Dengan penuh keyakinan, matahari mengeluarkan sinar indahnya pada siang hari. Padahal, biasanya pada waktu siang hari di Yogyakarta akan terasa mendung, seakan-akan matahari lelah terhadap takdirnya yang tak pernah memiliki waktu istirahat.
Siang ini, Ayunda pergi ke tempat penerbitan untuk membahas masalah kumpulan puisinya yang akan diterbitkan di salah satu penerbitan di Yogyakarta. Ayunda tidak pergi sendirian, melainkan ditemani Herdi. Sedangkan Tania, siang ini harus tampil di depan umum sebagai pemain teater yang ditemani oleh teman-temannya, seperti Riri, Ifan dan Atarik yang duduk di bangku penonton paling depan. Ini akan menjadi sebuah kenangan terindah bagi Tania. Pasalnya, baru kali ini Tania tampil teater di depan banyak orang yang lebih dari pada saat dirinya tampil di komplek rumahnya.
Meskipun siang ini Atarik, Riri dan Ifan tidak seperti Ayunda dan Tania yang mulai memperlihatkan kelebihannya dan mulai menuju impian yang diharapkan, tetapi mereka bertiga tetap merasa senang karena melihat Ayunda dan Tania bahagia. Namun, ada lagi yang membuat mereka lebih bahagia yaitu, satu hari yang lalu subscriber Riri sudah mendapatkan satu juta lebih, berarti itu tandanya ia sudah mencapai ekspektasi yang Herdi minta satu minggu yang lalu. Begitu juga dengan Ifan yang memenangkan lomba membuat poster film dua hari yang lalu. Tinggal Atarik yang belum melakukan rekaman karena ia belum mendapatkan orang yang memilki suara indah dan pandai menyanyi.
_
Ayunda berjalan santai di koridor sekolah yang menuju kelasnys, padahal, waktu sudah pukul 06 : 25, dan sebentar lagi bel sekolah pasti berbunyi, yang berarti jam pertama akan segera dimulai.
Baru saja Ayunda ingin masuk ke kelasnya namun Riri tiba-tiba saja datang tanpa di undang dan langsung menarik tangan Ayunda sampai di depan papan informasi sekolah.
"Ada apa sih?" Tanya Ayunda seraya menarik tangannya dari Riri.
"Coba deh, lo baca Koran baru itu!" Titah Riri sambil menganggukkan kepala. Ayunda mendengus sebal, setelah itu ia menuruti apa yang di perintahkan Riri barusan. Pupil mata Ayunda terbelalak lebar, ia tidak percaya terhadap apa yang baru saja ia baca. Sambil menunjuk-nunjuk Koran tersebut, Ayunda menatap Riri dan bertanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi, melainkan nyata. "Ri, ini beneran nama Gue?" Riri mengangguk cepat dan tersenyum, begitu juga dengan Ayunda yang langsung tersenyum bahagia dengan mata yang berbinar senang.
"Ri gue nggak nyangka puisi gue masuk Koran," Teriak Ayunda bahagia dan langsung memeluk Riri sambil meloncat-loncat kegirangan. Begitupun dengan Riri yang juga turut merasakan kebahagiaan.
_
Anak-anak langsung berhamburan ke luar kelas saat bel istirahat baru saja berbunyi. Ada yang pergi ke kantin, taman, perpustakaan dan lapangan sekolah. Sama halnya dengan Ifan yang tidak ingin menyia-nyiakan waktu istirahatnya untuk di kelas, menghapus penat yang justru membuatnya ngantuk.
Istirahat kali ini Ifan tidak pergi ke kantin bersama empat temannya, melainkan ia pergi ke kelas sebelah untuk menemui seseorang yang sejak akhir-akhir ini mengusik pikirannya. Tanpa menunggu lama Ifan melangkah pergi dari kelasnya karena sudah tidak sabar untuk menemui orang itu, namun tiba-tiba saja langkah itu terhenti karena seseorang yang ingin ia temui ternyata ada di depan kelasnya, sedang membaca pengumuman di papan informasi.
Dengan perasaan tak menentu Ifan langsung mengahmpiri orang itu. "hai?" Sapanya yang kini sudah berdiri tepat di samping orang itu.
Sara yang awalnya sedang membaca pengumuman langsung menoleh ke arah Ifan, "Hai juga."
Ifan tersenyum canggung, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Pasalnya baru kali ini ia dekat dengan Sara, perempuan yang diam-diam telah mencuri perhatiannya sejak di tepi laut waktu itu.
"Nama kamu Sara ya?" Tanya Ifan setelah diam beberapa menit. Menyiapkan perasaan, dan grogi pada saat bicara.
"Tau dari mana ya nama aku?"
Ifan tersenyum, "Benar berarti. Ini buat kamu." Ifan memberikan sebuah poster yang sejak tadi ia bawa secara diam-diam dan ia gulung.
"Poster apa ini?" Tanya Sara sambil menunjukkan poster itu pada Ifan.
"Buka aja."
Sara langsung membuka gulungan poster tersebut, dan saat poster tersebut terbuka dengan sempurna, pada saat itu pula bibir Sara menganga lebar, "Ini beneran foto aku?" Tanya Sara tersenyum lebar. Ifan mengangguk. "kok kamu bisa dapet foto aku kayak gini sih?"
"Kenapa? Jelek ya?"
"Ya ampun Fan, ini bagus banget tau nggak!" Puji Sara yang tak henti-hentinya menatap poster itu. Melihat Sara bahagia seperti itu membuat Ifan ikut tersenyum.
"Sar, maaf ya? Sebenarnya, aku ngambil foto kamu itu waktu kamu ada di pantai, kemudian aku foto kamu diam-diam dan aku edit sebagai poster film karena aku ikut lomba itu." Jelas Ifan dengan sedikit gugup.
"Ikut lomba?"
"Iya. Dan kamu tau nggak? Poster aku ini menang." Tawa Sara pecah begitu saja yang kemudian di ikuti Ifan, namun tawa itu cepat berlalu karena banyaknya anak-anak yang berjalan di koridor menatap mereka.
Meskipun begitu senyum Sara tak memudar dari bibirnya, ia menggeleng cepat, tidak percaya terhadap Ifan. Dia yang dikenal sebagai cowok perusuh, egois dan tak bisa apa-apa ternyata baik dan sebaliknya, meskipun egois masih menjadi sifat utama Ifan.
"Kamu lucu ya."
"Lucu?"
"Iya, Lucu. kamu yang terkenal cowok perusuh, pintar dan egois ternyata bisa menjadi cowok hebat yang pintar membuat kreasi seni sebagus ini, dan berubah baik karena kamu kasih ini ke aku," Jelas Sara. Ifan tersenyum simpul.
"Dari dulu aku udah baik Sar, tapi waktu itu kita belum kenal makanya kamu nganggep aku jahat karena egois dan perusuh. Lagi pula di dunia ini nggak ada yang jahat, yang ada itu Cuma orang baik. Tapi semuanya itu tergantung kitanya Sar yang menghadapi, karena semua orang itu memiliki sisi baik yang berbeda-beda."
Keduanya terlarut pada sebuah obrolan, sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa waktu istirahat telah selesai.
_
Saat sekolah telah selesai, Tania tidak langsung pulang ke rumah, tetapi ia pergi ke kafe untuk bertemu dengan Leo, pacarnya yang beda sekolah dengannya. Bukan Tania yang mengajak untuk bertemu, melainkan Leo. Mungkin Leo merasa rindu karena sudah satu minggu lebih ia tidak bertemu dengan Tania.
"Yo, kemarin kamu nonton aku main teater nggak, waktu di balai kota?" Tania melepas obrolan untuk memperlambat waktu agar mereka tidak langsung pulang seusai makan di kafe. Bukan apa-apa, Tetapi Tania masih merasa kangen untuk menghabiskan waktu bersama Leo.
"Nonton kok." Jawab Leo tanpa ekspresi.
"Gimana? Bagus nggak?"
"Bagus banget. Sampai-sampai aku nggak tau gimana lagi caranya untuk menghalangi kamu main teater." Tania mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti maksud Leo berkata seperti itu. Hingga satu kesimpulan yang Tania dapatkan, Leo tidak suka jika dirinya bermain drama.
"Kenapa dihalangi Yo?"
"Kan kamu tau sendiri, kalau dari dulu aku nggak suka punya pacar pemain drama. Apalagi saat peran kamu kemarin yang peluk-pelukkan sama cowok." Leo mengeluarkan semua unek-uneknya terhadap Tania yang selama ini ia simpan dengan rapi, tanpa Tania sadari dan tanpa Tania mengerti. "Jadi kamu cemburu?" Tuduhan Tania tepat sekali. Leo memang cemburu.
"Namanya juga seorang pacar Tan, pasti ada rasa takut untuk kehilangan saat siperempuan bertemu dengan laki-laki lain."
"Tapi ini cuma akting Yo, jadi nggak usah cemburu lah."
"Tapi kesannya sama aja Tan, kamu seperti pacar dia, bukan pacar aku. Terutama sejak kamu masuk sanggar yang nggak jelas itu. kamu berubah."
"Berubah apanya Yo?"
"Kamu udah jarang balas chat-an aku, jarang punya waktu sama aku dan kamu lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-teman baru kamu itu."
Nafas Tania memburu. Kenapa Leo menyangkut teman-temanya pada masalah mereka berdua? Seharusnya Leo tau jika Tania tidak suka dengan itu semua.
"Mereka baik sama aku. Cuma mereka yang mengerti perasaan aku," Bantah Tania dengan suara meninggi. Alis Leo terangkat sebelah, "jadi selama ini, kamu menganggap aku ini apa?" Suara Leo yang tadinya meninggi kini berubah datar. Tapi tanpa ekspresi.
"Pacar, tapi nggak pernah mengerti aku, kemauan aku, dan impian aku. Kamu nggak tau dan nggak pernah mau tau. Sekalipun tau, kamu langsung nggak suka. Kamu kayak mama." Tania memberikan penjelasan terhadap Leo dengan nada rendah, namun menohok di hati Leo. Senyum yang sejak tadi terukir di bibir Tania sudah tidak lagi Leo dapatkan, hanya ekspresi datar dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.
Keduanya diam. Memberi kesiapan pada hati yang memberontak untuk meluapkan kekesalan. Hingga keadaan diam itu mampu membuat keadaan berubah mencekam saat Leo telah meluapkan kekesalannya, "Oke. Gini aja, sekarang pilihan ada di diri kamu. Kamu pilih aku atau teman-teman kamu. Jika kamu pilih teman-teman kamu, berarti itu tandanya kita putus, dan jika kamu pilih aku berarti itu tandanya kamu harus meninggalkan teman-teman kamu terutama sanggar dan impian kamu."
Pilihan ini sangat sulit dan tak pernah Tania bayangkan akan terjadi pada dirinya. Leo benar-benar tengah menguji kesabarannya memberi pilihan yang keduanya sangat sulit untuk ia tinggalkan. Meninggalkan teman-temannya, impian dan sanggar itu tidak mungkin. Ketiganya bagaikan darah di tubuh Tania yang selalu mengalir dan selalu bersama Tania. Tapi meninggalkan Leo juga tidak mungkin karena rasa cintanya begitu besar kepada laki-laki tersebut sehingga takut untuk kehilangan Leo.
Cukup lama Tania berpikir, membuat ia harus segera mengambil keputusan dan dengan satu kali tarikan nafas Tania menjawab, "Lebih baik kita putus Yo." Tania lebih baik kehilangan laki-laki yang ia cintai dari pada ia harus mengorbankan impiannya dan teman-temannya hanya untuk laki-laki yang belum tentu jodohnya suatu saat nanti. Teman seperti Ayunda, Atarik, Ifan dan Riri itu lebih penting dari pada cinta, karena mereka mampu membuat dunia Tania penuh dengan beragam warna hidup, masalah dan ekonomi yang berbeda-beda.
Leo mendekatkan wajahnya pada wajah Tania. Sama seperti Tania, dengan satu kali tarikan nafas Leo berkata, "Oke. Berarti mulai detik ini kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi."
Mungkin detik ini akan menjadi momen terakhir dirinya bersama dengan Leo, dan detik itu juga akan menjadi momen yang menyakitkan bagi Tania. Bagaimana tidak, setelah mengucapkan kalimat itu Leo langsung meninggalkannya sendirian di tengah keramaian orang-orang yang sedang berbahagia bersama dengan pasangannya sendiri-sendiri. Sedangkan Tania? Jangankan tanyakan lagi seberapa besar lukanya saat ini. Leo, pacarnya, laki-laki yang hampir tiga tiga menjalin hubungan dengannya kini telah meninggalkannya begitu saja.
Takdir manusia tak menentu, ku pasrahkan diri pada sang khalik, dan berharap, pada akhirnya aku bahagia
(Riri Sukma Kamila)