69. INT. RUMAH - KAMAR RUSDI — DAY
Rusdi duduk di atas kursi, bersandar pada sandaran kursi. Ia sudah memakai kemeja.
Desi mengambil sebuah celana panjang dari dalam lemari.
DESI
Bapak bisa pakai sendiri kan?
RUSDI
Saya gak mau dibawa ke rumah sakit.
DESI
Klinik sama rumah sakit beda. Bapak cuman diperiksa kok.
RUSDI
Saya takut dioperasi.
DESI
Emang Bapak pernah lihat orang dioperasi?
RUSDI
Gak. Tapi saya tetap takut.
Desi mendekat ke Rusdi, berlutut untuk memakaikan Rusdi celananya. Rusdi hanya memakai celana pendek.
DESI
Kalo di klinik nanti penyakitnya di periksa, terus dikasih obat doang. Gak ada operasinya kok.
Rusdi berdiri dari kursi untuk menaikkan celananya. Saat menunduk, ia merasa sakit sekali pada bagian perut bawahnya.
DESI (CONT'D)
Bapak gak apa-apa?
Desi membantu menaikkan celana Rusdi.
DESI (CONT'D)
Perut Bapak sakit?
Rusdi mengangguk.
DESI (CONT'D)
Apa pengaruh makan mangga tadi?
RUSDI
Saya tahu rasanya sakit perut karena mau berak. Ini beda sakitnya.
DESI
Nah itu tahu. Makanya ke dokter.
Celana Rusdi sudah terpasang. Desi merapikan kemeja Rusdi.
70. INT. RUMAH - DAPUR — DAY
Siska tengah membersihkan meja makan. Semua makanan sudah tertutup tudung saji di atas meja.
Indra datang dari luar lewat pintu belakang.
SISKA
Api nya udah beneran mati?
INDRA
Udah.
(mendekat ke Siska)
Siska!
SISKA
Ya?
INDRA
Aku boleh pinjem uang kamu gak? Aku tadi malem bawa uang. Cuman udah kukasih Bapak. Masa mau diminta kembali.
SISKA
Aku sih gak bawa banyak. Fokus bawa barang titipan kamu.
Siska merogoh kantong dress yang dikenakannya. Mengeluarkan uang 300 ribu.
INDRA
Uang pulang kamu?
Siska juga kebingungan. Indra menarik seratus ribu untuk diberikan ke Siska.
INDRA (CONT'D)
Aku balikin nanti.
SISKA
Iya gak apa-apa.
Siska menatap mata Indra.
SISKA (CONT'D)
Dengerkan Bapakmu tadi? Katanya merasa bersalah.
Indra hanya mengangguk.
71. EXT. RUMAH — DAY
Kita mengikuti indra berjalan ke luar rumah menuju halaman di mana motornya terparkir. Arul beranjak dari duduknya di kursi teras.
Desi datang dari dalam rumah, membantu Rusdi berjalan keluar. Sementara Siska mengikut di belakang mereka.
Indra naik ke motor. Arul membantu Rusdi berjalan ke motor, lalu naik ke jok belakang motor.
Desi dan Siska menunggu di atas teras.
ARUL
(ke Desi)
Aku harus ikut kah? Masa bonceng tiga? Nanti kena tilang.
DESI
Gak apa-apa, kamu kan pake helm. Takutnya Bapak oleng lagi terus jatuh gimana?
Arul tidak ikhlas naik.
DESI (CONT'D)
(ke Arul)
Heh! Naik gak?! AKU LEMPAR YA!
ARUL
IYA TUNGGU BENTAR!
Arul naik ke motor. Sekarang Indra sebagai pengendara, sementara Rusdi di tengah dan Arul di belakang. Arul berpegang ke pinggang Indra.
DESI
Hati-hati yah.
Indra mulai menjalankan motor.
Desi dan Siska memperhatikan dari teras.
72. INT. RUMAH - DAPUR — DAY
Siska dan Desi tengah mencuci piring bekas makan.
DESI
Gimana kesan pertama ngobr sama calon mertua?
SISKA
Lumayan lah, ngobrolnya juga lumayan panjang. Kupikir bakal kaku, nyatanya gak juga.
Desi melempar senyum.
DESI
Makasih yah. Mungkin Bapak selama ini mau cerita begitu ke kita bertiga. Cuman rada aneh mungkin. Untung ada kamu. Kita jadi tahu sedikit tentang perasaan Bapak.
SISKA
Kenapa gak diajak cerita aja?
DESI
Gak ah. Dari dulu kita gak pernah sedekat itu buat saling cerita satu sama lain.
SISKA
Itu kan dulu. Sekarang bukan berarti sama. Aku juga mikirnya dulu kek gitu, gak begitu deket sama Bapak, akhirnya aku gak begitu paham sama perasaan Bapakku sampai dia meninggal.
(beat)
Kita juga perlu tahu perasaan orang tua terhadap kita tuh kek gimana. Mungkin aja perlakuan sama perasaannya di hatinya berbeda.
Siska menyiram busa dan bekas sabun dari piring.
73. INT. KLINIK - RUANG PERIKSA — DAY
Rusdi berbaring sementara di periksa oleh seorang DOKTER menggunakan alat USG pada perutnya.
DOKTER (V.O.)
Syukurnya usus buntunya tidak sembunyi. Jadi gampang kelihatan.
(beat)
Untuk pengobatannya sendiri, itu ada dua. Operasi atau antibiotik.
CUT TO:
RUSDI
(tiba-tiba)
ANTIBIOTIK.
Dokter sudah duduk di meja kerjanya. Arul dan Rusdi duduk di hadapannya. Ia tersenyum mendengar sahutan tiba-tiba Rusdi.
DOKTER
Saya bisa kasih surat rujukan. Jadi kalo misal dalam beberapa waktu ke depan sudah konsumsi antibiotik, tapi sakitnya malah makin parah, bisa langsung di bawah ke rumah sakit, surat rujukan bisa dikasih ke perawat supaya bisa langsung ditindak sesuai penanganan yang diperlukan.
Arul dan Rusdi memperhatikan dokter tengah menulis resep obat.
74. INT. KLINIK — DAY
Seorang APOTEKER memberikan sekantong plastik berisi obat antibiotik ke Indra.
APOTEKER
Totalnya 250.000. Sudah termasuk biaya USG.
Indra merogoh dompetnya.
75. EXT. JALAN RAYA — DAY
Kita mengikuti kendaraan Indra dari samping. Rusdi melingkarkan tangannya ke pinggang Indra. Sementara Arul berpegang pada pundak Rusdi.
ARUL
Bapak harus siap-siap. Siapa tahu obatnya tidak berfungsi. Harus dioperasi.
RUSDI
Gak mungkin gak berfungsi. Obat dari dokter kok.
ARUL
Dokter cuman berharap pasiennya sembuh dengan minum obat. Bukan memastikan sembuh.
RUSDI
Saya tidak mau dioperasi.
ARUL
Tapi kan Bapak sakit.
RUSDI
Saya takut jarum suntik.
ARUL
Sejak kapan?
RUSDI
Dari kecil.
(mengalihkan)
Jangan pulang dulu Indra.
INDRA
Terus ke mana?
RUSDI
Saya mau minum es kelapa.
INDRA
Emang gak apa-apa sakit usus buntu minum es kelapa?
RUSDI
Tadi pagi saja saya masih makan mangga.
INDRA
Penjual es kelapa deket sini di mana Pak? Aku udah rada lupa.
ARUL
Makanya sering-sering pulang.
INDRA
Gak usah nyindir.
RUSDI
Kalian pernah ajak Ibumu minum es kelapa di pinggir pantai. Saya juga mau.
Indra dan Arul terdiam.
76. EXT. WARUNG ES KELAPA — DAY
Kita melihat sebuah warung yang kecil semi-outdoor yang menjual es kelapa di sekitaran pantai.
77. INT. WARUNG ES KELAPA — DAY
Indra menunggu di depan meja kasir. Seorang penjual, MAMANG tengah mengeruk daging kelapa di dalam kelapa utuh yang sudah dilubangi atasnya dengan sendok.
INDRA
Aku pikir Pak Mang udah gak menjual lagi.
MAMANG
Masih lah. Menjual di pantai itu lumayan menguntungkan. Soalnya hampir tiap hari orang dateng ke pantai. Orang yang mau mandi lah, pacaran, orang yang mau healing juga datang.
INDRA
Lumayan lah Mang yah berarti.
Mamang mengangguk.
MAMANG
Gak pake sirup kan?
INDRA
Satu aja. Sirup yang merah itu.
Mamang mengambil botol sirup berwarna merah, menaruh secukupnya di satu wadah plastik berisi air kelapa.
MAMANG
Udah lama kamu gak ke sini. Terakhir sama Ibumu.
INDRA
Iya Mang. Udah sibuk kerja di Jakarta.
MAMANG
Ohh gitu, sekarang bawa Bapak aja. Ibu mu mana?
INDRA
Udah lama meninggal Mang.
MAMANG
Astaga maaf yah. Saya gak tahu.
INDRA
Gak apa-apa.
Mamang mengambil wadah berisi es batu yang sudah dihancurkan, kemudian menaruh beberapa sendok ke setiap porsi es kelapa di hadapannya.
MAMANG
Sakit kah?
INDRA
Iya.
MAMANG
Pantas ada satu waktu Arul bawa Bu Arni, pucat sekali. Ada penyakit rupanya.
Mamang menumpahkan kembali air kelapa ke dalam kelapa utuh. Dua air kelapa murni, dan satu kelapa diisi dengan air kelapa bercampur sirup merah.
Mamang mengambil sendotan dan sendok, satu untuk satu porsi.
78. INT. WARUNG ES KELAPA — DAY
Indra meletakkan es kelapa sirup merah di depan Rusdi. Sementara dua es kelapa lain dibawa oleh Mamang.
Indra, Rusdi dan Arul duduk bersampingan dengan pemandangan pantai di depan mereka.
ARUL
Bapak gak apa-apa minum sirup? Katanya tadi batuk.
RUSDI
Saya sukanya pake sirup.
Arul hanya mengiyakan. Mereka mulai menyantap es kelapa masing-masing.
ARUL
Bapak tahu dari mana kita pernah bawa Ibu minum es kelapa?
RUSDI
Ya Ibumu lah yang cerita. Senang sekali dia.
Arul mengangguk lagi. Melanjutkan meneguk minuman es kelapanya.
INDRA
Bapak punya kartu kesehatan?
RUSDI
Gak.
INDRA
Harus dibikin tuh. Kalo Bapak operasi biayanya bisa ditanggung.
RUSDI
Saya gak mau.
INDRA
Udah lah. Kalo makin parah, makin repot kita.
RUSDI
Jadi menurutmu ngurus saya itu merepotkan?
INDRA
Kalo bapak tidak mau mendengar, ya merepotkan.
RUSDI
Saya bukan anak kecil.
Indra tidak bicara lagi. Dia nampak kesal.
RUSDI (CONT'D)
(ke Arul)
Deket sekali tempat ini sama sekolah mu, Rul.
ARUL
Iya Pak.
RUSDI
Sering kamu ke sini sama Ibumu?
ARUL
Lumayan.
RUSDI
Kalian bertiga pernah ke sini sama Ibumu?
Tidak ada yang menjawab. Pura-pura buang muka.
RUSDI (CONT'D)
Padahal saya juga mau diajak. Kalian berempat di sini bersenang-senang, saya di rumah sendirian.
(beat)
Jahat sekali kah saya?
INDRA
Saya ajak Ibu jalan-jalan karena saya tahu betul Ibu butuh hiburan karena seharian harus ngurusin orang kek Bapak. Orang yang cuman hobinya mabok sana-sini. Pulang-pulang mukulin Ibu.
(beat)
Gak usah khawatir Pak. Bukan cuman Bapak yang saya benci. Ibu juga. Sudah babak belur, bukannya lari, malah tetap tinggal mengatasnamakan cinta.
Rusdi mengangguk paham.
RUSDI
Arul? Menurutmu saya juga tidak cukup baik?
ARUL
Bapak itu sombong. Bapak pikir karena Bapak sudah lama hidup, berarti Bapak yang paling mengerti tentang semuanya.
(beat)
Bapak tuh asal udah ngerangkai kesimpulan di kepala, itulah yang Bapak pikir benar. Jadi gampang sekali untuk menghakimi orang, tanpa peduli sama perspektif orang lain.
RUSDI
Saya gak ngerti maksudmu apa?
ARUL
Fisik aku memang lemah. Tapi aku laki-laki Pak. Aku paling gak suka dianggap cewek. Kalo Bapak itu orang lain, udah aku ajak berkelahi.
Rusdi mengangguk, dia paham kali ini.
RUSDI
Dari kecil saya diajar keras. Ibu Bapak saya sama saja. Makanya Saya, Santi sama Mala, semuanya cepat darah tinggi. Saya juga tidak suka sama Bapak saya. Ibu saya bisanya cuman mencubit. Bapak saya main banting, dihantam pake tali pinggang, bahkan kawat.
(beat)
Kalian ketemu Bapak Ibu saya pas mereka sudah tua. Saya juga dulu tidak mau pulang, tapi bukan karena benci, takut justru. Saya tiga bersaudara beranjak dewasa dengan luka masing-masing. Ya karena perlakuan orang tua saya.
(beat)
Tapi setelah lihat orang tua saya rambutnya sudah putih, kulitnya terkelupas, penglihatannya jadi rabun, jalannya bungkuk, entah kenapa bukannya takut saya malah menangis. Susah untuk perbaiki keadaan kalo mengingat yang sudah berlalu. Tapi saya yang yakin, bukan cuman kami sebagai anak yang tumbuh dalam ketakutan. Bapak Ibu saya juga begitu.
(beat)
Mungkin pukulan, bantingan, kata-kata kasar yang dulu keluar di mulut mereka ke kami, sudah jadi penyesalan tersendiri bagi mereka. Gak mungkin mereka gak menyesal.
Tatapan mata Rusdi begitu kosong. Ia mengingat pahitnya masa lalunya. Matanya sempat berkaca.
INDRA
Bapak sudah menyesal?
RUSDI
Sebelum kalian pulang, saya hampir "sudah menyesal." Makanya saya suruh kalian pulang. Siapa tahu kalo saya lihat muka kalian, saya bisa menyesal.
INDRA
Apa dengan Bapak menyesal berarti semuanya bisa dilupakan gitu aja? Gak bisa Pak. Gak adil.
RUSDI
Saya gak minta kamu lupain. Saya juga sampai sekarang tidak lupa masa kecil saya. Kata orang itu trauma. Dan saya minta maaf kalo sudah bikin kalian bertiga trauma. Saya juga berusaha jadi Bapak yang baik untuk kalian.
INDRA
Yang Bapak lakuin tuh cuman mukul sama nge hakimin orang.
RUSDI
Jangan bohong. Bapak beliin kamu mainan, topeng-topengan. Ajakkin kalian ke pasar malam naik kincir angin padahal saya takut tinggi. Gendong kalian bergantian di pundak saya. Gelitikin kalian. Saya pura-pura kaget pas kalian sembunyi di belakang pintu buat ngagetin saya. Saya cari uang tiap hari untuk makan kalian, pernah kalian hargai itu? Saya sudah berusaha jadi seorang Bapak yang sebisanya baik. Masalah saya sering pukul kalian, itu memang salah saya. Makanya saya minta maaf.
Arul dan Indra terdiam dan tertunduk lesu.
RUSDI (CONT'D)
Waktu kalian bayi juga saya bantu Ibu kalian bersihin tai kalian. Kalo kalian beringus, saya yang hisap pake mulut sampe tertelan sedikit.
(beat)
Ada banyak hal baik yang sebenarnya saya juga lakukan. Tapi kalian lebih pilih mengingat yang buruknya saja.
INDRA
Ya karena yang buruk itu paling gampang teringat.
Sorot mata Rusdi menjadi tak bersemangat.
RUSDI
Saya tumbuh di lingkungan yang semuanya pake kekerasan. Saya tahu itu salah. Saya berusaha untuk tidak seperti Bapak saya. Susah ternyata. Saya gagal. Tapi saya lumayan bangga karena pernah tertawa sama anak-anak saya.
(beat)
Sudah banyak kali kalian bilang terima kasih sama Ibu kalian karena sudah merawat kalian. Terima kasih untuk Bapak, gak ada?
(beat)
Jadi seorang Bapak itu juga susah. Kita laki-laki, diminta kuat dan hebat. Kalo sudah jadi Bapak, kuat dan hebatnya harus berkali-kali lipat. Makanya banyak orang yang gagal jadi Bapak.
Rusdi lurus menatap ke pemandangan pantai yang ada di depanya.
Kita melihat belakang mereka.
RUSDI (CONT'D)
Indra... Arul... suatu saat nanti kalian juga akan jadi seorang Bapak. Jangan pandang remeh. Terserah kalian mau dikenal sebagai Bapak yang seperti apa. Asal jangan yang kayak saya. Jangan sampe gagal juga.
Mereka semua terdiam dalam waktu yang lumayan lama. Hanya terdengar suara burung dan ombak di pantai.
RUSDI (CONT'D)
Saya mau mandi.
Keheningan pecah seketika. Indra dan Arul menoleh bersamaan ke Rusdi.
RUSDI (CONT'D)
Di depan sana.
Rusdi beranjak dari kursi. Indra dan Arul saling melempar tatapan bingung.
79. EXT. PANTAI — DAY
Rusdi berjalan lurus ke arah laut lepas. Dia senang sekali. Tertawa melihat ombak terus melewatinya. Di belakangnya, di bibir pantai berdiri Indra dan Arul. Indra berusaha mengejar Rusdi.
INDRA
Pak jangan jauh-jauh Pak. Kebawa arus nanti!
ARUL
Bapak lagi sakit Pak!
RUSDI
Saya sakitnya cuman malam. Lagian juga ini yang terakhir.
Indra makin dekat dengan Rusdi.
Arul memperhatikan Indra yang berusaha menarik Rusdi kembali ke bibir pantai. Arul mengeluarkan telepon genggamnya, merekam momen ini.
Dalam rekaman, kita melihat Rusdi yang terus menyirami wajah Indra dengan air. Mereka berdua basah kuyup. Arul tertawa lepas.
Arul berhenti merekam, mengirim rekaman itu ke Desi.
Arul bergabung untuk bermain air di bibir pantai bersama Rusdi. Arul dan Rusdi saling menyirami air, sementara Indra hanya berdiri di sana, enggan bergabung.
CUT TO :