WOLFDADDY (SCRIPT)
1. Sssssstt!

"Karateka Joi!"

"Osh!"

Pak Edi, pelatih karate sekolah membubarkan latihan para siswa SMP, salah satunya Marwan, yang kini bersabuk kuning. Marwan melihat Airin, Ibunya yang menunggu di sisi lapangan, menunggunya. Marwan merasa sebal. Ia mengambil tasnya di sisi lapangan, yang menggunduk dengan tas siswa lainnya. Disana ada Kunto dan Abbas yang sedang mengobrol soal ujian kenaikan tingkat sambl beristirahat.

"Besok ujian kenaikan kan?" Kunto membuka percakapan.

"Iya, berangkat jam 7 pagi." Jawab Abbas.

"Tahun ini dimana?" Tanya Kunto.

"katanya di daerah Gunung Salak."

"Wah berat enggak ya? Tahun kemarin kan berat banget."

"Makin tinggi tingkatnya, makin berat lah!"

"Tahun kemarin aja ada yang enggak naik ke kuning. Mudah-mudahan kita naik tahun ini."

"Ya Tuhan.. Semoga aku naik sabuk biru." Kunto berdoa, menatap langit.

"Hijau. Habis kuning sabuk hijau." Tiba-tiba Marwan menjawab, dingin. Ia sudah berganti pakaian. Kini mengenakan kaos dan masih bercelana karate.

"Aku duluan ya!" Marwan pamit, ia menghampiri Airin di sisi lapangan, yang sedang mengobrol dengan Pak Edi. Marwan salim pada Airin. Airin menyugar rambut Marwan. Dahi Marwan terbuka, terlihat luka jahitan agak besar di dahi kiri Marwan. Pak Edi menatap bekas luka jahitan Marwan sekilas, sebelum Marwan menutupinya lagi dengan rambutnya.

"Marwan semangat sekali dia latihannya!" Pak Edi memuji Marwan di depan Ibunya.

"Iya begitulah Pak, Marwan. Kalau begitu kami pamit ya Pak!" Airin pamit sambil mengambil tangan Marwan, menggandengnya. Marwan melepaskan tangannya, malu. Mereka pulang naik taksi.

Di dalam taksi, Marwan membuang muka, cemberut. Keadaan hening sampai akhirnya Airin memulai percakapan.

"Udah makan?"

"Belum laper." Jawab Marwan ketus.

"Ibu ngapain sih ngejemput-jemput segala? Marwan malu!"

"Enggak kok.. Kebetulan ada urusan sama Pak Edi, dia mau minta tolong sama Ayah." Jawab Airin. Mereka diam-diaman lagi.

*****

Keesokan harinya, Ruslan menonton tinju di TV. Waktu masih Shubuh. Lalu Airin datang membawakan sepiring nasi goreng dan Teh Hangat, buatannya.

"Ini sarapan dulu." Kata Airin.

"Hmm.." Ruslan asyik dengan acara tinju. Piring nasi goreng sudah berada di tangannya.

Tiba-tiba channel TV berganti. Ruslan bingung, dilihatnya remot TV di tangan Airin.

"Kok diganti sih?"

"Kamu jangan ngajarin anaknya nonton beginian dong! Kamu tau dia ikut karate aja kita cemasnya kayak gimana!" Jawab Airin. Ruslan pasrah.

"Kamu se-khawatir itu?" Tanya Ruslan sambil memakan nasi gorengnya.

"Lho emang kamu enggak?" Airin bertanya balik.

"Iya khawatir, tapi jangan terlalu berlebihan lah.. Ingat kata dokter, kamu jangan terlalu stress. Marwan udah gede kok."

Airin tidak menanggapi. Ia menonton berita, pura-pura tidak mendengarkan.

"Kamu enggak sarapan?" Tanya Ruslan. Airin menggelengkan kepala.

Tiba-tiba dari belakang muncul Marwan, baru bangun.

"Bu! Seragam karate aku mana ya? Aku mau siap-siap."

"Coba lihat di jemuran." Jawab Airin.

"Wan sini sarapan bareng Ayah!" kata Ruslan.

"Iya ntar Yah!" Marwan ke belakang.

Tiba-tiba dari ruang tengah terdengar teriakan Marwan.

"Ibu!!!!!!"

Ruslan menatap Airin.

Airin mendatangi Marwan di halaman belakang.

"Kok basah sih Bu!" Marwan menangis.

"Masa sih?" Tanya Airin heran.

"Ini masih basah! Ah! Gimana dong aku hari ini ujian? Ibu mah dicuci segala!" Marwan tersengguk-sengguk.

"Ibu enggak tahu, mungkin semalam ujan."

"Iya kan Awan udah bilang jangan dicuci!"

Ruslan datang, mencoba menghibur Marwan yang menangis deras, kecewa.

"Awan! Udah.. Sini!"

Marwan menghampiri Ruslan, menyembunyikan wajahnya di perut Ruslan. Ruslan membelai kepalanya.

"Udah ntar Bapak ngomong ke Pak Edi! Udah jangan nangis! Masa karate nangis!" Kata Ruslan merayunya. Ruslan dan Airin bertatapan.

****

Dua hari kemudian.

Sore-sore, Airin berdiri di dapur, menatap ke jendela besar yang terhubung ke halaman belakang. Ia terlihat cemas. Lalu Ruslan datang, berdiri di sebelahnya. Mereka menatap ke arah yang sama, ke halaman belakang, dimana Pak Edi sedang memberikan sabuk hijau kepada Marwan.

"Kamu sengaja bikin seragamnya basah kan?" Tanya Ruslan pada Airin.

"Cuma itu cara yang aku punya." Jawab Airin tegas.

"Cara terbaik? Apa iya? Dia lagi semangat-semangatnya ikutan Karate, kenapa kamu hancurkan semangatnya."

"Kamu liat enggak ujian tahun kemarin? Kan kamu lihat sendiri! Ujiannya malam-malam, di hutan, turun ke sungai, katanya dipukulin perutnya. Awan anak kita satu-satunya Mas! Masa kamu tega!?" Ujar Airin.

"Enggak ada orangtua yang tega ngeliat anaknya begitu! Itu kenapa orangtua lain enggak ikut! Cuma kita orangtua yang ikut ke camp dia tahun lalu! Kita mempermalukan dia, Rin!"

"Ada kok orangtua yang datang nganter anaknya." Airin berkelit.

"Iya anak perempuan! Awan itu laki-laki! Terus aja satu jam sekali nyamperin pengujinya, nanyain abis ini apa, diapain aja, kapan pulangnya! Aku ngerasa kita dua tahun ini kita berlebihan pada Awan!" Ruslan menasihati Airin.

"Aku ngejaga apa yang harusnya aku jaga!" Jawab Airin lagi. Airin langsung memasang ekspresi senyum, sebab Marwan dan Pak Edi masuk.

"Sudah Bu! Marwan lulus dengan baik kok."

"Syukurlah!" Airin tersenyum, mengelus kepala Marwan.

"Hebat anak Ayah!" Sambung Ruslan.

"Uh, Pak, Bu.. Kemarin aja ada yang enggak lulus pas ujian."

"Untung Marwan lulus Ya Pak!" Sahut Airin.

"Iya. Sekarang Marwan sabuk hijau, hasil ujiannya juga bagus." Jawab Pak Edi. Ia memegang pundak Marwan, menatapnya.

"Pokoknya kalo Marwan, latihan dan ujiannya khusus aja sama Bapak! Soalnya Bapak lihat kamu punya potensi. Bapak hanya ngomong begini sama Marwan saja, jadi jangan bilang teman-teman yang lain karena ini hanya untuk anak-anak yang Bapak pilih. Kan siapa tau ya, nanti bisa jadi atlit, di SMA, atau di Universitas." Jelas Pak Edi.

Marwan mengangguk, merasa bangga pada dirinya. Ia tersenyum.

"Emm.. Pak, mau ngopi?" Airin mengalihkan pembicaraan.

"Oh enggak usah Bu, saya mau langsung pulang saja."

"Buru-buru sekali Pak?" Tanya Ruslan, basa-basi.

"Iya, istri saya di rumah sendirian soalnya. Anak-anak kan sudah pada besar, pada merantau. Ini makanya yang bungsu juga mau ngurus passport ke Ayahnya Marwan." Jawab Pak Edi.

"Oh iya, nanti kalau sudah jadi saya titip ke Marwan aja."

"Iya, pokoknya kalau ada apa-apa soal imigrasi bisa ke Ayahnya Marwan Pak!" Sambung Airin.

"Terimakasih Banyak ya Pak, Bu! Yaudah kalau begitu saya pamit."

Pak Edi berpamitan. Lalu Marwan masuk kamar, masih dengan seragam karatenya. Sementara itu Ruslan dan Airin mengantar Pak Edi sampai gerbang.

Pak Edi menaiki Vespanya, saat keluar gerbang Ruslan memberikannya sebuah amplop berisi uang.

"Terimakasih Banyak lho Pak Edi." Kata Ruslan.

"Wah saya yang terimakasih udah dibantu juga Pak!" Jawab Pak Edi.

"Saling aja Pak.. Kami kan udah cerita soal semuanya kepada Bapak sebagai pelatihnya Marwan."

"Saya mengerti Pak, Bu. Saya akan bantu. Besok check up?"

"Iya, besok Ibunya Marwan check up. Mohon do'anya ya Pak." Jawab Ruslan.

"Siapa tahu terjadi apa-apa sama saya, saya titip Marwan di sekolah."

"Semoga hasil diagnosanya baik ! Mudah-mudahan tidak ada apa-apa." Pak Edi bersimpati.

"Aamiin.."

"Soal latihan Marwan, gimana Pak?" Tanya Airin.

"Saya akan datang setiap minggu, Bu. Untuk melatih Marwan."

"Tolong ya Pak, mungkin nanti dia bosan sendiri kok. Pokoknya urusan biayanya nanti ada untuk Pak Edi." Sahut Airin lagi.

****

Keesokan harinya.

Marwan berlatih karate sendirian di halaman belakang. Marwan berkostum karate lengkap, dengan sabuk hijau barunya. Marwan begitu bersemangat, antusias. Setiap gerakan yang ia praktekan dibarengi dengan teriakan-teriakan.

Mobil Ruslan tiba di depan rumah. Ruslan membukakan pintu mobil untuk Airin, lalu menggandengnya masuk rumah. Airin memgang sebuah amplop besar berisi hasil check up. Tidak ada senyuman di bibir mereka berdua. Ruslan mengantar Airin ke pintu kamar.

"Yah, kamu coba lihat Marwan lagi apa di belakang." Pinta Airin. Ruslan menatap Airin.

"Kamu mau makan apa? Aku buatin." Tawar Ruslan. Airin menggelengkan kepala pelan, sambil tersenyum pilu.

"Aku enggak apa-apa kok." Airin meyakinkan Ruslan. Ruslan pun pergi memanggil Marwan.

Airin masuk kamar, dan menutup pintu. Ia duduk di sisi ranjang, membelakangi pintu, dan menaruh hasil check up di sebelahnya. Airin mulai menangis, namun berusaha tidak bersuara sedikitpun.

Tak lama Ruslan masuk kamar. Melihat Istrinya menangis, Ruslan duduk di sampingnya, ia menarik kepala Airin agar menangis di bahunya. Airin mulai bersuara.

Marwan sudah di kamarnya, masih berkostum lengkap. Ia mempraktekan beberapa gerakan karate, dan mengakhiri setiap gerakan dengan pose di depan cermin. Ia memandangi dirinya sendiri di cermin, merasa gagah. Terdengar senyap-senyap suara Ibunya menangis, Marwan pun lekas berganti pakaian, lalu berjalan ke depan kamar orangtuanya. Dilihatnya Ibunya menangis di pelukan Ayahnya. Marwan terdiam, mengerti sesuatu yang buruk terjadi.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar