"Lama banget sih, Ayunda sama Riri. Padahal kita udah nunggu sejak tadi," Keluh Tania, merasa lelah dan bosan karena sampai sekarang Ayunda dan Riri belum menampakkan batang hidungnya juga. " Rik, udah lo chat mereka nggak?"
"Udah. Sabar kali Tan!"
"udah sejak tadi gue sabar Rik," Kata Tania dengan nada menyindir. Atarik mencoba bermain piano, sedangkan Ifan bermain gitar. Menghapus penat yang entah kapan akan berakhir.
Tiba-tiba Riri datang dengan penuh emosi. Hal itu mengundang perhatian Tania, Ifan dan Atarik yang tadinya mencari kesibukan masing-masing.
"Kenapa lo?" tanya Ifan.
"Gue sebel sama Daniel dan teman-temannya. Masak gue dibanding-bandingin sama cewek lain, apalagi Sara. Kan nggak lucu," Jelas Riri berkacak pinggang.
"Ya kalau lo nggak suka dibanding-bandingin sama orang, lo rubahlah penampilan lo. Lebih anggun, kalem. Sebenarnya lo ini, udah cantik Ri, lucu, apalagi pakai jilbab. Banyak yang mau sama lo. Tapi sifat lo benerin dulu."
"Jadi, lo ikut-ikutan bandingin gue? Lo udah kayak Daniel ya lama-lama."
"Tapi kenyataannya gitu kan? Pantes, sampai sekarang lo nggak punya pacar," Bantah Ifan yang tak punya rasa takut pada siapapun. Riri semakin naik pitam, "Gue lebih baik nggak punya pacar, daripada gue punya, terus gue disuruh jadi orang lain. Menuruti semua kemauannya. Kan nggak bisa bebas gue!"
"Lalu, kalau lo nikah gimana? Sedangkan lo aja nggak mau nurutin perintah cowok."
"Itu beda lagi kali, Fan!"
"Udah. Kok jadi ribut masalah cowok, pacar, nikah sih!" Tania langsung menengahi mereka yang sedang berdebat, "Kita di sini mau latihan. Bukan debat." Jeda tiga detik, "Ayunda mana?"
"Sorry, gue telat." Baru saja namanya dicari, akhirnya datang juga dengan nafas tersenggal-senggal. Tania, Atarik, Ifan dan Riri menatap Ayunda dengan tatapan penuh tanda tanya. "Tadi habis kejebak hujan," Sambungnya dengan nafas yang masih sama.
"Kejebak hujan apa berdua-duaan sama Reno?" Celetuk Riri yang memasang wajah cuek. Mata Ayunda melotot. Bagaimana Riri bisa tau tentang semua ini?
"Dua-duanya." Dan kini mata Riri yang melotot menatap Ayunda. "Astaga Ayunda. Jadi benar lo pulang bareng Reno."
"Iya, emang kenapa? Dia sendiri yang minta pulang bareng gue."
"Tapi bukannya selama ini lo nggak suka sama dia?"
" Iya. Terus mau gimana lagi? Masak gue ngomong 'jangan. Gue nggak suka sama lo,' kan, kesannya kayak sombong banget. kata Ayah gue," Kata Ayunda yang memberi penjelasan pada teman-temannya.
"Kalian berdua kenapa sih, pada nggak suka sama cowok?" Tanya Ifan begitu saja.
Riri tersenyum. Ia tau siapa yang dimaksud Ifan ; dirinya dan Ayunda.
"Bukannya kita nggak suka. Tapi nggak percaya sama yang namanya lelaki." Jawab Riri. Ayunda menyetujui dalam hati.
"Berarti, kalian nggak percaya gue sama Atarik dong?"
"itu beda lagi, Fan."
Setelah bercanda bersama, mereka mulai latihan. Dan sebelum itu, Ifan menceritakan kepada teman-temannya jika dirinya kali ini dengan Sara sudah telah berpacaran sejak kemarin, setelah ia pulang dari kafe.
_
Sore ini Ifan mengajak Sara jalan-jalan. Menikmati keindahan kota Yogyakarta yang tidak ada tandingannya, Malioboro misalnya dengan keindahan cahaya lampu yang remang-remang di jalanan. Apalagi jalan kaki.
Sara begitu senang. Sesekali mereka tertawa bersama dan bersendau gurau bersama, seakan-akan dunia hanya milik mereka berdua. Kali ini mereka ada di Malioboro. Bukan untuk belanja. Bukan pula untuk bertemu orang turis. Tetapi untuk mengisi kekosongan waktu dan meluapkan rasa rindu bersama.
Saat waktu semakin sore, Ifan mengantarkan Sara pulang.
"Kamu nggak masuk dulu?" Tawar Sara setelah ia dan Ifan sampai di depan gerbang rumahnya.
"Padahal, aku ingin mengenalkan kamu ke ibuk sama ayahku." Ifan terdiam sejenak, lalu pada akhirnya ia ikut masuk ke rumah Sara.
Di sinilah Ifan sekarang. Duduk atas sofa dengan ruangan yang serba putih, di temani Sara dan orangtuanya yang kini menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan.
"Kamu, Ifan kan?" Tebak ayah Sara dan tepat sasaran.
Cukup mudah bagi ayah Sara untuk mengenal teman-teman putrinya, karena beliau bekerja sebagai guru kimia di sekolah SMA Negri 6 Yogyakarta. Tempat anaknya menimba ilmu. Begitupun Ifan yang sudah tidak asing lagi terhadap ayah Sara. Meskipun ia tidak pernah diajar beliau, tapi sudah berpapasan di sekolah.
Sambil gemetar dan gugup, Ifan menjawab, "Iya, pak."
"Dia itu, pacar aku yah." Ayah yang sedang memakan kue langsung tersedak begitu saja saat Sara mengatakan hal itu. Ifan pacarnya? Tidak salahkah Sara dalam mencari pacar? Atau, ia salah mendengar.
"Ifan pacar kamu?" Ulang Ayah. Sambil tersenyum, Sara mengangguk cepat.
Ayah diam, meneliti wajah Ifan atau mencari kelebihan Ifan, sampai-sampai putrinya mau menjadi pacarnya. "Hebat ya kamu, bisa pacaran sama putri saya," Sindir ayah Sara pada Ifan. Ifan mengerutkan dahi, tidak mengerti maksud dari ucapan ayah Sara tadi.
"Kamu itu siapa, sampai-sampai berani pacarin anak saya? Cuma anak gembel yang hidup di jalanan, tanpa punya tujuan kan."
"Ayah," Sahut Sara secepatnya, sebelum ayah melantur.
"Diam kamu Sara. Anak ini harus sadar diri! Dia nggak punya apa-apa? Beda sama kita."
"Tapi nggak segitunya juga, yah."
"Saya memang nggak punya apa-apa pak. Tapi saya memiliki harga diri," Kata Ifan dengan suara yang tegas. Ayah Sara tertawa. Jika dapat diartikan, tawa itu penuh ejekan. "kamu masih punya harga diri? Saya kira, kamu sudah tidak punya apa-apa."
"Andaikata saya tidak punya apa-apa, saya nggak akan berani dekatin Sara sampai memacari dia."
"berani dan menantang juga ya kamu." Nada suara ayah mulai meninggi. Emosinya mulai terpancing, "Kamu itu boleh berpacaran dengan Sara, jika kamu sudah menjadi orang benar, sukses, dan mempunyai pekerjaan yang mapan. Sekarang aja, kamu nggak bisa dan nggak punya apa-apa," Lanjut ayah Sara.
"Ayah kok, ngomong gitu, sama Ifan?" Sahut Sara, yang mulai kecewa terhadap ayahnya. Ia pikir ayahnya baik, ramah dan tidak suka pilih-pilih orang. Namun, ternyata ayah sama saja seperti orang-orang di luaran sana yang tidak memiliki perasaan manusiawi.
Ayah tidak menggubris Sara. Yang lebih utama kali ini adalah bagaimana Ifan dan Sara segera menyelasikan hubungan mereka, jika bisa, detik ini juga, "Sekarang kamu tinggalkan Sara, dan kamu akan saya kasih kesempatan untuk menjadi orang benar dan memiliki impian terlebih dahulu!"
"Baik. Jika itu yang bapak inginkan, saya setuju, dan akan saya buktikan bila saya bisa mewujudkan mimpi saya." Sebenarnya Ifan tidak yakin terhadap ucapannya itu, tapi, mau bagaimana lagi, terkadang cinta mampu membuat seseorang lupa. Siapa dirinya?
Ifan bangkit berdiri, "Saya permisi dulu."
Sara hanya bisa menangis. Saat ayah mengusap punggungnya ia segera belari menuju kamarnya. Sedangkan ibuk sejak tadi hanya bisa diam, sampai sekarang.
_
Ayunda, Tania, Riri dan Atarik dibuat gelisah oleh Ifan. Pasalnya, sampai sore ini ia belum datang juga dan mereka sudah menunggunya sejak pulang sekolah tadi. Beberapa kali Tania mengirim pesan untuk Ifan, namun tak pernah Ifan balas meskipun hanya satu saja. Jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Begitupun dengan Ayunda, Riri dan Ifan yang mencoba menelpon Ifan. Hasilnya percuma, tak diangkat, hanya berdering.
"Gimana dong ini, nggak diangkat-angkat?" Riri mulai mengeluh.
"Gue kirim pesan, juga nggak dibalas. Dibaca aja enggak."
"Sedangkan dua hari lagi, kita udah lomba," Sahut Atarik.
"Yaudahlah, kita latihan dulu aja! Lagipula, Ifan kebagian nyanyikan? Palingan, Cuma hafalin lagunya aja. Beres."
"Yaudah deh."
Dengan perasaan tek menentu, mereka menyetujui usulan Ayunda. Meskipun berat hati karena tanpa kehadiran Ifan kali ini. Itu bukan jadi masalah dan alasan mereka untuk menyia-nyiakan waktu yang awalnya digunakan untuk latihan, ternyata tidak. Hanya sebagian. Dua puluh persen.
_
Ayunda berlari kencang dengan wajah yang berseri-seri. Sejak selesai latihan tadi Ayunda sangat bahagia karena akhirnya mimpi pertamanya terwujud. Kumpulan puisinya telah diterbitkan dan sekarang ia sedang membawa bukunya. dan sekarang ia sudah tidak sabar untuk pulang ke rumah. Memberi tau kabar bagahagia ini pada orangtua dan kakak-kakaknya.
Selama hidupnya, Ayunda tidak pernah merasakan yang namanya bahagia yang luar biasa. Namun, mengapa kebahagian itu tidak bisa ia rasakan lebih lama lagi? Ingin sekali ia meneriaki purnama, agar ia tak cepat meredup tertutup awan hitam yang sama dengan warna langit malam ini. Baru saja ia sampai di depan rumah, ternyata ia sudah disambut ibuknya yang berdiri di teras rumah dengan mata yang membengkak. Sebenarnya apa yang terjadi dengan ibukunya? Ayunda tidak tau. Ia segera memeluk ibuknya.
"Ada apa buk? Kenapa ibuk nangis?" Tanya Ayunda, dengan nada yang penuh khawatir, sedangkan ibuk hanya bisa tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Mencoba menyembunyikan perasaanya yang kini tengah kacau. "Ibuk bohong!" Ayunda langsung melepas pelukan dari ibunya. Marah karena ibuk tidak bercerita padanya tentang masalah yang sedang beliau hadapi.
"Kenapa dunia nggak pernah adil untuk kita buk? Kenapa dunia hanya mempermainkan kita saja?" Kata Ayunda. Matanya mulai berkaca-kaca saat mengerti alasan ibuknya menangis. Mengingat dulu masa kecilnya yang penuh sengsara, masa TK Ayunda yang hampir tidak diterima lembaga karena hidup serba kekurangan, tentang Ayah yang hampir tidak pernah mendapat gajian karena telat datang satu menit dan masalah lainnya. Entah kenapa ibuk tiba-tiba mengingat kembali masa-masa sulit seperti itu.
Ibuk memeluk Ayunda dari belakang, "Yu, dunia ini sebenarnya adil untuk kita. Tapi kita yang kurang bersyukur, sehingga kita tidak menyadari apa keadilan tuhan yang telah diberikan untuk kita," Kata ibuk yang mencoba menahan emosi Ayunda.
"Buk, aku udah besar, aku udah ngerti semuanya, rasa sakit, benci, suka, dan simpati. Dan yang paling sering aku rasakan adalah sakit dan benci. Aku benci mereka semua buk! Mereka berbuat semena-mena terhadap keluarga kita. Menghina, memandang kita sebelah mata seakan-akan kita tidak memiliki apa-apa. Mereka membanggakan, menyanjung dirinya sendiri. Bagaikan sudah terasa sempurna untuk hidup dan menguasai dunia. Dan aku sakit saat mengingat masa kecilku dulu buk," Kata demi kata yang keluar dari bibir Ayunda begitu lancar. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya lolos keluar juga.
Melihat kondisi putrinya seperti ini membuat ibuk semakin merasa bersalah. Mengulang kembali kenangan yang hampir hilang kini datang kembali, padahal, selamanya kenangan akan melekat pada jiwa seseorang, tak terkecuali dengan anaknya.
"Biarlah kita dipandang mereka sebelah mata, asalkan di mata tuhan, kita adalah makhluk yang sama. Ciptaan yang memiliki keimanan kepadanya."
"Tapi nggak seperti ini juga buk! Kita berhak mendapatkan keadilan. Kita nggak bisa seperti ini terus buk, menggantungkan takdir tanpa ada usaha." Ayunda menatap lekat wajah ibuknya, "Tapi, kali ini ibuk tenang aja. Aku punya ini?" Lanjut Ayunda seraya menyerahkan buku kumpulan puisinya pada ibuk.
"Dengan ini, kita bisa buktikan ke orang-orang bahkan dunia, jika aku bisa. Tidak seperti ekspektasi mereka."
Ibuk langsung memeluk Ayunda. Air matanya membasahi punggung anak bungsunya. Begitu inginnya Ayunda untuk merubah hidup dan takdir sampai-sampai ia menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi. Cobaan di dunia memang berat nak. Tapi masih lebih berat cobaan di akhirat.
_
"Kemana aja lo kemarin? Kok nggak ke sanggar?" Ifan yang awalnya menikmati cahaya matahari dan pemandangan dari atas gedung sekolah di waktu istirahat mulai terganggu saat Atarik, Tania, Ayunda dan Riri tiba-tiba datang tanpa diundang, "Ngapain kalian ke sini?"
"Cari elo lah!" Balas Atarik. "Gue ulangi lagi. Kemana aja lo kemarin? Kok, nggak ke sanggar?" Tanya Tania to the point. "Males," Kata Ifan santai, hal itu mampu mengundang keheranan teman-temannya. "Males? Fan, dua hari lagi kita udah lomba!"
"Gue nggak ikut audisi ini. Gue ingin keluar, dan kalian cari pengganti gue aja!" Ucapan yang keluar dari bibir Ifan itu sangat membuat mereka syok begitu saja. Bagaimana tidak, kemarin mereka aman-aman saja, tidak konflik besar sampai-sampai membuat hubungan mereka renggang. Tapi sekarang, segalanya seperti mimpi bagi mereka.
"Lo ngelantur ya?" Tanya Riri, untuk membuktikan bahwa apa yang diucapkan Ifan tadi hanyalah sebagai canda-tawa saja.
"Apa wajah gue kayak orang mabuk? Orang yang bangun tidur?" Bukannya menjawab, Ifan justru tanya kembali. "Enggak kan?"
"Fan, ini nggak lucu! Tiba-tiba aja lo mutusin untuk nggak ikut audisi. Apa sih, masalahnya?" Tania mencoba mencari penjelasan dari Ifan. Alasan mengapa ia membatalkan ikut audisi.
"Percuma gue ikut, jika semua itu tidak ada keuntungannya bagi gue."
"Lalu keuntungan itu buat siapa? Buat gue doang? Ayunda? Riri? Tania?"
Ifan menatap wajah mereka satu-persatu. Apakah ia harus menjelaskan semuanya pada mereka? Mungkin akan terdengar lucu atau aneh, gara-gara seorang wanita ia putus asa.
Tapi bagaimanapun juga, Ifan tetap menceritakan semuanya pada mereka. Tentang Ayah Sara yang menolak hubungan putri semata wayangnya dengan dirinya. Tentang penghinaan yang diberikan Ayah Sara untuk dirinya. Semua itu ia ceritakan pada mereka, agar mereka tau, seberapa besar keburukannya sampai-sampai Ayah Sara tega mengatakan hal seperti itu padanya, padahal, beliau adalah seorang guru.
Tania tersenyum kecut. Hanya karena masalah seperti itu Ifan tega meninggalka dirinya dan yang lainnya ; Atarik, Ayunda dan Riri. Terutama impiannya.
"Lucu Fan. Hanya masalah seperti itu, lo tega buat ninggalin kita, terutama impian lo."
"Rik, lalu gue harus berbuat apa lagi, sedangkan di dunia ini sudah tidak ada seorangpun yang percaya sama gue?" nada suara Ifan mulai terdengar meninggi. Emosinya mulai terpancin,. "Di mata mereka, gue hanyalah seorang sampah yang nggak ada gunanya di dunia ini, yang ada hanya bisa ngerusak semuanya."
"Tapi nggak segitunya juga Fan. Justru dari masalah itu, lo bisa jadikan buat motivasi diri. Lo harus semangat, tunjukkan pada mereka, kalau lo nggak seperti apa yang mereka bisa. Terutama Ayah Sara."
"ssdah berapa kali Tan, lo ngomong kayak gitu? Basi tau nggak."
Ternyata tidak hanya Ifan saja yang mulai terpancing emosi. Tania pun juga begitu. Ifan benar-benar kelewatan.
"Lo egois Fan. Lo cuma mentingin diri lo sendiri, tanpa mau ngerti perasaan kita. Lo cuma nurutin ego lo sendiri, supaya bagaimana caranya agar lo bisa bahagia, sedangkan di sini, kita nunggu lo, buat berjuang bersama-sama. Meraih mimpi kita," Kalimat itu keluar dari bibir Tania dengan lancar, sesuai isi hatinya.
Ifan memalingkan wajahnya yang awalnya bertatap muka dengan Tania. Mencerna setiap kata yang diucapkan Tania. Kemudian ia kembali menatap wajah Tania yang sejak tadi setia menatpnya.
"Bukannya selama ini lo yang egois? Lo menganggap semua yang ada di dunia ini kehidupannya sama kayak lo. Sedangkan lo nggak mikir kita, yang kehidupannya beda sama lo! Lo enak, punya orangtua lengkap. Sedangkan Riri, enggak. Orangtua lo selalu mendukung apa yang lo mau. Atarik, enggak. Lo minta apapun selalu diturutin sama orangtua lo. Ayunda, enggak. Orangtuanya harus kerja mati-matian dulu supaya bisa memberikan apa yang dia minta. Lo selalu dipandang semua orang dengan pandangan yang memuji. Sedangkan gue?" Ifan menunjuk dirinya sendiri dengan air mata yang berlinang, "Gue dipandang rendah. Kayak sampah. Nggak punya harga diri."
Tiba-tiba saja tubuh Tania terasa lemah. Bisa-bisanya Ifan bicara seperti itu sedangkan ia tidak tau semuanya tentang dirinya.
"Apa lo pikir, cuma lo dan yang lainnya doang yang nggak sempurna kehidupannya? Guej uga Fan! Orangtua gue nggak pernah ngedukung apa yang gue impikan suatu saat nanti. Mereka menertawakan gue, seakan-akan ini semua adalah bahan lelucon. Mereka selalu menuntut supaya gue bisa tampil sempurna seperti kakak gue, baik fisik maupun mental. Di rumah semuanya sibuk, gue sendirian, kesepian. Hanya ditemani imajinasi yang begitu tinggi," Terang Tania secara detail-detailnyasupaya tidak terjadi kesalahfahaman lagi bagi mereka. Tidak hanya diri merekasaja yang mendapat masalah, tetapi ia juga.
Biarlah kita dipandang mereka dengan sebelah mata, asalkan di mata Tuhan, kita adalah makhluk yang sama. Ciptaan yang memiliki iman kepadanya.
(Rahayu Setyawati)