WOLFDADDY (SCRIPT)
2. Katanya

4 tahun kemudian, 1993.

Marwan beranjak SMA. Ia bersekolah di salah satu SMA Negeri terdekat dari rumah. Rindi, salah seorang gadis di kelasnya adalah satu-satunya teman dekat yang Marwan punya. Rindi kulitnya agak coklat, wajahnya manis. Marwan juga lumayan tampan di kalangan anak sebaya mereka. Tidak jarang orang menyangka Marwan dan Rindi berpacaran karena seringnya mereka berduaan. Kebetulan keduanya sama-sama tidak terlalu menyukai pergaulan di sekolah saat itu, itu kenapa mereka sering memisahkan diri dari anak lain.

Saat itu waktu sedang istirahat. Marwan dan Rindi mengobrol di koridor sekolah, di tangan mereka ada es teh manis dalam plastik, dan bakso goreng tusuk. Mereka asyik berdua di tengah-tengah lalu lalang siswa di koridor.

"Jadi lo putus?" Tanya Marwan.

"Ya abis gimana.. Sama si Rio tuh pacarannya terlalu gitu deh! Gue takut!" Jawab Rindi. Rindi mendekatkan kepalanya ke kepala Marwan.

"Gue emang udah enggak perawan, tapi bukan berarti gue bisa diapa-apain seenaknya. Dikasarin, di kata-katain!" Sambung Rindi sambil agak berbisik.

"Kan gue bilang apa, Rindi! Kalo cowok sehari-harinya kasar, pasti kebiasaan kasar itu nempel." Sahut Marwan.

"Ah udah.. Gausah sok-sok nasihatin deh! Lo juga keras kepala, gue bilangin jangan kenalan sama cewek di MRC atau friendster! Nyari di dunia nyata aja! Nyesel kan lo pas ketemu gak sesuai ekspektasi." Rindi menyerang Marwan balik.

"Itu sih gue lagi sial aja kali! Enggak ada jaminan ketemu dimana dengan keberhasilan hubungan. Lo aja yang ketemu di dunia nyata gagal kan?" Sahut Marwan lagi.

"Abis awalnya gue kira tuh dia macho, alpha male gitu kali ya kalo kata orang?" Jawab Rindi.

"Rin.. Kalo cowok demen jotos-jotosan, modal berani doang, enggak mikir panjang ngelakuin sesuatu, itu bukan berarti dia alpha male, Itu namanya tolol! Pereman! Haha! Bentar lagi juga ditembak petrus!" Jelas Marwan.

Tiba-tiba Rindi menoleh ke belakang Marwan, ada segerombolan anak bandel, termasuk Rio, mantan pacar Rindi.

"Tuh orangnya lewat tuh!" Rindi berbisik. Marwan mencoba tidak menoleh, biasa saja. Tiba-tiba dari belakang, tangan seseorang melingkah di lehernya. Marwan dirangkul, diintimidasi, diajak jalan sedikit. Orang itu salah satu anak gang Rio, badannya sepantar Marwan, namun sedikit lebih kecil.

"Bos ada duit enggak? Tambahin Bos.. Bocah pada pengen minum." Anak itu memalak Marwan.

"Duit.. Berapa?" Tanya Marwan, cari aman.

"Berapa aja! Adanya berapa?" Jawab anak itu. Marwan merogoh saku celananya dan mendapatkan uang dua ribu perak sisa uang sakunya.

"Cuman segini.." Marwan menunjukkan uangnya.

Anak itu langsung merebutnya. "Thanks!"

Anak itu melepaskan Marwan dan mencari korban selanjutnya untuk dipalak. Marwan juga kembali ke tempat asalnya. Rindi masih berdiri disana.

"Kenapa?" Tanya Rindi, sinis.

"Minta duit, buat minum." Jawab Marwan.

"Najis! Minum terus sampe kembung. Eh! Lo lawan dong, katanya karate!" Rindi mengomeli Marwan.

"Karate itu.. Bukan buat berantem enggak jelas cuma karena duit dua rebu! Anggap aja sedekah buat gelandangan." Marwan berkelit. Tiba-tiba terjadi ribut antara anak yang memalaknya tadi dengan orang yang sedang dipalaknya di ujung koridor. Marwan dan Rindi menonton dari jauh.

"Tuh begitu kalo modal berani tapi enggak bisa ngapa-ngapain. Mampus kan! Alpha Male lo bilang?" Marwan berkomentar.

"Bodo amat ah! Males bahasnya." Sahut Rindi.

"Eh lo ikut enggak ntar malem ke puncak sama anak-anak kelas?" Tanya Rindi.

"Oh ya ikut lah!" Jawab Marwan.

"Hah!? Serius? Kok.." Rindi terkejut, heran.

"Lagian pake nanya! Lo kan tau gue kayak gimana Rin.. Males gue nongkrong rame-rame begitu. Gue kan mulai latihan karate lagi, terus pulangnya harus jaga bokap gue. Enggak ada waktu.." Jelas Marwan.

"Oh syukurlah.."

Mereka lanjut mengobrol, menghabiskan waktu istirahat mereka.

****

Sore itu di aula, para siswa berlatih karate. Marwan yang sudah bersabuk coklat menjadi kakak pembina untuk adik-adik kelasnya. Di aula tersebut ada dua kelompok latihan, ada kelompok latihan rutin, yang kini dipimpin Marwan, dan ada juga kelompok latihan untuk persiapan lomba, yang isinya siswa-siswa bersabuk pekat seperti Marwan, yang sebentar lagi akan menghadapi kompetisi karate antar sekolah. Ada sekitar 6 orang siswa bersabuk coklat yang ikut lomba disana. Marwan tidak masuk squad lomba sebab ia terhitung masih baru di dojo SMA-nya. Ditambah lagi, siswa-siswa yang mengikuti lomba adalah siswa-siswa yang dipilih Pak Damar, pelatih karate SMA tersebut. Kadang Marwan merasa cemburu sebab ia ingin ikut lomba, tapi karena Pak Damar belum tahu kemampuannya, ia pun hanya diberi tugas untuk membimbing adik-adik kelasnya, ia pun tidak bisa apa-apa.

Kelompok latihan untuk kompetisi sudah selesai menjalankan latihan mereka. Kini Pak Damar sedang mem-brief mereka untuk persiapan kompetisi nanti. Marwan hanya bisa menatap dari tempatnya, dimana ia berdiri di depan adik-adik kelas yang ia bimbing. Marwan pun menyudahi latihan untuk kelompok junior, dan menyuruh para juniornya melakukan pendinginan. Dua orang juniornya mencuri-curi obrolan di tengah-tengah pendinginan.

"Bosen gue dilatih sama Kak Marwan! Pengen latihan sparing!" Ujarnya berbisik.

"Tapi lo tau enggak cerita si Kak Marwan?"

"Cerita apa?!"

"Temennya Kak Setyo pernah satu dojo sama Kak Marwan di SMP. Katanya si Kak Marwan enggak pernah ikut ujian!"

"Hah?! Gimana caranya? Sekarang kan dia udah sabuk coklat!?"

"Dia ujiannya sendiri, dipisah, enggak sama yang lain! Katanya, dia murid kesayangan pelatihnya. Murid berpotensi kali!"

"Sehebat itu?"

"Entahlah! Lo liat lukanya di jidat dia kan?"

"Iya! Iya! itu luka apa sih?"

"Enggak ada yang pernah tau ceritanya, man!"

Isu tersebut bergulir di kalangan rekan satu dojo Marwan. Anggapan-anggapan yang tidak pernah terjawab.

****

Ruslan berbaring di ranjang kamarnya, tubuhnya kurus, badannya menguning. Setahun yang lalu dokter memvonis Ruslan kanker usus besar, dan ia sudah sakit-sakitan sampai sekarang, di usianya yang masih 43 tahun. Di sampingnya ada Lingga, adiknya, yang mengurusnya setelah Airin wafat. Lingga duduk di kursi, di samping kasur. Sore itu Lingga sedang menyuapi Ruslan yang bahkan untuk mengunyah saja terlihat susah payah. Marwan pulang, masuk kamar Ruslan dengan masih mengenakan seragam sekolah.

"Sudah pulang Wan?" Tanya Lingga.

"Udah Tan, latihan karate dulu.." Jawab Marwan. Lingga melirik Ruslan.

"Udah makan?" Tanya Ruslan, pelan, lemah.

"Iya Yah?"

"Ayah tanya, Awan udah makan? Kalo belum, makan gih ada soto di meja makan." Lingga memperjelas pertanyaan Ruslan.

"Oh udah.. Tadi sebelum beli obat makan dulu." Jawab Marwan. Lalu ia merogoh tasnya, mengambil kantong obat pesanan Ruslan. Ia menaruh obat di lemari samping ranjang.

"Ini obatnya Ayah, Tan. Kembaliannya dua puluh ribu di dalam."

"Ambil..!" Kata Ruslan. Marwan hanya menatapnya, ragu.

"Ambil buat jajan.." Sahut Ruslan lagi. Marwan pun mengambil uang dua puluh ribuan dari kantong itu dan memasukannya ke dalam saku, malu-malu.

"Ayah sekarang apa yang dirasa? Udah enakan belum?" Tanya Marwan. Ruslan menggelengkan kepala, tersenyum hambar.

"Jangan khawatir." Begitu jawaban Ruslan, singkat. Tiba-tiba terdengar telfon di kamar Ruslan berdering. Marwan segera mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo, ini rumahnya Marwan?" Seorang perempuan bicara di telfon.

"Iya, ini Marwan. Siapa ya?"

"Ini Sari, Wan.."

Mengetahui itu Sari, gadis yang sedang ia dekati, Marwan pun membawa telfon agak jauh dari kasur, karena tidak ingin terdengar oleh Ruslan dan Lingga.

"Eh Sari.. Ada apa?" Tanya Marwan sambil tersenyum.

"Gue lagi pengen ngobrol nih.. Bisa ketemuan enggak?"

"Hmm.. Kapan?"

"Nanti malem?"

"Di.. mana?" Marwan mulai gugup, dalam hati kegirangan.

"Di Kedai sate kopi itu gimana?" Tanya Sari.

"Boleh.. Tapi nanti maghrib aku kabarin lagi ya! Tunggu ya?"

"Oke Wan, kabarin aja.."

"Oke, Bye.." Marwan menutup telfon, lalu menyembunyikan senyumnya saat menaruh telfon kembali ke meja di samping kasur Ayahnya.

"Pacar ya?" Ruslan tiba-tiba bertanya, senyumnya mulai terlihat. Marwan kikuk, bingung, malu untuk menjawab.

"Bbu-bukkan.. Bukan Yah, cuma temen."

"Kalau mau keluar, keluar aja.." Sahut Ruslan.

"Hmm? Gimana Yah?" Marwan tidak mendegar.

"Kata Ayah, Marwan kalau mau keluar, keluar aja. Asal.. Jangan kemaleman, nanti tante ketiduran, kamu enggak ada yang bukain." Ujar Lingga.

"Hmm.. Enggak lama sih.." Marwan menimbang-nimbang, namun ia tahu betul ia ingin pergi.

"Pergilah!" Ruslan tersenyum, seolah merestui Marwan untuk pergi.

"Ayah mau dibeliin apa? Makanan? Rujak ya yang pedes?" Marwan menggoda Ruslan.

"Kamu tuh.." Tanggapan Ruslan sambil makin tersenyum. "Tanya tante Lingga aja."

"Iya, Tan mau nitip apa?" Marwan beralih pada Lingga.

"Brondong aja buat Tante." Jawab Lingga, bercanda.

"Banyak Tan, mau yang kayak gimana?"

"Ah kamu! Tante becanda juga! Udah pokoknya jagan kemaleman."

"Aku mandi dulu kalo gitu ya!"

Marwan berjalan cepat keluar kamar. Di balik pintu amar Marwan menunjukan kegirangannya namun tanpa suara.

****

Jam menunjuk angka 7, malam. Marwan menunggu Sari, kencan butanya di kedai sate. Marwan mengenakan sweeter rajut dan celana jeans agak gombrang, style era itu. Ia memesan segelas kopi hitam sambil sesekali melihat jam tangan. Keadaan kedai saat itu tidak terlalu ramai, ada yang terisi dan tidak.

Tidak lama muncul Sari, setengah berlari. Dia gadis yang janjian dengan Marwan setelah berkenalan di Friendster. Sari berambut bob, wajahnya manis. Ia mengenakan kaos berwarna biru, dimasukkan kedalam celana jeans berikat pinggang. Rambutnya poni. Sari masih terengah-engah, sementara Marwan terlihat salah tingkah, agak kaku, berusaha jaga image.

"Marwan ya?" Tanya Sari, sambil telunjuknya menunjuk Marwan. Marwan berdiri.

"Iya, hehe.."

"Wan, sorry banget telat!"

"Belom lama kok."

 Sari dan Marwan duduk. Sari menguncir rambutnya.

"Iya, jadi tadi gue nelfon cowok gue dulu, nyelesain dulu urusan sama cowok gue ini. Ups! Sorry, bekas cowok gue maksudnya!"

"Oh gitu? Gimana tuh?" Tanya Marwan.

"Ya jadi gue paitin aja. Dipikir-pikir bego juga gue terjebak sama cowok yang punya hobi selingkuh. Gila udah tiga kali ketauan selingkuh. Dikira gue enggak bisa selingkuh!" Ujar Sari menggerutu.

"Oh.. Pernah kepikiran buat selingkuh juga?" Marwan curiga.

"Enggak, maksudnya kalo gue niat mau selingkuh gue juga bisa." Jelas Sari. Sari menatap luka di jidat Marwan sebentar.

"Wan.. Mau tanya boleh?" Kata Sari.

"Boleh.. Apa?"

"Luka di jidat lo itu, kenapa?" Sari bertanya dengan hati-hati. Marwan meras gugup.

"Emh.. Ini, cuma kecelakaan." Jawab Marwan, singkat. Marwan merasa tidak nyaman. Lalu keduanya terdiam. Keadaan agak canggung sedikit, sampai akhirnya Sari memecah keheningan.

"Eh gimana bokap lo udah sehat?"

"Belum."

"Sakit apa Wan?"

"Kanker, udah stadium akhir. Udah mau setahun."

"Oh.. Yang ngurus sekarang siapa?"

"Tante. Nyokap kan udah enggak ada juga."

"Untung ada tante lo ya, jadi lo enggak sendirian ngurus bokap!"

Marwan terdiam sesaat.

"Iya sih.. Tapi sebetulnya gue enggak suka sama Tante gue. Karena dia juga sakit bokap gue semakin parah." Ujar Marwan.

Sari mengerutkan kening, "Kok bisa?"

"Jadi.. Pertama kali bokap di diagnosa kanker, Tante Lingga, Tante gue, malah rekomendasiin ke pengobatan alternative gitu. Pengobatan yang cuma dikasih air-air doa gitu, jadi tanpa penanganan medis yang seharusnya. Sekarang sakit bokap malah semakin parah." Jelas Marwan.

"Kok tante lo bisa rekomendasiin pengobatan kayak gitu?" Tanya Sari lagi, penasaran.

"Cerita orang yang dia kenal. Katanya manjur buat menyembuhkan sihir gitu." Jawab Marwan sambil tersenyum. 

"Kan Bokap mulai jatuh sakit enggak jauh dari setelah Nyokap meninggal juga. Lalu Tante gue berasumsi katanya itu dijailin, disantet, orang dendam, blablabla.." Lanjut Marwan lagi.

"Nah itu Tante lo tau darimana?"

"Kata cerita orang juga!" Jawab Marwan tertawa kecil. Sari ikut tertawa, merasa miris.

"Gila kan?" Sambung Marwan. "Cerita hidup orang lain malah perlahan ngancurin bokap gue."

"Hah.. Namanya juga orangtua. Bokap gue juga begitu! Cepet percaya sama orang, tapi susah percaya sama anak sendiri.. Eh tapi, rumah lo tuh di komplek Baktijaya situ kan? Yang deket POM bensin gede itu?" Sari mengalihkan pembicaraan.

"Iya betul disitu Sar."

"Perumahan elit dong ya?" Sari menggoda Maran.

"Hmm.. Enggak terlalu juga." Jawab Marwan.

"Jauh enggak kesini?"

"Enggak terlalu kok kalo pake motor. Lo kesini naik apa?"

"Metromini. Jalan kesini lumayan jauh sih.." Sari

"Kita pesen kalo gitu."

Marwan dan Sari menjadi akrab dan semakin dekat satu sama lain. Mereka bicara soal keseharian mereka di sekolah, pergaulan, trend, dan obrolan yang mungkin keluar dari mulut dua orang remaja yang sedang melakukan pendekatan.

****

 "Jadi lo ngerasa cocok sama si Sari ini?"

Rindi bertanya, penasaran. Siang itu ia seperti biasa sedang nongkrong berdua dengan Marwan di koridor, saat jam istirahat. Mereka mengobrol sambil memakan jajanan es cream roti tawar.

"Gue sih ngerasa begitu. Dia orangnya komunikatif banget! Gue jadi nyaman ngobrolnya, enggak susah nyari topik. Jadi nyambung aja gitu." Jawab Marwan sambil bibirnya tersenyum mengingat-ngingat kencannya semalam. Marwan melahap potongan terakhir es cream rotinya.

"Hmm.. Pasti agak agresif ya?" Tanya Sari lagi.

"Enggak juga sih.. Dia korban pacarnya yang selingkuh mulu malah! Sorry, bekas pacarnya.. Terus dia nganggap gue orang paling nyaman buat di curhatin. Dia bilang gue peka banget! Aduh.." Marwan merasa berbunga-bunga.

Rindi menatap Marwan, menertawakannya. "Sejauh gue kenal lo, emang kelebihan lo itu doang sih, sensitif! Terus, udah ngelangkah lebih dalam lagi?"

"Lumayan! Kemaren gue anter dia pulang. Terus kita makin sering telfonan.."

"Awas lo cuma jadi tempat cerita doang!" Rindi memperingatkan Marwan.

"Mudah-mudahan enggak. Gue harus dapetin dia sih!" Marwan meyakinkan dirinya sendiri.

Tiba-tiba, seperti kemarin hari, seseorang merangkulnya dengan kasar, melilitkan tangannya di leher Marwan. Dia anak yang sama persis yang memalaknya kemarin.

"Bos, tambahin lagi dong. Anak-anak pengen minum lagi nih!" Kata anak itu.

"Hari ini uang gue habis.. Ini tinggal buat beli bensin." Jawab Marwan.

"Buru! Dua rebu lah!? Serebu Kek.. Atau gue bilangin anak-anak nih!?"

"Duit gue beneran abis."

"Ah anjing pelit lo! Buru lah!" Anak itu bersikeras.

"Ya enggak ada mesti gimana? Emang abis kok!" Marwan agak emosi.

"Wah anjing! Enggak asik lo! Santai aja dong!"

Anak itu mengayunkan tangannya, hendak memukul perut Marwan, namun Marwan dengan sigap menahan dengan tangannya kirinya. Tangan kanan Marwan naik, berniat melawan. Kepalan tinju Marwan bergetar sejajar wajah anak itu, namun tiba-tiba terdengar suara seorang guru laki-laki berteriak ke arah mereka. Marwan menurunkan tangannya.

"Hey! Ngapain kalian?!"

Marwan dan anak itu memisahkan diri.

"Dia mau malak saya Pak!" Jawab Marwan.

"Enggak Pak, cuman becanda.." Anak itu membela diri. Pak Guru tidak mau ambil pusing.

"Siapa yang namanya Marwan?" Tanya guru itu.

"Saya Pak!" Marwan mengangkat tangannya. Anak yang tadi mencoba memalak Marwan langsung masuk kelas, bersembunyi.

"Ada telfon, Bapakmu masuk rumah sakit Pertamina." Jelas Pak Guru.

Marwan langsung termenung. Rindi memandangnya dari belakang, ikut prihatin.

****

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar