"Besok aku pergi ke Jakarta pa, ma," Ucap Atarik disela-sela makan malamnya. Papa yang baru saja ingin memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut, langsung menurunkan kembali ke piring. Beralih menatap Atarik yang terlihat santai. Begitu juga mama.
"Buat apa kamu ke sana? Lomba sekolah?" Tanya papa.
"Enggak. Aku mau meraih impian aku di sana," Kata Atarik tersebut ternyata membuat amarah papa terpancing. Beliau menaruh sendok di atas piringnya dengan kasar. Keadaan yang awalnya damai, tentram, kini berubah mencekam.
"Kamu, masih berani-beraninya buat menjadi seorang musisi," Celetuk papa, suaranya meninggi, jari telunjuknya menunjuk Atarik.
"Lho, kenapa tidak? Aku udah dewasa kan? Jadi aku berhak dong, buat milih masa depanku sendiri. Aku sekarang udah nggak suka diatur-atur pa!"
Jika dulunya, Atarik selalu takut jika papanya terlihat emosi. Tapi sekarang, ia terlihat biasa-biasa saja, justru terlihat menantang. Semua itu justru membuat papanya naik pitam.
"Kamu udah berani membantah papa ya?"
"Aku nggak membantah papa. Aku hanya menegaskan ke papa, kalau aku capek, terus-terusan menghadapi sifat papa yang egois, tanpa mau memikirkan perasaan aku. Papa selalu nuntut aku untuk jadi orang sempurna, padahal disisi lain aku lelah. Aku ingin bebas, terutama dalam masa depanku sendiri. Buang jauh-jauh impian papa itu, jika suatu saat nanti, aku akan jadi pemimpin perusahaan papa, enggak. Papa kasih aja perusahaan itu ke orang lain."
"Atarik!" Sahut mamanya. "Kenapa ma? Mama mau bela aku, atau papa?" Mama diam dan menunduk. Dua pilihan yang sangat sulit baginya.
"Kamu udah berani-beraninya ngelawan papa! Siapa yang mengajarkan kamu seperti ini? Oh, papa tau, pasti teman-temanmukan? Orang yang nggak ada gunanya bagi masyarakat."
Atarik menggebrakan meja makan, ia trima jika dirinya yang dihina papanya, tapi ia tidak trima jika teman-temannya menjadi bahan olokkan papanya. "Stop pa! papa nggak boleh menjelek-jelekkan mereka. kata siapa kalau mereka orang yang guna? Mereka berguna kok, tinggal menunggu suatu saat nanti."
"Suatu saat nanti, itu apa? Palingan kamu berada di jalanan dengan tangan yang selalu di bawah. Suatu saat nanti, jika kamu nggak mau menuruti apa yang papa sarankan, kamu itu ada di bawah, bersama teman-temanmu yang nggak mungkin bisa terselamtkan." Kali ini, papa semakin menjadi-jadi. Kuping Atarik terasa panas akhirnya.
Atarik bangkit berdiri, "Silahkan papa ngehina aku dan teman-temanku sepuasnya, karena besok, papa nggak bisa gini lagi. Aku menjamin, bahwa suatu saat nanti, aku dan teman-temanku bisa sukses, meraih impian kita masing-masing."
Tangan papa mengepal, rahangnya mengeras. Andaikata, Atarik masih ada di sini, mungkin papa telah memberikan hadiah pukulan untukya.
_
Lorong yang begitu sepi, dengan lampu cahaya yang temaram, membuat jalanan itu jarang dilewati, hanya orang-orang yang memiliki mental keberanian saja.
Seperti Reno, lelaki itu berjalan santai di lorongan tersebut. Awalnya ia merasa biasa-biasa saja, namun semua itu berubah, saat ada suara isak tangis di sana.
Reno mencari-cari keberadaan orang itu, hingga ia menemukan seorang gadis, duduk di trotoar jalan, dengan kepala yang menunduk dan bertumpu pada lutut kaki. Reno semakin mendekat. "Ayunda?" Teriak Reno begitu saja, saat mengetahui sipemilik tangisan tadi. Ayunda mendongak, menyeka air matanya.
"Reno. Sejak kapan lo di sini?" tanya Ayunda seraya berdiri dan mengusap celana belakangnya, agar tidak terlihat kotor. "Baru aja. Eh, lo kenapa nangis?"
"Enggak apa, Cuma sedih aja, masalah pribadi."
Reno mengangguk, menyetujui keputusan Ayunda yang tak mau berbagi kisah dengannya. "Lo, di sini sendirian?"
"Iya," Lirih Ayunda. Kesempatan bagus, gumam Reno dalam hati. Sebenarnya, perjalanan Reno tadi, tidak memiliki tujuan kemana-mana. Saat melihat Ayunda sedih dan sendirian, ia berinisiatif untuk mengajak Ayunda ke suatu tempat.
"Yu, lo mau ikut gue nggak?"
"Kemana?"
"Kemana-mana, yang mampu membuat kita bahagia," Jelas Reno. Ayunda menyetujui ajakan Reno, itu lebih baik, daripada di sini sendirian.
Tidak butuh lama Reno dan Ayunda pergi ke suatu tempat yang begitu ramai pada malam hari, tempat itu sudah melekat pada nama kota Yogyakarta. Setiap orang yang berwisata ke Yogyakarta, pasti tidak pernah telat dan lupa untuk mengunjungi tempat itu, Malioboro.
Ayunda tercengang, tidak mengerti, kenapa Reno mengajaknya ke sini, "Lo ngapain bawa gue ke sini?" Tanya Ayunda dengan sedikit berteriak, agar Reno mampu mendengarnya, karena banyak wisatawan yang datang malam ini.
Reno pun tak kalah kencangnya dari Ayunda, "Sebenarnya, gue mau ngajak lo ke Saturnus Yu, supaya kita bisa kencan setiap hari, bahkan setiap jam, tapi nggak jadi, karena gue tau, lo pasti sedih, berpisah sama orangtua dan teman-teman lo."
Receh, Ayunda tidak pernah menggubris gombalan dari semua orang, baginya, semua itu omong kosong yang tidak perlu diambil hati. "Terus, kita cuma berdiri aja di sini?"
"Ya enggaklah. Kita jalan-jalan di tempat ini, ala-ala ketemu turis." Reno menarik tangan Ayunda. Mengajaknya menelusuri setiap titik tempat itu. mulai dari pasar Malioboro, melihat-lihat para pedagang kaki lima, dan terakhir, mereka melihat pertunjukkan musik di sana.
"Yu, lo ngerasa, hubungan kita ini, aneh nggak?" Entah kenapa, tiba-tiba saja Reno bertanya seperti itu. kening Ayunda mengerut, "Hah!" Padahal Reno sudah mengeraskan suaranya, tapi Ayunda masih belum terdengar juga, mungkin suara dentuman musik yang begitu kencang.
"Gue suka, sama lo," Teriak Reno sekali lagi.
Ayunda yang awalnya menikmati alunan musik, langsung saja tak begitu selera. Reno menembaknya. Beberapa pertanyaan mulai menghampiri pikiran Ayunda. Apakah ia salah dengar? atau, apakah Reno hanya bercanda saja? Atau, itu benar-benar murni, sesuai perasaan Reno yang sesungguhnya?
"Lo suka sama gue?" Ulang Ayunda. Memastikan jika ketiga pertanyaan itu banar adanya.
"Iya. Lo mau nggak, jadi pacar gue?"
Mimpi apa Ayunda tadi malam. Ia rasa, tidak bermimpi apa-apa. Lalu, kenapa Reno mencintainya? Bukankah sejak SD Reno selalu bersikap dingin padanya?. Memang, sejak akhir-akhir ini, keduanya semakin dekat. Ayunda belajar memaafkan Reno yang sejak dulu selalu menyakiti hatinya. Namun, siapa sangka, jika perassan cepat hadir di hati Reno.
"Gimana ya Ren, gue kayaknya nggak bisa." Jawab Ayunda jujur. Ia memang tidak bisa menerima cinta Reno. Bukan karena tidak cinta, tetapi karena hal lain.
"Kenapa?"
"Besok gue ke Jakarta."
"Ngapain?"
"Cari kodok. Ya meraih impianlah!"
"Jauh banget Yu?"
"Ya mau gimana lagi Ren, takdirnya udah di sana."
"Tapi, kita kan, bisa LDR-an. Palingan, lo di sana Cuma satu minggu."
"Satu minggu itu nggak tentu Ren. Gue ini baru masuk babak kesepuluh besar, siapa tau, kalau besok gue bisa masuk kesembilan, delapan, tujuh besar. Bahkan, siapa tau aja, gue bisa grand final."
Ayunda meraih tangan Reno. "Maaf ya Ren, kalau ucapan gue ini bisa bikin hati lo sakit. Ya, mau gimana lagi Ren, gue kan belum pernah pacaran, ditembak aja nggak pernah. Sekali ditembak, udah ada rintangan yang perlu gue selesaikan dan lewati. Bukannya gue nggak suka sama lo, tapi, sekarang yang utama bagi gue, meraih impian."
Reno tersenyum. Jadi itu sebabnya, kenapa Ayunda tidak bisa menerima cintanya, bukan karena tak cinta, tetapi meraih impian adalah hal yang paling penting untuk Ayunda saat ini, Reno hargai semua itu.
"Nggak apa Yu, gue hargai keputusan lo. Dan gue nggak pernah sakit hati, gue justru senang mendengar alasan lo itu. semoga, acara lo dan teman-teman lo lancar, dan bisa jadi juara. Suatu saat nanti.
"Amin."
Setelah itu, Reno dan Ayunda melanjutkan perjalanan mereka yang masih panjang untuk menelusuri jalan Malioboro.
_
Hanya bersama Weni, Ifan menikmati malam yang begitu terasa panjang. Mungkin dulu bertiga, bersama almarhumah Mamanya. Tapi sekarang tidak.
Hampir dua minggu, Mamanya telah pergi. namun, kenapa sampai sekarang, ia masih belum bisa menerima itu semua. Dulu ia tidak memiliki impian sama sekali, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Herdi dan Atarik, Tania, Riri, Ayunda, yang mampu membuat ia menatap masa depan, meskipun hanya dengan sebuah khayalan. Tapi, bukankah dengan khayalan membuat kita justru semakin semangat berusaha?.
Tangan kanannya sejak tadi menggenggam tiket yang di berikan Tania tadi. Jika dulu Ifan berfikir, apakah ia mengikuti saran Herdi dan teman-temannya, sekarang ia berfikir, apakah besok ia pergi atau tidak?
ia sadar, tidak seharusnya ia membenci teman-temannya akan kematian Mamanya. Ia percaya takdir. Lalu, bagaimana dengan semua ini? Kebimbangan sering mengahantuinya.
"Di dunia ini kita akan dihadapi tiga keadaan hidup ; Kebahagiaan, kesempurnaan, kesedihan. Kamu cukup berfiikir mudah untuk mendapat persoalan seperti itu Fan."
Kalimat Mamanya tersebut, kembali terngiang-ngiang di otaknya.
"Aku lebih baik jadi orang bahagia ma, meskipun kondisi kita kekurangan. Kesempurnaan belum tentu bahagia. Kesedihan tidak harus untuk yang merasa kurang sempurna."
Kemudian, jawaban yang ia berikan untuk Mamanya, mampu membuat beliau bahagia.
"Gimana Fan? Semua keputusan ada di tangan lo! Jika lo masih mau ngelanjutin impian lo itu, kita sangat senang dan selalu ada buat lo. Kita akan berjuang bersama-sama. Seperti dulu lagi. Tapi, kalau lo nggak mau, juga nggak apa-apa. Kan semua itu terserah lo? Demi masa depan lo sendiri. Meskipun sebenarnya kita sedih sih, kalau lo nggak ikut."
Kali ini, tidak hanya kalimat Mamanya saja yang kembali hadir, tetapi kalimat Tania sore tadi juga hadir malam ini. Ifan berfikir lama. Mengambil kesempatan sekali lagi, atau meninggalkannya. Namun, lama-kelamaan Ifan menyadari, bahagia sesungguhya bukan karena memiliki harta banyak, otak cerdas, paras cantik dan rupawan, melainkan impian. Ifan mengangguk. Ya, bahagia yang sesungguhnya adalah, jika kita sudah mendapatkan apa yang kita impikan, melalui sebuah usaha yang begitu berat. Mungkin, kemarin Tuhan tengah mengujinya. Seberapa besar kesabarnya untuk melewati rintangan yang jauh. Satu keputusan telah ia ambil malam ini. Tentang esok hari.
Sedih, kecewa, bahagia, adalah bumbu kehidupan manusia.
(Tania Widjaja Elmahira)