Ifan langsung maeninggalkan teman-temannya untuk pergi ke rumah Sara. Membuktikan Ayah Sara jika dirinya sudah berubah, dan memiliki jalan masa depan yang terang. Terbukti dari dirinya yang baru saja ikut audisi meskipun belum tentu menang atau tidak. Tapi yang penting ia sudah membuktikan bahwa dirinya bisa, tidak sebagai orang yang menyusahkan dan tidak bisa apa-apa.
"Tujuan kamu ke sini mau apa lagi?" Tanya ayah Sara dengan sorot mata yang tajam. Di ruang tamu tidak hanya ada dirinya dan ayah Sara, melainkan ada Sara serta ibuknya juga.
"Saya ke sini mau minta restu dari bapak dan ibuk untuk berpacaran dengan Sara." Kata Ifan tegas. Sara menunduk, takut dengan reaksi yang akan diberikan ayahnya untuk Ifan.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan merestui kamu untuk berpacaran sama Sara!"
"Kenapa pak? Bukannya saya sudah membuktikan ke bapak, kalau saya bisa menjadi orang yang lebih baik? Memiliki masa depan yang cerah."
Ayah Sara menegakkan tubuhnya. Menatap intens mata Ifan, "Kamu itu baru ikut audisi, belum tentu menang. Jadi sekarang kamu nggak usah besar hati untuk mendekati Sara. Meskipun audisi kamu itu menang atau kalah, saya tetap tidak akan mengizinkan kamu mendekati Sara," Jelas ayah Sara. Rahangnya mengeras. Ia sangat tidak suka pada Ifan.
"Saya masih punya harga diri, punya hati, untuk apa saya mengemis ke bapak hanya karena Sara. Masih banyak perempuan di sana yang lebih baik dari anak bapak. Masih banyak orangtua di sana yang mau menerima kekurangan dan kelebihan saya," Ucapan Ifan tak kalah pedasnya dari ucapan ayah Sara. Hal itu membuat ayah Sara semakin benci dengan Ifan.
"Yaudah, kalau gitu, sekarang kamu pergi dari rumah ini!" Titah ayah Sara yang berdiri dan menunjuk ke arah pintu depan dengan suara yang tinggi.
Ifan bangkit berdiri, "tanpa bapak suruh saya juga akan pergi." Setelah itu Ifan pergi. Sara tak tinggal diam. Ia mengejar Ifan meskipun ayah telah menghalanginya.
"Ifan!" Ifan menghentikan langkahnya tepat di halaman rumah Sara. Kemudian menoleh ke belakang dan ternyata sudah ada Sara.
Sara meraih kedua tangan Ifan, "kamu jangan tinggalin aku ya? Ucapan ayah jangan dimasukin ke hati." Suara Sara terdengar serak. Ifan diam. Bingung ingin menjawab apa. Ia ingin selalu bersama Sara, tapi sakit hati yang begitu dalam masih ia rasakan dari keluarga Sara yang menolaknya semena-mena.
"Masuk kamu Sara!" Teriak ayah Sara yang baru keluar bersama istrinya. Sara tak melepaskan genggaman tangan Ifan. Justru memeluk tangan Ifan dengan erat.
Muak melihat adegan seperti itu, ayah Sara langsung menyuruh ibuk Sara untuk mengajak Sara agar mau masuk ke rumah. "Buk, bawa Sara masuk!" Ibuk langsung menuruti perintah ayah. Menarik tangan Sara yang bebas dari genggaman Ifan. "Sara, ayok masuk!"
"Enggak buk! Aku nggak mau masuk sebelum ayah minta maaf sama Ifan."
"Jangan aneh-aneh Sara, sebentar lagi hujan, ayok masuk!" Kata ibuk sambil menggeret Sara masuk ke rumah dengan paksa.
Ifan hanya bisa diam. Berdiri menatap Sara dengan tatapan yang penuh simpati. Tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya saat ponselnya berdering dengan mengalunkan lagu Zayn Malik yang berjudul Pillowtalk. Pertanda ada panggilan yang masuk. Ifan langsung mengangkatnya.
_
Ifan tak pernah menyangka sama sekali sebelumnya. Empat tahun yang lalu Papanya pergi untuk selamanya, dan kini Mama yang menyusul Papa. Waktu begitu cepat sampai-sampai tuhan mengambil mamanya karena jatah usia telah habis. Harta yang paling berharga satu-satunya ia miliki kini pergi. Tinggal Weni.
Tadi siang Ifan mendapat panggilan dari tetangganya bila Mamanya telah tiada saat di rumah sakit. Saat ia masih di rumah Sara. Dan yang paling ia sesali adalah, seharusnya ia tidak ikut audisi itu. ia seharusnya menjaga Mamanya, mengantarkan Mamanya berobat ke rumah sakit.
Tapi semuanya sudah terlanjur. Percuma menyesal, karena semua itu tidak akan bisa mengubah lagi semuanya.
Dua hari yang lalu penyakit Mama Ifan kambuh lagi, Hipertensi dengan tekanan yang cukup parah, 180. Hal itu membuat Mamanya harus beristirahat dan berobat. Namun sayang, kekurangan ekonomi membuat Mama menahan rasa sakitnya. Dan pagi tadi, setelah Ifan pergi ia sudah tidak kuat untuk menahan rasa sakitnya. Beliau pingsan. Weni yang melihat Mamanya tergeletak tak berdaya langsung meminta bantuan untuk di bawa ke rumah sakit. Beberapa jam di rumah sakit, ternyata Mama telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan Ifan, Weni dan seluruh dunia.
Air mata Ifan masih mengalir. Kini ia duduk di depan makam Mamanya dengan tangan yang terus memegang nisan Mamanya yang baru saja menancap di tanah. Begitupun Weni yang sampai saat ini masih menangis, bahkan sampai pingsan.
Satu persatu orang yang melayat mulai pergi dari pemakaman Mama Ifan. Tidak jauh dari makam Ifan ada empat remaja yang berdiri dengan tatapan yang tertuju pada Ifan.
Atarik, Tania, Riri dan Ayunda baru saja mendapat kabar dari wali kelas Ifan jika Mama Ifan meninggal. Maka dari itu mereka langsung menuju ke pemakaman. Beru saja mereka ingin menghampiri Ifan, namun Ifan sudah bangkit berdiri dan berjalan menghampiri mereka.
Sejak tadi Ifan sudah tau akan keberadaan mereka. tapi Ifan berpura-pura tidak melihat mereka dan langsung pergi. Bahkan saat melewati mereka Ifan tak menoleh sedikitpun. Meskipun hanya salah satu dari mereka.
Atarik, Ayunda, Riri dan Tania menatap satu sama lain. Mungkin Ifan masih berduka akan kepergian Mamanya yang begitu cepat.
_
Satu minggu Ifan sudah tidak masuk sekolah karena masih berduka akan kepergian Mamanya. Dan hari ini Ifan masuk sekolah, meskipun perasaanya masih kacau.
Waktu istirahat ini Ifan duduk sendirian di bangku taman. Melihat orang-orang yang berjalan melintas di taman. Ada yang bahagia bersama teman, pacar, sendiri. Dan ada pula yang seperti dirinya, sedih.
"Ifan, maaf banget ya, karena kita belum pernah datang ke rumah lo sama sekali setelah Mama lo nggak ada," Kata Ayunda yang tiba-tiba datang bersama Tania, Atarik dan Riri.
Ifan yang awalnya menundukkan wajahnya kini kembali tegak. Namun tatapannya tidak tertuju pada mereka, "Gue senang kalian nggak datang. Dan mulai sekarang, kalian nggak usah lagi masuk di kehidupan gue," ucap Ifan.
Tania, Riri, Ayunda dan Atarik kebingungan. Tidak mengerti apa yang di masksud Ifan.
"maksudnya apa ya Fan?" tanya Tania, untuk mendapatkan penjelasan dari Ifan.
"Bukankah kejadian seperti ini adalah hal yang paling kalian inginkan? Kematian Mama gue," Penjelasan Ifan ini justru membuat mereka berfikir untuk menebak teka-teki. "Fan, kita benar-benar nggak ngerti apa yang lo bicarain?"
"Nggak usah munafik kalian. Kalian ngajak gue ikut audisi supaya gue nggak bisa merawat Mama gue yang sedang sakit, sampai Mama gue meninggal. Dan kalian senang kan, melihat gue semakin menderita?"
"Kok lo ngomong gitu sih, sama kita?"
"Halah, nggak usah pura-pura sok baik sama gue! Kalian tau nggak, kalau Mama gue meninggal, karena kalian?"
"Gara-gara kita? Emang kita udah berbuat apa sama nyokap lo?" Riri balik bertanya. Tangannya ia lipatkan di depan dadanya.
Ifan berdiri. Mensejajarkan tinggi tubuhnya yang setara dengan Riri. "Kalian nggak melakukan apa-apa sama Mama gue. Tapi gara-gara gue ikut audisi yang nggak penting itu, gue nggak bisa bawa Mama ke rumah sakit. Merawatnya." Bibir Ifan bergetar. Matanya kembali berkaca-kaca. Mengingat kepergian Mamanya adalah hal yang paling menyakitakan dari pada hinaan orang-orang.
"Lo nggak boleh ngomong gitu Fan! Kematian sudah takdir," Celetuk Atarik dengan tegas. Mengingatkan temannya agar bisa menerima dan mempercayai adanya takdir.
"Iya Fan. Lagipula, untuk apa lo menyesal karena udah ikutan audisi itu? semua itu kan, juga demi mimpi lo," Sambung Tania.
"Nggak usah bawa-bawa mimpi. Mimpi gue udah hancur! Kebahagian gue satu-satunya telah pergi. lalu untuk apa gue harus bahagia?" Teriak Ifan dengan sifat yang penuh tempramental. Ia langsung pergi tanpa meninggalkan sekata-katapun yang mampu membuat hati Atarik, Riri, Tania dan Ayunda bahagia. Justru sebaliknya.
Di dunia ini hanyalah fana, maka jangan pernah menyesal jika kamu salah melangkah, atau kamu telah menyia-nyiakan kesempatan.
(Tania Widjaja Elmahira)