menahan jengkel. Ia tetap berjalan menuju rumahnya.

Marwan mengetuk pintu, menunggu sesaat.

SARI(35 th) dengan wajah sinis membukakan pintu. Rambutnya basah masih dibalut handuk. Sari langsung kembali ke kamar. Marwan masuk rumah. Ia duduk di sofa ruang tengah.

"Airnya udah nyala?" Tanya Marwan.

"Kadang-kadang!" Jawab Sari, dingin. Sari masuk kamar, main handphone sambil merokok.

Muncul NURIL(16th) Anak mereka, dari kamar, hendak ke kamar mandi.

"Nuril!" Marwan menegur. Nuril menoleh, lesu.

"Kok enggak salim Bapaknya pulang?" Marwan menyodorkan tangannya. Nuril mencium tangan Marwan.

"Baru pulang Pak?" Tanya Nuril, basa-basi, tidak bergairah.

"Itu tutup pintu! Kamu udah belajar?" Tanya Marwan lagi.

"Udah tadi." Nuril menutup pintu, lalu nyelonong ke kamar mandi.

Marwan melihat Sari yang asik memainkan HP sambil merokok di kamar. Ia tidak suka kamarnya menjadi bau gegara rokok.

"Mah, jangan ngerokok di kamar dong!" Tegur Marwan. Sari tidak menghiraukan. Marwan kesal.

"Saryuni!!!" Marwan agak berteriak.

"Bau! Jangan ngerokok di kamar. Di luar kek ngerokoknya!"

Sari tidak mematikan rokoknya, malah menggerutu.

"Makanya balik ke rumah lama! Biar punya rumah agak gede! Supaya enggak kecium asepnya! Pusing gue, tau enggak?! Ngapa-ngapain sekarang susah!" Ujar Sari.

"Malu ditagih uang kontrakan nunggak 2 bulan! Ditagih di warung lagi, di depan orang! Begini aja terus hidup! Enggak tenang, nahan malu terus! Pikirin dong! Jangan santai-santai aja!" Keluh Sari lagi.

"Hmm.. Mulai cari ribut lagi.. Iya bilang aja nanti kalo gaji turun kan dibayar! Dikira aku santai-santai aja? Dikira kerja buat apaan?" Jawab Marwan. Perdebatan soal finansial sudah sering terjadi pada mereka akhir-akhir ini.

"Terus? Kalo gaji dibayarin kontrakan semua, mau makan apa!?" Sahut Sari lagi.

"Iya nanti aku yang bilang ke Bu kontakan, bayar setengahnya dulu!" Jawab Marwan.

"Cari tuh makanya si Hikmat! Suruh balikin duit! Keenakan orang kayak gitu! Udah nipu, kabur enggak cariin! .. Goblok.." Kata Sari. Mendengar Sari mengumpat, Marwan terpancing. Emosi Marwan tersulut dan mendatangi Sari di kamar. Marwan memegang lengan Sari, kasar. Dia memelototi Sari.

"Siapa yang goblok!? Laki lo? Laki lo,lo bilang goblok?" Sentak Marwan sambil menggoncang-goncang lengan Sari.

Sari tidak menjawab, takut. Marwan mengambil mengambil paksa handphone dan rokok Sari yang masih menyala.

"Heh! Mulut lo kenapa sih! Mau gue sundut sini mulut lo?! Kebiasaan!"

Sari mengalihkan pandangan, takut. 

"Siapa yang bilang kamu goblok.. Tuh! Si Hikmat yang goblok!"

"Eh! Yang namanya ketipu ya udah nasib! Kan udah lapor polisi. Kenapa dibahas terus sih!? Kita emang lagi apes aja! Gue enggak akan diem kok! Gue akan cari jalan keluarnya!"

Marwan melempar lengan Sari.

"Punya mulut kok kayak preman!"

Terdengar suara pintu kamar Nuril terbuka. Nuril baru kembali dari kamar mandi. Marwan berteriak.

"Nuril!"

"Hmm..?" Sahut Nuril.

"Tidur! Besok sekolah!" Suruh Marwan.

Lalu terdengar suara pintu kamar Nuril ditutup. Marwan masih dengan wajah muram pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

****

Marwan remaja, menangis di kamar mandi, sambil mencuci celana karatenya yang terkena kotoran. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, ada Pak Damar, Pak Edi, Setyo, dan lawan karatenya tempo hari, berdiri di mulut pintu, menunjuk sambil menertawakan kondisi Marwan. Terlihat manusia berseragam karate tapi berkepala anjing mondar-mandir di belakang mereka.

****

Marwan bangun, terenyak karena mimpi buruk tadi. Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi dahinya. Marwan menenangkan diri. Ia melihat Sari tidur memunggunginya di sebelahnya. Marwan menyandarkan dirinya ke tembok di belakangnya sambil mengatur nafas. Mata Marwan melihat ke arah piala karatenya saat SMP. (Piala Juara kedua dari dua peserta).

Lalu Marwan melihat rokok milik Sari di meja rias Sari. Marwan bangun, mengambilnya.

Marwan keluar dari rumah, ia merokok di teras, melamun. Lalu terdengar suara Anom memanggilnya dari pos ronda. Anom teriak.

"Woy! Be!"

Marwan jengkel, namun karena merasa tidak enak, terpaksa menghampiri.

Di pos ada Anom, Buyung, Otto dan 2 orang bapak-bapak lainnya yang adalah anggota ormas Anom sedang main kartu gaple. Anom dan dua Bapak-bapak tadi mengenakan atribut ormas mereka.

"Tuh kan! Lu kelamaan jadi Obe sih, jad dipanggil langsung dateng. Gua kan cuman nyapa doang. 'Sey hey' doang!" Ujar Anom. Semua orang di pos ronda tertawa.

"Kayak Ayam lu ah! Dipanggil dateng!" Lanjut Anom lagi. Marwan semakin merasa jengkel.

"Air di rumah udah nyala Be?" Otto bertanya.

"Udah." Jawab Marwan.

"Udah itu aja. Gih kalo mau balik lagi!" Kata Anom.

Marwan pura-pura tersenyum.

"Kecuali mau bikinin kopi, kita mah nerima aja meskipun udah ngopi. Hahaha.." Anom mengocok kartu.

"Si Nuril dah tidur Bang Obe?" Tanya Buyung.

Marwan menatap Buyung, murka. Beraninya anak kecil memanggilnya “Be”. Marwan memilih tidak menjawab pertanyaan itu.

"Balik ya, semuanya!"

"Mau kemana? Punya rokok enggak? Kalo enggak punya beli nih." Ujar Anom.

"Ada, makasih. Mari semua!" Marwan pamit. Ia berjalan ke rumahnya dengan wajah kesal, mulutnya komat-kamit mengumpat pada Anom.

Di pos ronda orang-orang masih membicarakannya.

"Belum tidur dia.. Kenapa enggak pernah nongkrong disini ya?"

"Banyak pikiran kayaknya. Enggak dikasih sama bininya mungkin, terus mau gabung disini juga minder.." Jawab Anom.

"Minder kenapa?" Tanya Otto.

"Gatau, kayaknya burungnya kecil, makanya dianggurin bini!" Canda Anom. Semua tertawa mendengar lelucon Anom, termasuk Buyung, adiknya yang sekelas dengan Nuril, anak Marwan.

Sontak Anom menatap Buyung, sinis.

"Heh! Tidur lo! Besok sekolah juga!"

"Ah santai, besok rapat guru!" Jawab Buyung.

****

Esok harinya.

Kijang Inova Anom terparkir di parkiran sekolah. Anom turun dari mobil, sendirian. Ekspresinya muram, kesal. Anom, mengenakan seragam ormas dan celana jeans, rapih. Ia berkaca di kaca mobil, dan memakai parfum khasnya di sisi mobil. Anom di panggil ke sekolah karena Buyung kedapatan mabuk di belakang sekolah bersama teman-temannya. Untuk itu Anom sebagai wali Buyung harus melakukan pertemuan dengan guru BK.

Di ruang BK, Anom duduk bersama dua orang tua lainnya, yang adalah orang tua dari dua orang teman Gang Buyung, yaitu Fajar dan Viskah. Buyung bersama dua temannya duduk di belakang. Mereka bertiga menunduk, takut dan malu.

Orang tua mereka sedang diberi penjelasan oleh Guru BK.

"Kalau kami mendapati lagi Ananda Buyung dan teman-temannya minum alkohol dan merokok di sekitar sekolah, kami mungkin akan memberikan Buyung, Fajar dan Viskah sanksi yang lebih besar sebagai bentuk ketegasan sekolah."

"Apa itu?" Tanya Anom.

"Kami akan lapor yang berwajib, dan mengeluarkan Buyung dan kawan-kawannya." Jawab Guru BK.

Dua orang tua di sebelah Anom merasa khawatir, takut anak mereka di DO. Hanya Anom yang masih terlihat angkuh, merasa bahwa dengan posisinya sebagai ketua ormas yang memiliki banyak koneksi pemerintahan, bisa menjadi tameng.

"Saya yakin anak saya hanya terbawa pergaulan, Bu." Kata orangtua Viskah.

"Ya, sejak berteman dengan Buyung, anak saya juga keluyuran terus!" Orangtua Fajar menimpali, sambil melirik Anom dengan ketus.

"Saya sudah mendidik anak saya sebaik mungkin, tolong dong anda selaku orangtuanya didik Buyung dengan benar!" Sambung orangtua Viskah pada Anom.

Anom diam, menahan malu tapi tetap tidak merasa bersalah.

"Ya.. Namanya juga anak-anak. Saya juga sudah tegas, tapi apa boleh buat. Saya akan lebih tegas lagi terhadap Buyung. Mohon dimaklum, Ibunya kabur ninggalin dia, sehingga saya yang harus mengurus dia." Jawab Anom.

Mendengar Anom membawa-bawa Ibunya, Buyung merasa kesal dalam hati.

Buyung dan Anom berdiri di koridor sekolah. Keadaan sepi karena sedang jam belajar. Anom memelototi Buyung. Beberapa saat Buyung buang muka karena tidak berani memandang Anom. Buyung yang merasa tidak nyaman pun memberanikan diri menatap Anom balik.

"Apa?!" Tanya Buyung, sinis.

Tidak menjawab, Anom melayangkan tamparan ke pipi Buyung, amat keras.

GEPLAKKK!

Buyung langsung menyembunyikan wajahnya, menahan sakit.

"Apa-apaan lo?! Ngerjain gue lo?! Lu mau bandel terserah, tapi jangan di sekolahan! Malu-maluin gue lo! Awas lu ya! Macem-mace gue gebukin lo!" Sentak Anom.

Buyung terengah-engah, dalam hati merasa marah karena ditampar. Merasa sudah membuat Buyung jera, Anom pun melangkah pergi untuk pulang. Saat ia berbalik, tak sengaja ia bertabrakan denga Nuril. Hidung Nuril bergerak-gerak, tidak nyaman dengan bau parfum yang Anom gunakan. Nuril menutup hidungnya. Dengan sinis Anom menatap Nuril, namun Nuril mengelak dan lajut pergi ke kelas dengan berpura-pura tidak melihat Buyung.

Seperti Marwan, Ayahnya, Nuril juga tidak menyukai Anom dan Buyung, adiknya. Ia memilih untuk tidak pernah berurusan dengan keluarga mereka.

****

Di Hotel.

Rindi sedang panik sambil membersihkan pecahan gelas di lantai pantry. MUKNI(40 th), salah satu housekeeper senior memarahinya. Pantry sedang kosong, hanya ada mereka berdua dan seornag housekeeper lagi yang duduk di kursi depan telfon.

"Gimana si? Masa pecah.. Ah! Hati-hati dong kalo kerja! Kamu masih baru lho Mbak, masa udah begitu!" Mukni mengomeli Rindi. Rindi tidak menjawab, hanya menahan tangis.

Tak lama Marwan masuk pantry, kebetulan baru datang. Dia melihat Mukni mengomeli Rindi.

"Ada apa nih?!" Tanya Marwan.

"Ini temen lo! Gelas pecah tuh! Enggak bener kerjanya!" Kata Mukni.

"Sssh.. Udahlah Bang, namanya kecelakaan. Kenapa marah-marah sih Bang?" Marwan menenangkan Mukni.

"Bukan apa-apa, dia orang baru lho! Masih mending enggak gue laporin!" Ancam Mukni.

"Duh.. Jangan lapor-lapor Bang, masing-masing aja, sesama pekerja Bang." Bujur Marwan.

"Ya kalo salah ditegor, dikasih peringatan emang salah?!" Balas Mukni.

"Ya tapi.. Kan Abang juga pasti ada salahnya? Saya juga ada salahnya.." Jelas Marwan.

"Ya kalo gue kan emang udah tua! Gue di hotel ini lebih lama dari lo pada! Masa yang muda kaga ngarti. Awasin tuh temen lo!"

Mukni jalan keluar pantry sambil bertolak pinggang.

Mukni memarahi Rindi karena dia merasa berhak sebagai koordinator shift pagi. Setiap shift memiliki koordinatornya sendiri, yang dipilih berdasarkan lama bekerja. Ada tiga orang pekerja yang sudah terhitung senior disana yaitu Mukni, Hendra, dan Marwan sendiri. Mereka bertiga tidak pernah berada di satu shift karena mereka harus menjadi koordinator salah satu shift dari satu hari(3 shift). Hari ini Mukni koordinator shift pagi, sementara Marwan koordinator shift siang. Hubungan Marwan dan Mukni kurang akrab. Sering mereka perang dingin, karena sama-sama memiliki jabatan sebagai koordinator shift. Hanya saja, karena Marwan lebih muda, ia merasa harus menahan diri setiap cek-cok.

Marwan pun turun ke lantai, membantu Rindi sambil menggerutu.

"Jangan dipikirin Rin.. Gitu dia, suka pengen unjuk gigi, ngerasa paling tua. Pulang aja, jangan kerja lagi kalo udah ngerasa tua! Banyak yang muda mau gantiin kok. Tua kok jadi alesan, kayak PNS aja!" Ujar Marwan.

"Udah Wan.. Emang salah gue." Jawab Rindi.

"Enggak, tapi dia orangnya kayak gitu. Punya koneksi sama supervisor jadi sombong." Jelas Marwan. Marwan menyentuh bahu Rindi.

"Ada masalah apa?"

"Laki gue kambuh lagi. Gue nemuin sabu di lemari." Jelas Rindi, menahan tangis.

"Lagi!? Karna apa?"

"Entahlah, kayaknya stress karna di-PHK. Pantesan dia aneh seminggu ini. Kasar banget." Jelas Rindi lagi.

"Lo sama anak lo baik-baik aja kan?" Tanya Marwan.

"Tadi pagi gue titipin anak gue ke mertua gue." Jawab Rindi.

Marwan merangkul Rindi, menenangkannya.

"Sabar ya.. Yang penting anak lo aman. Dan kalo lo ngerasa enggak aman lebih baik jangan pulang ke rumah dulu!" Jelas Marwan.

"Apa gue pisah aja gitu sama laki gue?

"Hssssh.. Ya namanya rumah tangga ya begitu kan? Rumah tangga gue sama Sari juga sering diuji masalah kok. Mending lo liat dulu aja kedepannya gimana, jangan ngambil keputusan yang besar saat lo lagi berkecil hati begini." Marwan menasihati Sari. Pertemanan mereka berdua yang sudah sejak SMA membuat mereka sangat dekat sampai hari itu.

****

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar