WOLFDADDY (SCRIPT)
5. Mimpi?

Marwan terbangun di kasurnya, pagi-pagi. Ia menyeka wajahnya, dan melihat di sisinya tidak ada siapapun. Suasana rumah juga hening. Dalam hati ia menyimpulkan semalam bersama Sari hanya mimpi. Ia kecewa, terlentang menatap langit-langit kamar. Marwan merasa masih belum sadar, belum bisa membedakan mana yang nyata, mana yang mimpi, yang jelas hatinya masih kelabu.

Dengan lesu ia bangun dari kasurnya dan berjalan ke arah cermin untuk merapikan diri.

Ia bercermin, mengelap wajahnya yang lembab, membersihkan kotoran mata dan merapikan rambutnya. Namun, ketika merapikan rambut ia tak sengaja melihat bercak merah di leher sebelah kirinya. Ia memeriksa bercak tersebut, mendekat ke cermin. Ia mulai curiga. Lalu ia memeriksa sekeliling kamar, memastikan bahwa Sari benar-benar datang semalam. Ia menelusuri ranjangnya, ia tidak menemukan apa-apa. Tak sengaja Marwan menoleh ke meja belajarnya, dan menemukan sebuah kertas surat/note di bawah telfon.

Ia mengambil kertas itu dan melihat sebuah tulisan tangan di dalamnya. Marwan membacanya.

TULISAN NOTE:

"Aku pulang, Mbakku nyariin. Maaf enggak bangunin kamu, Takutnya kalo kamu bangun nanti bingung mau ngapain dan sedih. Telfon aku ya!

Sari cinta Marwan.

I LOVE YOU SAYANG."

 Marwan tersenyum kegirangan, berselebrasi singkat, keindahan malam tadi benar-benar terjadi. Sekejap nuansa hatinya berubah. Ia langsung duduk di meja belajarnya dan menelfon Sari. Marwan menunggu Sari mengangkat telfon, masih dalam perasaan bahagia.

"Halo?" Suara Sari dari telfon.

"Hai! ini aku." Kata Marwan.

"Oh Iya kenapa? Udah bangun?" Sari tertawa kecil.

"Semalem rasanya kayak mimpi.. Terimakasih ya.." Ucap Marwan.

"Ssst.. Jangan bilang siapa-siapa ya!" Kata Sari.

"Iya, Sayang..Tapi.. Anter aku bikin tattoo, jadi ya?"

"Iya, nanti aku anter, itu temennya Mbakku kok!" Jawab Sari.

"Oke.. Kamu lagi apa sekarang, Sayang?" Tanya Marwan lagi.

"Lagi mau mandi, soalnya mau nganter Mbakku ke pameran, Sayang."

"Oh pameran apa?"

"Enggak tau. Kesenian gitu deh, sebentar lagi berangkat. Jam delapanan, makanya mau mandi. Kamu enggak kemana-mana?" Sari bertanya balik.

"Enggak sih kayaknya.." Bersamaan dengan itu mata Marwan tak sengaja melihat seragam karate kotor yang belum dicuci, di lantai kamarnya. Ia terdiam sebentar, sebelum akhirnya menyadari, hari itu adalah hari pertandingan. Marwan panik. Ia melihat jam menunjuk pukul 07.45.

"Sa-sayang..! Nanti aku telfon lagi ya, aku lupa sesuatu! I LOVE YOU?" Marwan harap-harap cemas, menunggu balasan ucapannya sebelum menutup telfon. Lalu terdengar suara Sari tertawa pelan.

"I Love you too!" Jawab Sari. Marwan tersenyum, menutup telfon. Lalu Marwan kembali pada kepanikannya, terburu-buru mengemas perlengkapan karatenya. Ia mengambil tas dan memasukkan setelan karatenya yang belum dicuci. Marwan berangkat dengan motornya, menuju GOR tempat kompetisi diadakan.

****

Maria, seorang psikolog berumur 33 tahun bersetelan rapi ala wanita karir, memencet bell, berdiri di depan pintu rumah Marwan. Tidak ada yang menjawab.

"Permisi..! Marwan?

Permisi..!"

Beberapa kali ia memanggil, tidak juga ada tanggapan. Maria pun pergi.

****

Jam 08.15 Marwan tiba di gelanggang olahraga. Penonton lumayan banyak, menyebar, di dominasi oleh pendukung dari sekolah tuan rumah yaitu SMK Ibu Pertiwi. Ada 2 arena pertandingan, dimana di tengah-tengah dipajang trofi/Piala kerjuaraan tersebut. Pialanya berbentuk cup besar, berwarna silver, berpita, terlihat mewah. Marwan masuk GOR, ia menghampiri Pak Damar, Setyo dan yang lainnya. Ia terengah-engah.

"Ngapain kamu kemari?!" Tanya Pak Damar, sinis.

"Maaf Pak, saya bangun kesiangan!" Jawab Marwan.

"Huu!" Setyo mengejek Marwan.

"Siapa nama kamu?" Pak Damar bertanya lagi.

"Mar.. Marwan, Pak." Marwan gugup.

"Marwan, maaf kamu enggak seharusnya disini. Ini hanya buat siswa yang terpilih, dan yang DATANG KEMARIN! Saya tunggu kamu seharian! Kemana kamu?! Ngerjain saya?!" Jelas Pak Damar, menolak Marwan.

"Maaf sekali Pak, kemarin saya lupa!" Jawab Marwan.

"Pulanglah sana! Mau kompetisi tapi lupa, mau gimana jadinya?" Pak Damar mengusir. Marwan memasang wajah memelasnya.

"Kemarin Ayah saya meninggal. Saya lupa punya janji Pak." Sahut Marwan.

 Pak Damar langsung terdiam, keadaan canggung seketika, semua anak rombongan sekolahnya menatapnya.

"Oh sso-soal itu.. Saya enggak tahu kabar itu. Saya turut berduka ya." Kata Pak Damar, merasa bersalah.

"Iya Wan, turut berduka ya! Semoga Bapaklo diterima disisinya." Kata anak lain, bergantian, kecuali Setyo yang masih menyimpan dendam.

"Terus sekarang kamu enggak apa-apa?" Tanya Pak Damar lagi.

"Saya baik kok.." Jawab Marwan.

"Lalu kamu siap tanding enggak? Lawanmu enggak peduli orangtuamu baru meninggal atau apa, mereka akan lawan kamu." Kata Pak Damar.

"Buruan! Mau enggak?!" Wajah Setyo terlihat kesal.

"Siap enggak?" Tanya Pak Damar.

Marwan tiba-tiba merasakan perutnya sakit, efek alkohol semalam. Ia mencoba tidak menghiraukannya.

"Boleh Pak." Jawab Marwan.

"Bukan boleh-boleh.. Mau apa enggak?"

"Iya Pak."

Marwan mencari tempat duduk, agak jauh dari Pak Damar dan yang lainnya. Ia terpaku melihat piala di tengah lapangan, jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba Setyo membanting tongkat penyangganya di sebelah tempat duduk Marwan. Marwan tersentak, kaget. Setyo mencengkram lengan Marwan dan berbisik.

"Gue tau lo sengaja bikin gue jatoh kan!? Supaya lo yang tanding!? Liat aja! Sebaiknya lo menang hari ini!"

"Hah?" Marwan heran.

"Liat aja! Sebaiknya lo menang hari ini! Gue tai-tai'in lo kalo kalah!" Ancam Setyo. Marwan merasa tidak tenang dengan tekanan dari Setyo.

"Wan! Wan!" Pak Damar memanggil. Marwan dan Setyo menoleh.

"Ganti cepat!" Kata Pak Damar.

Marwan mengambil tasnya, menjauh dari Setyo. Sambil memangku tasnya, Marwan melihat ke arah pertandingan, sorak riuh penonton bersorak seiring pertandingan berjalan ketat di dua arena. Penonton sekolah tuan rumah mendukung atlit mereka dan melakukan intimidasi pada atlit sekolah lain. Marwan mulai merasa khawatir, takut.

Marwan mencoba tidak menghiraukan keadaan untuk menghilangkan rasa takutnya. Ia berkonsentrasi mengganti pakaian, namun tangannya gemetar hingga kesulitan ketika mencoba membuka resulting tas. Ia meniup-niup tangannya yang dingin, diam-diam dari yang lain. Wajahnya mulai pucat. Sementara itu pertandingan yang saat itu berlangsung akhirnya dimenangkan oleh anak bernama Abbas, dari sekolah tuan rumah. Abbas adalah anak yang pernah satu SMP dengan Marwan.

Panitia mengumumkan hasil pertandingan.

"Pertandingan Antara ananda Abbas dan Ananda Yusuf, dimenangkan oleh Ananda Abbas Suryadi dari SMK Ibu Pertiwi!"

 Penonton bersorak.

Pak Damar menemui pos panitia di antara dua arena, untuk laporan kehadiran peserta.

Marwan sudah berganti pakaian Ia sedang mengikat sabuknya. Seragamnya kusut, agak dekil. Sesekali ia menggaruk badan karena gatal. Lalu ia bergabung dengan satu orang lainnya, perempuan(wakil putri). Mereka melakukan peregangan. Selagi itu, riuh dan sorak penonton yang liar tidak luput dari pikiran Marwan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya.

Pak Damar memanggilnya di sisi arena. Marwan pun berjalan kesana. Langkahnya berat, badannya gemetar. Sesekali Marwan meremas perutnya dan menggaruk punggungnya, merasakan badannya gatal-gatal karena pakaian belum dicuci, dan sakit perut.

Pak Damar membantu Marwan memasang perlengkapan tanding, helm, pengaman perut, kepala, dan sarung tinju. Sementara itu pikiran Marwan melayang-layang, hilang di gemuruh penonton.

Marwan dengan perlengkapan yang sudah lengkap, dinyatakan siap bertanding. Panitia menyuruhnya masuk lapangan. Pak Damar memberinya instruksi, namun Marwan tidak dapat menangkap apa-apa karena rasa gugupnya menguasai.

Marwan masuk arena, disitu ada musuhnya menunggu, menatapnya. Mereka berdiri berhadapan, dan ditengah-tengah mereka berdiri seorang wasit memberi tahu aturan pertandingan. Setelah itu wasit menyuruh Marwan dan lawannya bersalaman, lalu mereka mundur.

Abbas, teman SMP Marwan yang baru bertanding tadi, duduk besama penonton pendukung sekolahnya. Ia beristirahat sambil memperhatikan Marwan dari jauh, memastikan itu Marwan yang ia kenal, yang bisa naik tingkat sabuk karate tanpa pernah terlihat ikut ujian. Diantara riuh penonton, ia memprovokasi penonton untuk mulai mengintimidasi Marwan.

"Dia temen SMP gue! Sabuk coklatnya palsu! Dia Sabuknya beli! Palsu!"

Seketika penonton pendukung tuan rumah meneriaki Marwan karena provokasi Abbas.

"Sabuk palsu! Sabuk Palsu! Sabuk Palsu!" Penonton riuh, membuat mental Marwan down, tertekan.

Wasit memberi aba-aba. Lalu mereka mulai bertanding. Marwan dan lawannya saling mengitari matras, mencari peluang untuk memukul dan menendang. Gerakan Marwan kaku.

Tiba-tiba, lawan Marwan menerjang dengan pukulan ke dada Marwan. Poin untuk lawan Marwan. Marwan terdorong dua langkah ke belakang. Penonton bersorak. Wasit menyuruh keduanya memisahkan diri.

Mereka mundur dan bersiap lagi. Marwan merasakan perutnya semakin bereaksi, nafasnya terengah-engah menahan berbagai perasaan. Tangannya semakin rajin menggaruk, sebab rasa gatal yang muncul tiba-tiba akibat gelisah.

Marwan dan lawannya mengambil ancang-ancang lagi untuk saling menyerang, dan akhirnya menyerang dengan bersamaan. Marwan kalah cepat sehingga lawan memukul perutnya. Marwan menjatuhkan diri di lututnya, sambil meringis memegangi perutnya karena mulesnya semakin terasa sebab pukulan tadi. Wasit memisahkan mereka. Penonton kembali bersorak untuk poin lawan.

"Kamu baik-baik aja?" Tanya wasit.

"Iya, cuma ini sedikit.. " Marwan bangun dan berjalan pada Pak Damar di sisi arena.

Pak Damar heran, bertanya, "Kenapa?!

"Ppak.., saya harus pergi ke toilet!" Jawab Marwan terbata-bata.

"Toilet? Mau apa?! Jangan sekarang!"

"Saya sakit perut Pak!" Tidak menghiraukan Pak Damar yang menggerutu, Marwan mencopot semua pengaman, helm, sarung tangan dan sarung kaki dengan terburu-buru. Penonton tidak henti-hentinya menyoraki Marwan dengan kata-kata kasar dan hina’an. Marwan berlari keluar lapangan. Orang-orang heran.

Seorang panitia menghampiri Pak Damar.

"Maaf Pak, harus kami nyatakan kalah karena WO!"

Pak Damar terlihat kesal, kecewa.

Marwan berlari ke toilet terdekat. Meninggalkan kerumunan lomba. Beberapa meter di depan toilet ia terpeleset jatuh. Pinggulnya terkilir. Ia berusaha bangun menahan sakit, kesal dan sedih akan dirinya. Terlihat warna coklat di belakang celana karatenya. Kotoran Marwan tidak sengaja keluar tak tertahan akibat jatuh. Ia berusaha bangun sambil memegangi pinggulnya, lalu ia berjalan tergopoh-gopoh, pincang, masuk toilet.

Sambil buang air besar Marwan menahan tangis. Tangannya mengepal, bergetar, kepalanya menunduk. Ia kecewa dan benci pada dirinya sendiri. Selain itu, ia juga tahu kehidupan sekolahnya akan sulit dan memalukan setelah ini.

"Bego! Bego!"

Marwan memukuli kepalannya sendiri.

"Dunia enggak peduli Ayah lo mati! Marwan bego! Kenapa lo enggak berkutik disana!"

"Argghhh! Aku harap kekacauan hari ini cuma mimpi! Aduh! Ini benar-benar buruk! BENAR-BENAR BURUK! Tolol kamu Marwan!"

Kata-kata kasar dan makian muncul dari mulut Marwan.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar