Bel pulang sekolah sudah sejak tadi berdering, semua murid-murid pulang dengan penuh gembira setelah melewati gerbang sekolah, karena itu tandanya mereka sudah tidak punya tanggungan yang berat. Belajar.
Berbeda dengan Atarik, ia tidak langsung pulang, justru mengunjungi ruangan musik yang ada di sekolahannya dan setelah itu memainkan alat musik berupa piano. Tangannya dengan santai saat menekan note, tidak ada rasa takut untuk salah menekan, sekali-kali ia memejamkan mata seolah-olah ia telah hafal dengan semua tata letak notenya dan semua itu memang sudah menjadi rutinitas Ataraik untuk bermain piano setelah pulang sekolah, karena ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk bermain semua itu, jika di rumah ia memainkan piano, maka Papanya tak segan-segan untuk memarahinya.
Tanpa Atarik sadari, bahwa sejak tadi Riri memperhatikannya dari celah pintu, ia menikmati lagu yang Atarik nyanyikan bersama dengan alat musik piano yang di mainkan Atarik.
"Wah, Hebat banget lo, bisa main piano." Teriak Riri saat Atarik telah menyelesaikan lagu dan pianonya. Atarik langsung membuka matanya dan ia sangat kaget, di depannya sudah ada Riri yang entah sejak kapan berdiri di sini.
"Sejak kapan lo ada di sini?" Atarik tidak suka jika ada orang yang melihatnya saat bermain piano, takut terdengar salah dan tidak enak, tapi yang lebih utama ia takut jika orang yang melihatnya dan kenal Papanya, lalu akan mengadukan ke Papanya jika ia bermain piano.
"Sejak tadi, saat lo masuk ke sini." Jawab Riri dengan senyuman yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Lagu lo bagus, pas sama irama musik piano yang lo mainkan. Gue suka. Kapan-kapan ajarin gue main piano ya?" Lanjut Riri.
"Tapiβ" Baru saja Atarik ingin mengatakan sesuatu, namun ia simpan, saat Riri langsung pergi.
"Gue buru-buru, nggak ada waktu. Mau ada acara," itulah kata-kata terakhir Riri.
Atarik mengedikkanbahunya, kemudian ia melirik jam tangannya sekilas, sudah pukul 13:30. saatnya pergi.
_
"Woy! Bisa hati-hati nggak lo kalau jalan?" Tanya Ifan dengan nada tinggi pada lelaki seusianya, yang tidak sengaja menabrak Ifan dari samping. Lelaki itu menundukkan kepala. Di sekolah ini siapa yang tak kenal Ifan, murid yang setiap masuk sekolah mampu menciptakan masalah yang tak di sangka-sangka, tetapi di mata para guru Ifan tetap terkenal sebagai murid yang pintar dan cerdas, mungkin alasan itulah yang membuat kepala sekolah tidak ingin mengeluarkan Ifan dari sekolah.
"Maaf Fan, nggak sengaja," kata lelaki tersebut dengan pelan, mungkin ia takut untuk berhadapan dengan Ifan.
"Banyak alasan lo. Yaudah, sana pergi!" Lelaki tersebut langsung melenggang pergi.
Ifan duduk di halte depan sekolah, tidak ada tempat tujuan untuknya kali ini. Semuanya terasa hampa baginya, entah apa yang membuatnya jadi seperti ini, atau mungkin karena ucapan Herdi kemarin yang langsung tertangkap jelas di ingatan Ifan. Impian, ah! Ifan tak pernah percaya dengan kata-kata itu. Semuanya tetap sama saja, baginya impian adalah angan-angan yang indah namun tak mungkin tercapai.
Cukup lama ia melamunkan diri, hal itu membuatnya tersadar akan sesuatu. Ifan mengambil sebuah undangan dari tas ranselnya, ia memandanginya sesaat hingga satu keputusan jatuh di tangannya. Lumayan, dapat makanan gratis.
Rasa ego tak pernah salah jika ada pada seseorang, tetapi merekalah yang pantas untuk disalahkan, karena telah menghadirkan rasa kecewa dan menjatuhkan kita.
(Ifan Bagus Santoso)