WOLFDADDY (SCRIPT)
4. Tatto

Ruslan baru siuman namun sangat lemah, hanya bisa bicara pelan, matanya tidak terbuka sepenuhnya. Badannya pun masih berwarna kuning. Air infusnya sudah mau habis. Lingga di sisi ranjang, menjaganya, prihatin melihat Ruslan, kakaknya.   

Marwan datang ke ruangan, selepas latihan karate, membawa tas soren sport dengan seragam SMA. Marwan melihat Ayahnya yang sudah siuman.

"Awan, kebetulan! Ayah siuman, nanyain kamu tadi. Sini temenin Bapak!" Lingga menyambut Marwan dengan kabar gembira. Marwan mendekat ke ranjang.

"Tante mau cari perawat, infusan Bapak udah mau habis."

"Oh iya Tante."

Marwan dan Lingga bergantian duduk di kursi sebelah ranjang. Lingga keluar ruangan sementara Marwan terlihat kaku, ia tidak tahu harus bicara apa di depan ayahnya yang terlihat sangat lemah. Mata Ruslan terbuka sedikit. Marwan mendekatkan kepalanya ke kepala Ruslan, dan menggenggam tangannya.

"Ayah? Ini Awan."

"Awan.. " Kata Ruslan, pelan.

"Iya Yah?"

"Gimana sekolah?" Tanya Ruslan.

"Ada kompetisi karate di sekolah." Jawab Marwan.

"Awan ikut?"

"Kayaknya iya Yah."

"Hebat.." Puji Ruslan.

Marwan terdiam. Mata Ruslan berkaca-kaca, seperti akan mengatakan sesuatu. Marwan mendekatkan telinganya ke mulut Ruslan.

"Awan itu kuat.." Ruslan menatap Marwan. "Maafin Ayah.."

Marwanberkaca-kaca, sedih. Menahan tangis.

"Maafin Ayah.."

"Ayah cepet sehat makanya, lawan penyakitnya.. Nanti Awan ceritain soal pertandingannya."

"Ayah.. doain.. kamu.."

"Doa Ayah pasti bikin Awan menang! Awan akan kalahin semua orang dan pulang bawa piala Yah!"

Marwan menempelkan tangan Ayahnya di pipinya. Tante Lingga datang bersama dua perawat perempuan. Marwan bergeser, memberi ruang untuk para perawat mengganti cairan infus.

"Malam Bapak.. Udah siuman ya Pak? Sebentar lagi sembuh pasti.." Seru seorang perawat, mencoba menyemangati Ruslan. Ruslan mengatakan sesuatu, pelan.

"Awan lomba karate..!"

 Lingga dan para perawat tidak mendengar jelas. Lingga dan salah satu perawat mendekatkan telinga mereka pada Ruslan.

"Kenapa Pak?" Perawat bertanya dengan ramah.

Ruslan menarik nafas panjang, agar dapat mengatakannya dengan keras.

"Awan ikut besok lomba karate." Kata Ruslan.

"Awan besok lomba karate?" Tanya Tante Lingga. Ruslan tersenyum.

"Iya Tante.." Jawab Marwan malu-malu.

"Oh anaknya mau lomba karate ya Pak? Hebat!" Kata si perawat, ikut memuji.

"Keren Awan! Kalau begitu istirahat yang cukup.." Sahut Tante Lingga.

"Bu, resepnya lebih baik ditebus sekarang, mumpung apotek masih buka." Kata salah satu perawat.

"Awan, bisa ke apotek kan?" Tanya Lingga pada Marwan.

"Apotiknya deket kok, dari sini ke kiri, lurus lalu apotiknya di sebelah wartel." Jelas perawat.

"Oh iya, aku kesana."

Lingga memberikan resep pada Marwan. Sebelum pergi Marwan pamit pada Ruslan. Ia menggenggam tangan Ruslan sebentar. Ruslan hanya memandang Marwan dengan tatapan kosong.

"Pak, sebentar ya.. Marwan ambil obat dulu." Marwan pergi keluar ruangan.

Marwan menuju apotek, berjalan kaki. Ia mengenakan celana SMA dan jaket Hoodie. Jam menunjuk angka 9 malam. Untuk ke apotek tersebut Marwan harus melewati sebuah wartel dan sebuah petshop. Di depan petshop tersebut ada tempat duduk beserta meja, dan di salah satu tempat duduk ada sepasang Om-Tante Tiongkok membawa anjingnya dengan tali. Itu memungkinkan si anjing berjalan ke trotoar karena talinya yang cukup panjang, sementara pemiliknya asyik mengobrol. Marwan yang takut anjing pun ragu untuk berjalan di trotoar. Akhirnya Marwan kembali dan turun dari trotoar. Ia berjalan di aspal menuju apotik.

Selepas dari apotek Marwan mengintip terlebih dahulu ke arah petshop yang akan ia lewati. Orang yang tadi sudah pergi, Marwan pun pulang dengan aman, menjinjing kantong kresek putih berisi obat. Ia melewati petshop, lalu melewati sebuah wartel. Setelah melihat wartel itu ia teringat Sari dan berencana menelfonnya setelah mengantar obat.

Memasuki koridor rumah sakit, tangan Marwan masuk ke dalam saku jaketnya, ia mencari koin untuk digunakan menelfon Sari. Di lorong itu, di tempat ia melangkah, ada tiga kamar lagi yang harus Marwan lewati untuk sampai ke kamar Ayahnya. Tak sengaja sebuah koin jatuh dari saku jaketnya.

Koin jatuh di lantai. Marwan mengambilnya. Ketika ia memungut koin di lantai, dua orang perawat dan seorang dokter berlari dengan wajah panik dari arah belakang, melewatinya, dan masuk ke kamar Ayahnya. Marwan mematung, terdiam beberapa saat, perasaannya tidak enak.

Marwan memberanikan diri, bangun dan melangkah ke kamar. Saat akan masuk, keluar Tante Lingga menangis. Dilihatnya di dalam kamar, dokter dan para perawat berdiri di sisi ranjang, menatap Ruslan yang terpejam tidak bergerak sama sekali. Alat pendeteksi jantung tidak menunjukkan denyut jantung. Ruslan wafat. Marwan masih mematung di pintu.

****

Sambil menahan tangis Marwan menempelkan telfon di Antara pundak dan telinganya. Ia membuka halaman di sebuah buku telfon kecil, dimana tertera nama Sari dan nomer telfonnya. Marwan mencoba menflon Sari berkali-kali namun tidak diangkat. Sampai akhirnya ia pun menyerah. Ia membuka halaman lain di buku telfon itu dan menemukan nomer Rindi. Ia menghubungi Rindi, sahabatnya.

 

****

Marwan, Rindi dan Tante Lingga berdiri di sisi liang lahat, bersama para pelayat lainnya. Tante Lingga memegang payung sambil mengusap bahu Marwan yang sedang menangis, begitu juga Rindi yang memegangi lengan Marwan. Liang kubur Ruslan kini sedang ditutup tanah. Makamnya bersebelahan dengan makam Airin, Ibunda Marwan.

Sebenarnya ada satu orang yang Marwan harapkan datang saat itu, yaitu Sari, namun sejak semalam Sari tidak bisa dihubungi.

****

Keadaan Rumah terasa amat kosong, sunyi. Satu-satunya sumber cahaya adalah dari lampu rumah tetangga dan lampu jalan yang masuk lewat jendela. Malam itu, setelah acara pemakaman Ruslan, Marwan sendirian, tertidur di sofa. Rasa penat dan sedih begitu menguras tenaganya seharian. Ia bahkan masih mengenakan pakaian dari pemakaman tadi.

Marwan terbangun dari tidurnya. Jam 8, malam itu. Ia duduk di sofa, wajahnya berminyak, rambutnya berantakan, tidak bergairah. Ia duduk. Ia mengumpulkan kesadarannya, lalu merogoh saku celananya. Ada sebungkus rokok, dan juga amplop berisi surat wasiat dari Ayahnya, yang diberikan Tante Lingga tadi siang. Marwan menyalakan rokoknya, lalu membuka amplop surat itu. Ia membacanya.

Surat dari Ayah:

Banyak cobaan menimpa kamu semuda ini, tapi kamu tetap berdiri melanjutkan hidup. Meskipun Bapak dan Ibu melemahkanmu engan cara kami, tapi tidak bisa mengalahkan tegarnya kamu. Bapak harap kamu bisa jadi orang yang lebih hebat.

Hidup ibarat pertandingan yang besar. Jadilah pemain hebat, jangan hanya jadi penonton. Jadi pemenang untuk ceritamu sendiri, bukan jadi pendengar cerita orang lain.

Kamu ahli waris tunggal Bapak. Maaf karena sebagian harta Bapak sudah digunakan untuk pengobatan Bapak dan Ibu tempo hari. Bapak berusaha untuk menyisakan untuk kamu, agar kamu punya bekal. Maaf jika orang tuamu yang payah ini meninggalkanmu sendirian haya dengan materi, bukan kasih sayang yang tepat.

kami menyayangi kamu.

Marwan menghembuskan nafas. Ia memandangi foto orangtuanya di dinding. Surat dari Ayahnya tadi membuatnya amat merasa berduka. Air matanya mulai jatuh lagi. Ia merasa takut melanjutkan hidup karena hanya sendirian.

Tiba-tiba terdengar suara bel rumah. Sontak Marwan mematikan rokok di asbak dan menyembunyikan asbak di bawah sofa, khawatir jika Tante Lingga yang datang dan melihatnya merokok. Marwan pergi ke ruang tamu dan mengintip lewat jendela. Dilihatnya Sari depan pintu, dengan setelan casual, dan mengenakan tas ransel sekolahnya.

Marwan membukakan pintu. Sari berdiri di depannya, menunjukkan ekspresi duka, bersimpati, lalu memeluk Marwan.

"Wan! Maaf gue enggak dateng. Gue sama Mbak gue lagi pergi semalam. Gue baru tau tadi sore!"

"Iya enggak apa-apa. Makasih, gue senang lo dateng." Marwan tersenyum menyambut pelukan perempuan yang sedang ia suka itu.

"Turut berduka, Wan.. Yang sabar ya!" Pelukan Sari semakin erat.

"I-iya Ss-sar, makasih ya.." Marwan gugup. Lalu Sari melepaskan pelukannya pada Marwan.

"Dari mana jam segini?" Tanya Marwan.

"Enggak dari mana-mana. Emang niat mau kemari ketemu lo.. Lo sendirian?"

Marwan mengangguk, "Iya. Ayo kalo mau masuk."

Sari melepas sepatunya, lalu melangkah masuk rumah. Marwan menutup pintu. Mereka pergi ke ruang tengah tempat Marwan tertidur tadi. Sari melihat-lihat isi rumah.

"Oh ini rumah kamu.."

"Duduk Sar.. Mau minum apa? Enggak ada apa-apa sih.."

"Bawa gelas aja dua! Aku bawa sesuatu Wan."

Marwan pergi ke dapur, sementara Sari duduk di sofa. Ia mengelurkan sebotol minuman vodka murah dari tasnya.

Marwan dan Sari duduk di sofa, bersebelahan. Vodka yang dibawa Sari hanya tersisa sedikit lagi. Mereka berdua dalam pengaruh alkohol. TV memutarkan film “Pretty Woman”. Dan cahaya ruangan hanya berasal dari TV karena lampu ruangan tidak dinyalakan. Marwan masih merasa sedih sehingga nada bicaranya tidak terlalu bergairah.

"Rencana kamu sekarang apa?" Tanya Sari, tiba-tiba.

"Entahlah. Aku selalu takut buat rencana." Jawab Marwan.

"Mengalir aja.. Kelak kita bakal tau kok apa yang harus kita lakukan. Rencana, janji, itu ga selalu berakhir tepat." Kata Sari.

"Yang jelas aku harus hidup dengan yang aku punya sekarang. Kan sekarang aku enggak punya tempat minta tolong Sar." Marwan menuang minuman lagi ke gelasnya, lalu meminumnya.

"Tante kamu gimana? Emang dia enggak mau ngurusin kamu?" Tanya Sari lagi.

"Aku enggak mau. Mana bisa aku tinggal diurus sama dia." Sahut Marwan. Marwan kembali bersandar di sofa. Ia menaikkan kakinya ke meja.

"Oh iya, kamu udah cerita kenapa."

"Lagipula aku terlalu sayang sama orang tuaku. Mana bisa aku berpura-pura seseorang bisa gantiin mereka." Sambung Marwan.

"Sebelum aku tinggal sama Mbakku, aku ngerasain betapa sulitnya nganggap perempuan yang dinikahin Ayahku sebagai Ibu. Bahkan nganggap Ibu tiri aja pun enggak bisa. Jadi, aku ngerti kok perasaan kamu." Jawab Sari.

TV menyayangkan adegan ciuman di film Pretty Woman. Keduanya mulai canggung terbawa suasana.

"Ja-jadi.. kamu tinggal sama Mbak kamu gara-gara itu?" Tanya Marwan.

"Ya! Daripada harus ketemu terus sama orang baru dan harus berpura-pura setiap hari." Jawab Sari.

"Untung ada Mbak kamu ya.. Coba aku punya Kakak, aku enggak akan ngerasa sendirian banget."

 Sari melirik Marwan.

"Kamu enggak sendirian kok.."

Marwan menatap Sari. Keduanya salah tingkah. Sari memeluk lengannya sendiri, langsung mengalihkan pandangannya, tidak berani memandang Marwan.

"Kan ada aku." Ucap Sari.

Marwan semakin salah tingkah, "Emang.. Kita?"

"Apa?" Tanya Sari, memancing Marwan.

"Pacar?" Tanya Marwan.

"Emang itu kan tujuan kamu deketin aku?" Sari dalam tersipunya menanggapi.

"Yaudah.." Kata Sari lagi.

Marwan pun ragu-ragu merapatkan duduknya pada Sari. Tangannya bergerak menyentuh tangan Sari. Sari tidak menolak. Mereka berdua pun berpegangan tangan. Lalu Marwan berbisik pelan.

"Kamu cantik. Boleh cium?"

Sari tidak menjawab, malu. Sari hanya menoleh sedikit-sedikit pada Marwan. Marwan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Sari, sementara Sari perlahan berbaring. Awalnya mereka hanya berciuman, namun suasana semakin tidak terkendali. Marwan meraba-raba tubuh Sari, tanpa penolakan. Sari mulai membuka bajunya. Ia berbalik, membiarkan Marwan membuka bra-nya, dan terlihat oleh Marwan, sebuah "tatto" baru jadi di punggung Sari.

"Kamu punya tattoo?"

"Baru buat kemarin. Kamu ga suka ya?" Jawab Sari. Marwan terdiam memandangi tatto itu. Sari mulai cemas.

"Cantiknya.. Aku pengen bikin juga, gambar yang sama dengan punya kamu." Kata Marwan. Sari tersenyum.

"Serius?" Tanya Sari.

"Kamu mau anter aku buat tatto?"

Sari mengangguk. Mereka tertawa mesra, lalu mulai bercinta.

****

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar