99. INT. WARUNG TENDA BUBUR AYAM — NIGHT
Indra duduk di kursi plastik menghadap jalan. Ia sedang melamun. Menopang wajahnya dengan tangan di atas meja. Terdengar riuh suara kendaraan di luar. Juga suara-suara pelanggan warung yang tengah bercerita, bercanda tawa.
100. INT. RUMAH SAKIT - LORONG — NIGHT
Desi duduk termenung di sebuah kursi panjang yang tak jauh dari pintu masuk kamar Rusdi. Nampak ia tengah memikirkan sesuatu yang menyedihkan. Sesekali ia menggigiti bibir dan ujung kuku jari tangannya.
101. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT
Arul duduk di atas ranjang kosong yang ada di samping Rusdi, menoleh ke luar jendela, melihat bulan yang bersinar terang dan bulat penuh. Ia tengah melamun, memeluk kedua lututnya di atas ranjang.
Rusdi masih terbaring di atas ranjangnya, masih dalam keadaan diinfus. Suasana sepi sekali.
RUSDI
Bubur saya mana?
ARUL
Bentar, Pak. Lagi dibeliin.
RUSDI
Saya mau minum lagi.
Arul beranjak mengambil botol air mineral di atas meja di samping ranjang Rusdi. Membantu Rusdi minum dengan pelan-pelan. Rusdi selesai minum. Arul meletakkan kembali botol itu ke atas meja, melangkah dengan pincang ke tempatnya semula.
RUSDI (CONT'D)
Kakimu gak luka, kenapa pincang?
ARUL
Tulangnya retak di dalam, gak sampe patah.
RUSDI
Diapai kah kamu sama Indra itu?
Arul memalingkan wajah menatap bulan.
ARUL
Aku kaget tiba-tiba diseret ke dalam kamar. Diinjak, ditendang, kaki ku dipukul berkali-kali pake sapu. Aku cuman ngelindungin kepala aja, takut pecah.
Rusdi melirik ke Arul.
RUSDI
Kenapa kamu lakuin itu? Gak pernah kan kamu mabok-mabokkan sama ngerokok sebelumnya? Cuman malam itu aja. Pulang-pulang mabok. Dan dapat dari mana juga kamu itu minuman.
ARUL
Ngelihat aku nangis terus selepas Ibu meninggal, Bapak makin ngelihat aku kayak tai. Waktu itu umur aku masih 15, Pak, dapet minuman ya dicuri. Yang aku pikir waktu itu cuman Bapak. Ini saatnya mungkin untuk buktikan diri. Aku nangis karena aku lagi sedih, bukan karena bukan laki-laki.
RUSDI
Salah saya lagi?
ARUL
Mabok-mabokkan, ngerokok, kasar sama orang... laki-laki harusnya gitu kan, Pak, di kepala Bapak? Yang hatinya lembut dan terlalu berperasaan gak pantes disebut laki-laki. Tiap hari Bapak selalu... aja, bilang aku ini lemah dan gak kayak laki-laki. Apalagi pas Bapak tahu aku sering gambar bunga. Bapak menghakimi tanpa ngerti alasannya.
(beat)
Ibu suka sekali sama Bunga. Aku gak ada uang buat beliin dia bunga beneran. Makanya aku lebih sering gambar bunga. Tapi Bapak dengan gampangnya bilang aku ini bencong.
RUSDI
Saya gak pernah bilang kamu bencong.
ARUL
Secara langsung iya gak pernah. Tapi semua perkataan Bapak ya arahnya ke sana. Aku bukan orang bodoh, Pak. Ngerti kok aku walopun gak disebut intinya.
Rusdi terdiam. Dia mengalah.
ARUL (CONT'D)
Ibu bilang dia pengen sekali budidaya tanaman hias di halaman belakang rumah. Tapi gak pernah kesampean. Makanya, aku jadi terdorong untuk ngelanjutin impian itu.
(beat)
Coba kalo dulu aku bilang sama Bapak, Pak! Aku pengen bikin taman bunga. Habis aku dihujat sama Bapak. Makin dianggap perempuan. Gampang sih jelasin alasannya. Cuman karena Bapak terlalu pede dan sok paling benar, makanya gak pernah mau mendengarkan.
Arul menoleh ke Rusdi.
ARUL (CONT'D)
Aku di Jakarta kerja di toko Bunga, supaya bisa inget Ibu. Kalo Bapak udah gak ada, aku bakal sering mabok sama ngerokok, supaya bisa inget Bapak.
Arul memalingkan wajahnya lagi ke jendela, membelakangi Rusdi. Mata Arul berkaca, ia sedang menahan tangisnya.
RUSDI
Saya cuman cemburu. Kamu satu-satunya anak saya yang gak segan becanda sama saya. Makin gede, malah makin jauh.
ARUL
Karena sifat kita beda, Pak. Bertahan dengan tuntutan, kemauan, dan ideologi Bapak, gak mampu aku. Apalagi pas Bapak paksa aku masuk pesantren. Supaya aku bisa tobat karena Bapak pikir aku bukan laki-laki sejati kan, pak?
Arul menoleh ke Rusdi. Rusdi tidak menghiraukan perkataannya. Rusdi fokus menatap langit-langit.
RUSDI
(menatap langit-langit)
Sesuka itu yah kamu sama Bunga. Saya pikir karena kamu Ibu-ibu makanya ngerawat Bunga. Harusnya bilang saya juga.
Arul hanya menatap dengan bingung.
102. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT
Desi duduk di kursi sembari menyuapi Rusdi bubur ayam yang tersisa seperempat kotak pembungkusnya.
DESI
Lahap sekali makannya, Pak.
RUSDI
Saya sudah lapar dari tadi pagi.
Desi menyuapinya lagi.
Indra berdiri di bagian bawah kaki Rusdi. Arul masih duduk di atas ranjang pasien yang kosong. Mereka semua memperhatikan Rusdi makan.
RUSDI (CONT'D)
Saya pikir kalian tidak mau lagi merawat saya. Masih peduli kalian ternyata sama saya.
Tidak ada yang menjawab, semuanya sedikit menunduk.
RUSDI (CONT'D)
(ke Desi)
Saya ngelarang kamu pergi bukan karena ngelarang kamu jadi penyanyi. Tapi karena gak ada yang jagain saya. Ibumu sakit, kalian jaga baik-baik. Masa kalian lupa saya masih hidup hanya karena Ibumu sudah meninggal?
INDRA
Kita bukannya pergi karena gak peduli sama Bapak. Kesannya aja yang kaya begitu. Tapi alasannya yah, karena meninggalnya Ibu, menua-nya Bapak, ini semua bersamaan sama kita bertiga yang beranjak dewasa. Masing-masing punya ambisi dan ego buat nyari jalan hidup sendiri.
(beat)
Yah itu kalo melupakan gak nyamannya kita sama sikap dan perlakuan Bapak.
Rusdi hanya diam mendengarkan. Mengangguk paham.
RUSDI
Saya minta maaf kalo ada hal yang bikin kalian benci saya. Saya gak mau meninggal dalam keadaan dibenci sama anak sendiri.
DESI
Bapak gak boleh ngomong gitu.
RUSDI
Saya sadar banyak salah sama kalian, sudah jadi Bapak yang kejam dan suka mukul kalian. Makanya saya bilang saya menyesal, kalian percaya?
Tidak ada jawaban. Desi menyuapi Rusdi suapan bubur terakhir.
RUSDI (CONT'D)
Kalian tidak mau maafkan saya? Kalo saya mati nanti, saya jadi arwah penasaran untuk hantui kalian, menuntut minta maaf.
Arul tersenyum simpul.
DESI
Dimaafin kok, Pak. Udah berlalu juga itu semua.
RUSDI
(ke Desi)
Cuman kamu kah anak saya?
Desi melirik ke Indra dan Arul, memberi mereka kode dengan mata agar berbicara.
ARUL
(ragu)
Iya, Pak. Dimaafin.
Indra menjawab dengan senyum dan anggukan.
Rusdi menatap ke ketiga anaknya secara bergantian. Lalu tiba-tiba dia menangis.
Desi mendekat untuk menenangkannya.
DESI
Bapak kenapa, Pak?
RUSDI
Sudah besar semua kalian. Berapa tahun yang saya lewatkan? Saya harap kalian benar-benar memaafkan Saya. Saya menyesal.
Arul dan Desi tertunduk haru. Indra masih memasang wajah acuh tak acuh.
RUSDI (CONT'D)
Kalian ini bersaudara cuman tiga orang. Saling jaga, saling peduli. Rajin-rajin ketemuannya. Karena kalo saya sudah gak ada, cuman kalian bertiga yang saling memiliki satu sama lain. Butuh bantuan atau apapun. Jangan kayak saya, karena sifatnya begini, mau sakit mau tidak, saudara tidak ada yang peduli. Saling sayang kalian, seperti dulu.
(beat)
Kalo kalian mau pulang ke Jakarta, pulang aja. Saya lebih suka sendirian.
Rusdi menyeka air matanya dengan baju yang dikenakannya, lalu memperbaiki posisinya untuk setengah duduk, bersandar pada kepala ranjang.
RUSDI (CONT'D)
(ke Indra)
Foto saya!
Indra nampak kebingungan, ia hanya merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan bersiap memotret.
Rusdi menaikkan dua jarinya, membentuk pose "v", lalu tersenyum lebar. Indra menghitung. Satu foto terambil.
RUSDI (CONT'D)
(ke Indra)
Kamu punya cetak foto kan? Cetak itu, habis itu pajang di deket foto Ibumu di ruang tengah.
Indra hanya mengangguk.
INDRA
Jam sepuluh aku pulang ya, Pak.
DESI
Kenapa? Nginep di sini aja. Cukup kok.
INDRA
Aturannya gak boleh tiga orang yang nginep.
DESI
Elleh, dikit orang juga di sini.
Rusdi memperbaiki posisinya, berbaring seutuhnya.
RUSDI
DESI!
DESI
Iya, Pak?
RUSDI
Suruh orang itu pergi!
DESI
Indra?
RUSDI
Bukan! Tapi yang di jendela.
(menutup mata)
Dia lihatin saya terus dari tadi.
Desi, Indra dan Arul bersamaan menoleh ke jendela. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Desi beranjak untuk menutup jendela dengan gorden. Berdiri sebentar melihat ke luar melalui jendela.
Wajah Desi nampak takut dan kebingungan.
103. INT. RUMAH SAKIT - KAMAR PASIEN — NIGHT
Arul dan Indra tertidur di lantai beralaskan tikar. Sementara Desi tidur di ranjang pasien yang kosong.
Rusdi belum tertidur. Dia menatap langit-langit di atasnya. Matanya seperti terbelalak. Air matanya keluar. Terdengar jelas suara "bip" dari monitor pasien di sampingnya. Tiba-tiba Rusdi mengambil napas panjang. Napas Rusdi menjadi sesak, makin lama makin sesak, makin kesulitan ia mengambil napas. Bunyi monitor pasien terus mengeluarkan suara "bip" putus-putus dengan ritme cepat.
Desi terbangun. Spontan mengecek Rusdi yang makin setengah mati mengambil napas.
DESI
Pak? BAPAK?!
Desi berlari ke arah luar memanggil perawat. Arul dan Indra terbangun, seketika panik mendengar suara "bip" tempo cepat monitor pasien. Dua orang perawat datang. Berusaha menyadarkan Rusdi, memanggil-manggil Rusdi. Menepuknya pundaknya.
Pov Rusdi: Terdengar suara samar-samar orang-orang di sampingnya. Mata Rusdi fokus melihat ke atas dengan buram. Makin lama rasanya makin berat. Mata Rusdi perlahan menutup dan semua menjadi gelap dan sunyi.