WOLFDADDY (SCRIPT)
3. Waktu

Pulang sekolah.

Marwan dan Rindi sedang jajan gorengan di depan sekolah. Rindi sedang memilah-milih gorengan, sementara Marwan menunggu dibelakang, setengah melamun sambil merogoh sakunya, mengambil koin 500 perak untuk bayar gorengan.

"Wan, risolnya dua kan?" Tanya Rindi.

"Iya, ini duitnya." Marwan memberikan uang 500 peraknya kepada Rindi.

Rindi membawa gorengan dan memberikan uang pada Abang gorengan, lalu mereka berdua berjalan di trotoar. Terlihat di trotoar ada beberapa jajanan mangkal dan siswa-siswi yang juga lalu-lalang. Marwan dan Rindi berjalan bersamaan, sambil memakan gorengan yang mereka beli. Marwan terlihat agak lesu.

"Bokap lo masuk RS-nya kapan?" Tanya Rindi.

"Kemarin pas siang itu baru masuk ruangan. Drop lagi." Jawab Marwan.

"Di RS mana?"

"RS Sentra Medika."

"Wow.. Rumah sakit orang kaya, beda ya?" Goda Rindi.

"Karna paling deket rumah aja.." Jawab Marwan tidak bergairah.

"Terus sekarang bokap lo gimana?"

"Masih belum sadar. Dia dijagain tante gue, makanya gue harus balik gantian jagain Bokap."

"Gue pengen jenguk, tapi pasti kalo di ICU enggak semua orang bisa masuk."

"Bisa kok.. Tapi enggak usah lah. Bosen tau. Minta do’anya aja buat bokap gue."

"Aamiin. Terus.. Si Sari tau?"

Marwan tersenyum kecil, "Udah dong, sebelum cerita ke lo kan gue cerita ke Sari dulu."

"Oh gitu ye.."

Tiba-tiba dari belakang, seseorang lagi-lagi merangkul Marwan dengan kasar, memiting lehernya. Marwan tertunduk dibuatnya, tidak bisa bergerak. Marwan yang merasa sudah muak dengan perlakuan seperti itu membuang gorengan yang sedang ia pegang, bersiap mendorong orang itu. Namun ia merasa aneh, mencium bau parfum perempuan. Ia melihat ke bawah, benar saja itu kaki seorang perempuan karena mengenakan rok. Marwan melepaskan diri dengan halus, dan terkejut itu ternyata adalah Sari, yang merangkulnya. Sari tertawa-tawa. Sari juga baru pulang, masih mengenakan seragam.

"Hhaha..! Kaget ya?" Ejek Sari.

Marwan tersenyum, ia tersipu malu, "Gue kira siapa.."

"Udah pulang?" Tanya Sari.

"Udah nih.." Marwan langsung melirik Rindi, memberi kode. "Rin! Gue duluan ya!"

Rindi mengangguk, paham yang Marwan maksud.

Sari dan Marwan kini berjalan bersama di trotoar. Mereka berhenti di tempat Marwan memarkir motornya, motor Honda Astrea tahun itu.

"Abis ini mau kemana?" Tanya Sari.

"Mau ke rumah sakit sih paling." Jawab Marwan.

"Temenin yuk, sebentaaarrrr... aja." Pinta Sari.

"Ayo.. Gue bawa motor kok." Marwan mengiyakan tanpa pikir panjang. Ia yang tadi tidak bergairah kini terlihat sumringah.

Mereka hendak naik motor, tiba-tiba Setyo, teman Ekskul karate Marwan memanggil dari salah satu pedagang jajanan.

"Wan!"

Marwan dan Sari menoleh.

"Hey!" Balas Marwan.

"Kemaren lo dicariin Pak Damar! Kita semua persiapan lomba! Enggak ada yang latih anak-anak." Kata Setyo, agak berteriak.

"Besok gue latihan! Bilangin, Bokap gue di rawat di RS, gue harus jagain dia." Jawab Marwan.

Marwan menaiki motor Honda Astrea-nya, memakai helm dan menyalakan motor. Sari naik motor. Mereka tampak gembira.

Sari dan Marwan keluar dari warung jamu. Sari memasukan sebotol anggur merah ke dalam tasnya, sementara Marwan menghisap sebatang rokok. Puas menghisapnya, Marwan memberikan rokok itu pada Sari. Rokok itu milik Sari. Mereka merokok bergantian.

"Lo beli sebotol buat sendiri?" Tanya Marwan.

"Bareng Mbak gue!" Jawab Sari.

"Mbak lo enggak marah lo minum alcohol?"

"Enggak sih. Kita satu frekuensi soalnya. Sama-sama bandel." Jawab Sari sambil tersenyum.

"Gue berharap bisa sebebas lo." Kata Marwan sambil menatap Sari.

"Ah itu lo ngerokoknya udah jago! Berarti bukan pertama kali dong?" Sahut Sari.

"Mulai nyobain rokok setelah Ibu meninggal sih. Kalo masih ada, mana berani. Bisa bunuh diri kali Ibu gue!" Jelas Marwan.

"Nanti ada saatnya kok lo bisa bebas. Eh, tapi! Berarti pulang sekolah lo bakal ke RS terus dong ya sekarang?

"Kayaknya sih gitu." Jawab Marwan lesu.

"Besok juga?"

"Kalo besok pulang sekolah kayaknya mau latihan karate dulu. Soalnya harus ngelatih anak-anak."

"Waw.. Kerennya, anak karate!" Kata Sari, menggoda Marwan. "Terus kapan mainnya dong? Enggak ada yang nemenin gue jalan." Sambung Sari lagi.

"Bisa kok! Asal enggak dadakan. Bisa!" Marwan bersemangat.

Sari menggodanya lagi dengan nada genit. "Ah masa? Yaudah ah, nanti lo terlambat ke RS. Gih kalo mau berangkat."

"Ayo gue anter pulang aja!" Marwan menawarkan diri.

"Enggak apa-apa?"

"Enggak. Ayo!" Marwan menaiki motornya, begitu juga Sari. Mereka menuju rumah Sari.

****

Jam menunjuk angka 8, malam. Marwan sudah berada di ruangan Ruslan yang masih belum siuman. Marwan duduk di sofa panjang sebelah ranjang. Ia menatap Ayahnya yang terpasang banyak alat. Disana juga ada Lingga duduk di kursi di sisi ranjang, memegangi tangan Ruslan.

"Wan?" Lingga memanggil. Marwan tidak bergeming. Ia hanyut dalam lamunannya, mengingat kejadian tadi siang. Marwan membayangkan kembali menahan pukulan anak yang memalaknya. Marwan mulai bertanya-tanya apakah ia memang punya kemampuan untuk berkelahi?

"Awan!" Kedua kalinya Lingga memanggil agak keras. Marwan pun terenyak.

"Iya Tan?"

"Pulang gih.. Udah malam."

"Awan nginep aja Tan."

"Kamu kan besok sekolah. Belum bawa ganti. Enggak apa-apa kok, Tante nginep disini. Tapi besok pulang sekolah Awan langsung kemari, gantian jaga Ayah. Tante harus ke kantor sebentar." Jelas Lingga. Marwan menurut.

"Hmm.. Iya Tante." Marwan mengangkat tasnya, ia bangun lalu menatap Ayahnya sejenak sebelum beranjak. Setelah itu, ketika Marwan hendak melangkah keluar ruangan, namun Lingga mengatakan sesuatu.

"Banyak berdoa buat Bapak ya Wan.. Kondisi Bapak semakin parah." Kata Lingga.

Marwan terhenti dekat pintu, mendengarnya. Ia berbalik, langsung menatap Tante Lingga dengan ekspresi marah. Ia melangkah mendekat pada Tante Lingga. Tante Lingga terlihat takut.

"Oh, lo kira gue enggak bisa lihat!? Iya, Bapak sekarat! Coba dari awal lo enggak bawa Bapak ke pengobatan alternatif, mungkin Bapak enggak akan separah ini sekarang! Harusnya dari awal lo jangan cepet percaya sama cerita orang yang dibesar-besarkan! Pokoknya, kalo Bapak gue mati, itu karena lo! Karena lo cepet percaya cerita bullshit temen-temen arisan lo!" Sentak Marwan.

Lingga shock, merasa sakit hati dituduh demikian. Mulutnya bergetar mengucapkan "Awan.. Kka-kamu.. Teganya kamu bilang begitu, Wan!"

Tiba-tiba suara telfon di ruangan berbunyi, pelan. Marwan tersadar lagi dalam lamunannya.

Kemarahannya barusan hanya bayangannya saja, sesuatu yang ia harap bisa ia lakukan namun ia tidak bisa. Lingga mengangkat telfon dengan santai. Marwan pun keluar ruangan.

****

H-2 KOMPETISI

Di aula sekolah, hari itu kelompok latihan junior diliburkan, sebab tidak ada Marwan yang biasanya bertugas melatih. Para siswa sabuk pekat dan bahkan Pak Damar fokus pada kompetisi. Pak Damar kini sedang mem-briefing anak latihnya yang akan mengikuti lomba. Ia berdiri di depan anak-anak didiknya. Ada enam orang disana, bersabuk pekat, duduk di matras, menyimak dengan seksama.

"Sistem kompetisi ini, cup. Jadi, kalo kalian menang, kalian maju terus. Kalau kalah, kalian gugur! Bisa dipahami sampe sini?" Jelas Pak Damar.

"Bisa!" Jawab para siswa. Ditengah-tengah Pak Damar menjelaskan, tiba-tiba Marwan berlari masuk aula, terengah-engah, terlambat. Pak Damar dan beberapa anak lain menoleh sebentar, lalu melanjutkan pembahasan. Dengan gesit Marwan mengganti seragam SMA-nya dengan kostum karate.

"Saya berharap meskipun wakil sekolah kita sedikit, kita bisa maju terus, merebut piala bergilir. Atau.. setidaknya sampai final. Saya mau kalian kerahkan seluruh kemampuan kalian. Siap?" Lanjut Pak Damar lagi.

"Siap!" Jawab para siswa.

"Oke! Silakan dimulai, sesi latihan terakhir sebelum kompetisi!"

Semua bangun dan melakukan pemanasan sendiri-sendiri. Marwan baru selesai ganti pakaian. Ia menghampiri Pak Damar.

"Pak, maaf saya baru datang!" Kata Marwan.

"Kamu itu yang Bapaknya masuk Rumah Sakit kan?" Tanya Pak Damar.

"Iya, saya Marwan. Maaf saya jarang latihan."

"Ya enggak apa-apa, yang penting urus Ayahmu dulu. Kamu enggak masuk daftar peserta kan?"

"Pengen sih Pak, tapi kan saya enggak pernah kepilih. Saya divisi pembimbing, bukan kompetisi." Jawab Marwan.

"Lho, saya enggak pernah pilih orang.. Kalo mau ikut, kamu bilang aja. Saya yang tentukan kategorinya nanti." Jelas Pak Damar.

"Lalu apa saya enggak bisa ikut serta kali ini Pak?" Tanya Marwan.

"Pernah ikut kompetisi?" Pak Damar balik bertanya.

"Pernah Pak!"

"Kata atau Kumite?"

"Kata Pak, jurus! Waktu SMP kelas 3.."

"Menang?"

"Menang Pak!"

"Oh ya? Kompetisi apa namanya?" Pak Damar tertarik dengan prestasi Marwan.

"Kejuaraan Bakti Pelajar Pak.. Saya SMP Budi Pahlawan."

"Lho.. Kejuaraan Bakti pelajar kan saya jurinya? Perasaan enggak ada jurus? Hanya sparing."

"Ada kok Pak! Tahun itu untuk pertama kalinya ada Jurus, tapi enggak banyak sekolah yang mengirimkan atletnya" Jelas Marwan. Ia menunduk, "Hanya dua sekolah yang ngirim, Pak." lanjut Marwan malu-malu. Pak Damar tertawa kecil.

"Jadi kamu juara satu dari dua peserta begitu?" Tanya Pak Damar.

"Saya juara kedua Pak. Saya lupa gerakan." Jawab Marwan. Senyum Pak Damar hilang.

"Yasudah, lomba selanjutnya kamu ikut! Untuk besok sudah terlambat, tidak ada waktu latihan lagi."

"Saya sudah screening data dan ditimbang kok Pak.. Saya masuk kelas under 68 Kg. Gimana kalau saya ikut kategori sparing Pak? Enggak perlu latihan yang panjang kan?" Tawar Marwan.

"Siapa yang bilang?! Memang kamu siapa? Pendekar? Anaknya Barry Prima? Seminggu yang lalu mungkin ada kesempatan untuk lomba sparing. Tapi karna kamu baru bilang hari ini, kesempatan itu hilang." Pak Damar mengomeli Marwan. Marwan terdiam, agak murung. Pak Damar mendekat, menepuk lengan Marwan.

"Kamu rawat Bapak kamu aja dulu sampai sembuh. Sekarang kamu dukung teman-teman dulu." Ujar Pak Damar.

"Tuh Itu bantu Setyo latihan! Sekalian belajar." Pak Damar menunjuk Setyo yang sedang pemanasan. Setyo adalah teman yang menegurnya saat sedang jajan bersama Rindi, tempo hari. Marwan tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti Pak Damar. Marwan pergi dengan lesu.

Marwan berjalan pelan pada Setyo, Pak Damar memanggil, bertanya sekali lagi.

"Eh siapa namamu tadi?"

"Marwan, Pak." Pak Damar menangguk.

Marwan lanjut menghampiri Setyo.

"Pak Damar nyuruh gue bantu lo."

"Oh.." Setyo menanggapi dengan agak angkuh.

Lalu Setyo melakukan peregangan singkat pada kakinya. Marwan mengambil busa(punch&kick Target). Ia menggenggamnya kuat-kuat.

"Ayo.." Marwan sudah siap-siap, pasang kuda-kuda.

"Sebentar lah!" Jawab Setyo, sok. Marwan pun membiarkan Setyo peregangan. Marwan dalam hati merasa jengkel. Ia menunggu beberapa saat sampai akhirnya Setyo siap.

"Ayo! Latihan tendangan dulu." Ujar Setyo, akhirnya. Marwan kembali pasang kuda-kuda, memegang busa kick target. Dengan gerak-gerik banyak gaya, Setyo mulai menendang. Setiap gerakan ia lakukan 8 kali. Ketika Setyo mencoba gerakan tendangan memutar, kakinya salah mendarat, angklenya terkilir. Setyo terjatuh di lantai, agak keras. Ia meringis memegangi angklenya. Marwan menghampiri.

"Ah, anjing!"

"Lo salah mendarat tadi!" Sahut Marwan.

"Diem lo ah!"

Marwan berjongkok di sebelah Setyo, "Lo mau ke UKS?" Tanya Marwan.

"Enggak usah! Tar juga sembuh!" Jawab Setyo, ketus.

"Hey kok malah duduk-duduk!" Pak Damar berteriak pada mereka. Setyo pun memaksakan berdiri untuk latihan lagi, menyembunyikan sakitnya.

"Lo kuat enggak?"

"Kita latih pukulan aja. Tar juga sembuh!" Setyo meringis, mencoba berdiri menahan sakitnya, kembali melakukan latihan pukulan bersama Marwan.

Sesi latihan usai, terlihat para siswa kelelahan, basah oleh keringat. Mereka bertujuh duduk istirahat di matras. Marwan duduk di sebelah Setyo yang masih memegangi angklenya. Pak Damar melakukan briefing terakhir.

"Bapak sudah lihat bagan turnamennya, sekolah kita akan lawan juara bertahan di awal."

Para siswa terkejut, itu akan sulit. Mereka berbisik satu sama lain.

"Tenang.. Tenang.. Tidak apa-apa, meskipun mereka tuan rumah dan juara bertahan, kalian harus yakin. Fokus! Usahakan semuanya dalam keadaan yang prima. Sejauh ini semua dalam kondisi fit kan? Enggak ada yang lagi sakit?"

Marwan menatap angkle Setyo yang cedera. Setyo melihat Marwan, dan menyembunyikan kakinya.

Marwan menimbang-nimbang, ia sangat ingin ikut kompetisi namun tidak ada tempat. Ia berpikir jika memberitahu bahwa Setyo cedera, dia bisa menggantikan posisinya mewakili sekolahan. Marwan akhirnya mengangkat tangannya lalu berdiri.

"Pak! Maaf tapi Setyo tidak dalam kondisi baik!"

 Setyo menatap Marwan, kesal, "Apaan si orang gue sehat kok!"

"Tadi ada kecelakaan saat latihan. Dia salah mendarat dan angklenya terkilir." Lanjut Marwan.

"Enggak Pak! Saya baik-baik aja. Ini cuma terkilir sedikit." Setyo menyanggah.

"Saya cuma kasihan, takutnya Setyo enggak bisa tampil maksimal dan cederanya semakin parah." Kata Marwan lagi.

"Coba Setyo, kamu kemari!" Pak Damar memanggilnya. Setyo pasrah. Ia menahan sakit, berjalan ke depan, mendekat ke Pak Damar. Semua anak memperhatikan langkahnya yang tergopoh-gopoh menahan sakit.

"Kok bisa sih?" Pak Damar bertanya, agak kesal.

"Kecelakaan sedikit tadi Pak." Jawab Setyo.

"Iya kok bisa kecelakaan?! Dengan kamu salah gerakan pun menandakan bahwa kamu enggak siap untuk kompetisi. Apalagi sekarang keadaan kakimu begitu, enggak mungkin kamu naik bertanding." Pak Damar sambil tolak pinggang mengomeli Setyo. Setyo hanya menunduk.

"Apa boleh buat, kamu saya coret dulu! Istirahat saja dulu sampai pulih. Ini kompetisi bergengsi, atmosfer arena pertandingan juga keras. Enggak apa-apa tahun ini kita enggak ngirim kumite putra."

"Saya siap menggantikan Pak!" Kata Marwan tiba-tiba.

"Apa telinga kamu cedera juga?! Saya kan sudah bilang kamu belum siap! Saya belum tahu kemampuan kamu!" Jawab Pak Damar.

Pak Damar merasa kecewa, sekolahnya batal mengirim atlit kategori sparing.

"Ahh! Yasudah! Itu saja untuk hari ini, kita istirahat, meminimalisir cedera. Bubar jalan! Sampai bertemu lusa." Pak Damar balik badan, memunggungi para siswa, menyembunyikan kekecewaanya. Para Siswa bubar. Setyo dipapah oleh dua orang temannya. Saat Setyo melewati Marwan, ia memelototi Marwan, dendam. Marwan menunduk di tempatnya. Upayanya tetap tidak bisa membuatnya ikut kompetisi.

Pak Damar balik badan, hanya ada Marwan disana. Pak Damar menghampiri Marwan.

"Hey.. Pulanglah. Nanti kamu latihan yang rajin. Enggak ada kok sedikit pun dalam benak saya mau menghalangi siswa untuk berprestasi. Cuman, semua butuh persiapan yang matang." Jelas Pak Damar.

"Saya ingin sangat ikut kejuaraan ini Pak. Ini kejuaraan yang.."

"Iya, tapi kamu enggak bisa naik tanpa persiapan. Apalagi kamu belum ada pengalaman. Enggak usah buru-buru, ada kejuaraan lain kok dekat-dekat ini." Pak Damar memotong.

"Saya buru-buru Pak.. Bapak saya sakitnya sudah keras, sudah stadium akhir. Saya ingin pulang bawa piala karna saya belum pernah buat dia bangga. Hanya Bapak saya yang saya punya sekarang." Marwan memasang wajah sendunya, berusaha membuat Pak Damar melunak. Benar saja, Pak Damar merasa iba. Ia mulai berpikir, mempertimbangkan.

"Pak, kasih saya kesempatan! Daripada sekolah kita enggak ada wakil putra, lebih baik saya ikut. Seandainya kalah pun enggak ada ruginya kan Pak? Saya belum ada pengalaman, tapi kalau sudah di dalam arena saya akan berjuang Pak." Lanjut Marwan lagi.

Pak Damar hening, sesaat. Sampai akhirnya ia berkata,

"Besok datang kemari, perlengkapan lengkap! Saya putuskan kamu ikut atau enggak besok."

Sekejap ekspresi Marwan berubah bersemangat.

"Besok Pak?!"

"Ya. Jam 8 pagi. Sekarang pulanglah.." Jawab Pak Damar.

Marwan mendekat, ia salim pada Pak Damar. Senyuman terpatri di wajahnya.

****

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar