Seperti Rasi Bintang
1. Act 1 - Tawaran Pak Budi

0. EXT. HUTAN — SIANG

Kita melihat kupu-kupu terbang melalui hutan dan sampai ke rumah dengan desain jadul tapi punya halaman yang luas dan rindang. Rumah yang sangat terasa aura keluarganya. Kupu-kupu itu kemudian masuk ke rumah dan sebuah tangan mencoba menjangkaunya.

1. INT. RUANG KELUARGA — SIANG

Amelia (6) yang buta menjulurkan tangannya ke langit karena merasa ada yang terbang disekitarnya. 

AMELIA

Ada yang berputar-putar...

Ayudia (16) mengernyit, dia fokus tak berkedip mengikat rambut Amel yang pendek jadi ekor kuda.

AYUDIA

Amel, jangan gerak-gerak!

Zoom out mereka berdua, dan terlihat seluruh ruangan. Selain mereka berdua, ada tiga anak lainnya yang semua sedang fokus dengan hobinya sendiri. Rangga (14) belajar matematika, Aditya (11) memainkan permen dan Siska (10) menanam toge dengan tisu. Lalu terdengar suara lari mendekat yang menarik perhatian semuanya, semuanya menatap pintu. Anak keenam, Radi (13), muncul dengan penuh keringat dan terengah-engah. 

RADI

Woi, kayaknya bakal ada yang datang ke sini!


CUT TO:

2. INT. CAFE KAMPUS — SORE

Sebelah tangan Joana (26) memegang undangan pernikahannya dan menatapnya penuh cinta. Kita melihat Joana yang berpakaian tomboy mengenakan celana jeans, kemeja dan rambut diikat ekor kuda. Kita melihat suasana cafe yang sepi ditemani alunan musik dan kopi hangat, serta hujan yang dapat dilihat dari dalam cafe karena kaca transparan. Sementara tangan sebelahnya Joana menggenggam tangan Johan yang memperhatikannya. Johan senang Joana sangat suka undangan pernikahan mereka.

JOHAN

Sesuka itu ya? Nanti undangannya bisa bolong lho kalau dilihatin terus.

JOANA

(mencium undangan)

Abis cantik banget!

JOHAN

Undangannya udah tinggal punya Pak Budi ajakan?

JOANA

(mengangguk)

Iya, nih. Mungkin ngajarnya bentar lagi selesai. Gak sabar pengen cepat kasih deh, hehe.

JOHAN

(nyengir dan minum kopi)

Kamu tadi udah jadi kasih surat pengunduran diri, ‘kan?

Joana mengangguk lagi, dia kelihatan sedih walau masih melihat undangan. Johan sudah menduganya.

JOANA

Jadi, dong. Tapi aku sedih banget tau harus pisah sama anak-anak. Kamu tadi harusnya lihat pas perpisahan, mereka sampai nangis. Murid-muridkuu!

JOHAN

(mengelus rambut Joana)

Kamu memang sayang banget ya sama anak-anak.

JOANA

(kekeh sambil mengedip sebelah mata)

Apalagi sama anak nanti!

Keduanya ketawa. Lalu Joana melepat kedua tangannya di meja dan mencondongkan badannya.

JOANA

Oh ya, kamu sendiri? Visa, segala macam udah selesai? Semua persiapannya?

Johan kembali menyeruput kopi sambil mengangguk, lalu meletakkannya.

JOHAN

Yap, udah tinggal berangkat aja. Bahkan rumah kita di Belanda udah dibayar sama Papa dan bisa langsung ditinggali. Jadi sampai hari pernikahan kita nanti, aku bisa fokus kerja bantu perusahaan Papa deh, sebelum sampai tiga tahun ke depan sibuk belajar lagi (menghela nafas).

JOANA

(ekspresi gemas)

Duh, calon suamiku si sarjana S3! Semangat, dong. Gelar Doktor di depan mata, Jo!

JOHAN

(tersipu)

Udah, ah! Pak Budi pasti sekarang udah kelar ngajarnya. Ayo, cepat kita antar undangannya biar sempat nonton film actionnya! Katanya film ini bagus banget makanya sampai bisa booming.

JOANA

(ketawa)

Oke-oke!

Saat keduanya baru berdiri dari kursi, tiba-tiba ponsel Johan berdering. Dia melihat ponselnya dan menatap Joana.

JOHAN

Eh, ada telepon masuk dari Mariana, teman kantor aku. Kayaknya urusan kerja, nih.

JOANA

Yaudah, kamu jawab gih sana. Aku antar sendiri aja, biar keburu.


JOHAN

Oke deh, hati-hati di jalan ya! Jangan sampai tertarik sama pria di jalan lho, ntar kita batal nikah lagi! Soalnya biasa mendekati pernikahan itu banyak cobaannya.

JOANA

Ya, kali! Gak bakal ngaruh ahh sama kita, yang udah melewati gunung dan lembah selama menjalani pacaran sembilan tahun ini.

Keduanya terkekeh lagi sambil menjauh dan melambaikan tangan.


CUT TO:

INT. RUANG DOSEN — SORE

Ponsel Pak Budi (50) bergetar, kita melihat dia sedang mengecek dokumen-dokumen sambil bersiul santai. Pak Budi memiringkan kepalanya dan dia langsung mengangkatnya setelah melihat siapa yang menelepon dan menjepitnya diantara bahu dan telinga, agar tangannya masih bisa lanjut mengecek dokumen-dokumen itu.

PAK BUDI

(sumringah)

Halo, Pairman! Tumbenan sampean telepon. Mau ajak main catur lagi?

PAK BUDI (CONT'D)

Oh, nggak. Yahh, kecewa saya. Sampean masih sibuk garap dokumenter yang kemarin itu ya?

Pak Budi serius mendengarkan jawaban Pairman, lalu tiba-tiba mendongak dan memundurkan kepalanya, mengernyit.

PAK BUDI (CONT'D)

Mau minta bantuan? Hmmm (mengangguk dan berpikir), carikan seorang yang pandai menari yang saya kenal ya... wah kalau mahasiswa sepertinya tak adalah.

Pintu terbuka sedikit dan kepala Joana nyempil ke dalam sambil tangannya masih mengetuk. Matanya dan Pak Budi pun bertatapan. Pak Budi segera tersenyum cerah dan tangannya melambai, mengode untuk masuk.

PAK BUDI (CONT'D)

Nanti kalau ada, saya kabari. Sudah dulu ya, Pairman. Salah satu murid kesayangan saya sudah datang dan mau antar undangan nikahannya ini.

Pak Budi meletakkan teleponnya, Joana menarik kursi dan duduk.

JOANA

Pak Budi! Bapak ngomong gitu, saya jadi malu lho. (pura-pura jengkel lalu tertawa)

PAK BUDI

(ketawa kecil)

Loh, ‘kan memang benar? Coba bawa sini undangan pernikahan Nak Ana yang berharga itu!

JOANA

(menyodorkannya)

Ini, Pak!

Pak Budi memutar-mutar undangan, dia melihat dengan seksama. Dia terhenti pada bagian nama kedua mempelai dan tersenyum bangga.

PAK BUDI

Akhirnya ya, kalian nikah juga. Bapak masih ingat lho zaman kalian kuliah dulu, ampun deh gak ada saingan romantis dan suportifnya. Sampai istri saya aja iri!

JOANA

Halah, Bapak bisa aja!

Keduanya tertawa.

JOANA

Oh ya, tadi gimana kelasnya? Yang bandel-bandel rajin masuk?

PAK BUDI

Ya syukurlah, diangkatan yang ini anak-anaknya yang bandel rajin masuk. Kalau diangkatan kamukan, kamu doang yang bandel rajin masuk!

JOANA

(wajah manyun)

Enak, aja! Saya dari dulu anak baik dan manis ya!

PAK BUDI

Eh, mana ada anak manis yang suka manjat pohon ditaman kampus dan paling berisik di kelas! Sekarang aja kamu agak kaleman.

JOANA

Tapi gitu-gitu saya tetap murid kesayangan Bapak ‘kan?

Keduanya kembali tertawa lagi.

PAK BUDI

(menoyor Joana)

Kamu memang ya! 

PAK BUDI (CONT'D)

Eh iya, teringatnya si Johan habis nikah langsung lanjut S3 ke Belanda ‘kan? Berarti kamu juga ikut ke Belanda ya?

JOANA

(mengangguk)

Iya, Pak! Oh ya (Joana melipat tangan di meja dan condongkan badan), sekalian aja saya nanya deh. Gimana ya caranya supaya bisa keterima jadi guru di Belanda? Kira-kira saya bisa gak ya?

PAK BUDI

Hmmm kayaknya bisa kalau kerja di sekolah internasional, apalagi Inggris kamukan bagus dan kamu juga punya pengalaman sebagai guru. Tapi kayaknya agak susah tembusnya karena kamu orang asing. 

JOANA

(menyipitkan mata)

Harapannya kecil ya?

PAK BUDI

Tapi saya yakin kalau berusaha kamu pasti dapat kok. Perbanyak pengalaman aja supaya pilihan kerjanya banyak. Oh ya! (matanya menunjuk ponselnya) Saya jadi ingat tawaran teman saya yang nelpon tadi.

JOANA

(mengangkat sebelah alis)

Apa itu, Pak?

PAK BUDI

Jadi begini, Nak, teman Bapak si Pairman itu lagi garap dokumenter berjudul "Colorful Indonesia". Nah nanti ada sebuah adegan dalam dokumenter itu, anak-anak dengan berbagai kondisi, fisik dan kemampuan, menari bersama. Dia butuh seseorang yang pandai menari untuk melatih anak-anak itu menghafal keografi yang sudah dipersiapkan dan siap tampil dalam waktu sebulan.

JOANA

Sebulan?

PAK BUDI

Iya, karena sudah mau dekat deadline katanya.

Joana mengangguk paham.

PAK BUDI (CONT'D)

Bapak pikir kamu cocok dengan pekerjaan ini, karena kamu mudah dekat dengan anak-anak. Sebagai guru, kamu juga terlatih mengajarkan? Apalagi semasa kuliah kamu langganan tampil ngedance di acara-acara kampus. Dan... (terdiam sejenak, lalu bicaranya pelan tapi penuh tekanan) ini mimpi kamu dulu,'kan? Pas mau jadi Guru SLB.

Kamera menyorot hujan diluar yang terdengar semakin deras, membuat tanaman daun Pak Budi dijendela tertiup dan basah. Joana termangu dan Pak Budi memangku wajah, menunggu jawaban Joana yang diam karena berpikir. kita melihat mereka yang bertatapan dari samping. Joana berkedip cepat dan merapatkan kursi ke meja.

JOANA

Memang betul sih... Tapi Pak, sekeras apa pun saya berpikir, saya rasa hal kayak gini lebih baik deh dikerjakan sama anak jurusan seni tari yang jelas lebih ahli menari daripada saya. (nadanya terdengar rendah diri)

Pak Budi seperti kaget mendengar jawaban Joana, dia mengaduk lalu menyesap kopinya. Kemudian dilap sisa kopi dibibir dengan punggung tangan.

PAK BUDI

Memang sebaiknya begitu sih, tapi karena ini bulan Desember banyak yang nggak mau. Kalau kata Pairman, alasannya semuanya mau pulang kampung! (nadanya bercanda) Apalagi tempat anak-anak yang akan dilatih ini tinggal, lumayan jauh ke pedalaman. Pada gak yakinlah, bisa bikin anak-anak itu hafal dalam sebulan mengingat kondisi mereka.

JOANA

(penasaran)

Emangnya kondisi anak-anak itu kayak gimana sih, Pak?

PAK BUDI

(ragu-ragu dan menggaruk tekuknya)

Ada... yang buta, pincang sampai alzheimer anak, katanya...

JOANA

(kaget dan memukul meja)

Alzheimer anak!? Kalau gitu bukannya harusnya yang ngajar psikolog anak aja?

PAK BUDI

(mengangkat bahu)

Tapi gak ada yang bersedia juga kayaknya.

JOANA (V.0.)

Kalau sampai kayak gitu, bukannya butuh waktu lama...

Pak Budi seperti bisa membaca isi hati Joana.

PAK BUDI

Emang kelihatannya mustahil, tapi nggak ada salahnya dicoba dulu ‘kan? Bukannya ini bisa jadi pengalaman yang luar biasa? Ini yang kamu mau dulu lho! Apalagi... (dia berbisik) bayarannya gede.

Joana kembali berpikir, dia mengigit bibir bawahnya. Dia nggak peduli sama uangnya, tapi dia setuju ini bakal jadi pengalaman luar biasa. Apalagi dia sudah dari dulu ingin mengajar anak berkebutuhan khusus.

JOANA

(melamun)

Iya, sih Pak. Saya memang tertarik.

Pak Budi tersenyum, Joana memang belum berubah sangat menyukai tantangan. Tapi matanya tanpa sengaja melihatnya undangan pernikahannya di meja Pak Budi. Joana langsung menggeleng.

JOANA

(tegas)

Tapi nggak bisa, Pak! Waktunya cuman sebulan, sementara bulan depan, tanggal 1 lagi, saya udah nikah. Saya 'kan harus siapin ini-itu sebulan ini.

PAK BUDI

(mengangguk)

Yaudah gak apa-apa, Nak. Bapak mengerti, coba dipikirkan dulu aja. Kalau kamu bisa berhasil lakukan itu, pengalamanmu bertambah dan peluang kerjamu di sana pasti makin besar.

Joana menunduk, wajahnya menyiratkan kekecewaan. Pak Budi tersenyum sambil menghela nafas.


DISSOLVE TO:


3. INT. DALAM MOBIL DI LAMPU MERAH — MALAM

Joana menyandarkan kepalanya di kaca mobil dan melamun memikirkan tawaran Pak Budi tadi. Kita mendengar bunyi berisik kendaran. Johan menolak pengemis yang mencoba melap mobilnya. Johan berbalik ke Joana seperti mau berbicara tentang pengemis tadi dengan wajah ceria tapi tak jadi karena melihat Joana yang melamun. Johan mengelus pundak Joana untuk menyadarkannya.

JOHAN

Tumbenan nggak cerewet? Biasanya kalau lagi diam gini, lagi ada pikiran pasti. Mikirin apa sih?

JOANA

Hm? (Joana membetulkan duduknya) Cuman... obrolan sama Pak Budi tadi.

JOHAN

Oh, ya? Ngobrolin apa tuh?

JOANA

(tiba-tiba jadi penuh antusias)

Kamu tau ‘kan aku dari dulu mau bangett ikut program sukarelawan pendidikan anak berkebutuhan khusus tapi nggak pernah jadi karena sibuk kerja?  

JOHAN

Hu-um? Terus? Apa hubungannya sama obrolan dengan Pak Budi?

JOANA

Nah, jadi tadi Pak Budi nawarin aku hal yang mirip dengan itu. Temannya butuh orang yang bisa nari untuk ngajar anak-anak dengan berbagai kondisi, menari. Supaya mereka bisa tampil untuk direkam!

Johan langsung kelihatan terkejut dan matanya melotot selama beberapa saat. Hal itu membuat senyum cerah di wajah Joana perlahan surut begitu pula dengan semangatnya. Tergantikan dengan ekspresi seperti menuntut jawaban. Johan membelai wajah cantiknya.

JOHAN

Oke Jo, aku tau kamu memang selalu penuh kejutan. Tapi kegiatan mirip program sukarelawan? Sekarang? Kamu masih ingatkan kita bulan depan mau nikah?

JOANA

(frustasi)

Aku, tau Jo. Tapi, aku cuman... dari dulu kepingin lakukan kegiatan menantang kayak gitu. ngajarin anak-anak yang kondisinya berbeda. Makanya dulu aku sampai pernah cita-cita mau jadi guru SLB.

JOHAN

Itu cita-cita yang mulia. Tapikan kamu tau sekarang bukan waktu yang tepat? 

JOANA

Iya, sih. Tapi aku nggak bisa lupa tawaran itu, itu menarik banget buat aku.

Johan menghela nafas dan memijat pelipisnya. Ini gawat, pikirnya. Harus segera dicegah karena Joana kalau sudah mau pasti nekat.

JOHAN

Kamu... hanya perlu nggak pikirin, oke? Ingat, sekarang yang terpenting itu pernikahan kita. Lagipula bukan kamu pun, pasti masih ada orang yang akan ngajar anak-anak itu. Fokus aja sama pernikahan kita, ya? (memohon)

Nadanya sangat memohon, sampai Joana sadar kalau Johan sangat nggak ingin dia terima tawaran itu rupanya. Joana pun mengangguk dan terlihat murung.

Kamera menyorot lampu lalu lintas yang berubah dari merah ke hijau. Lalu kita melihat lalu lintas dan mobil Johan yang berjalan.

Johan (CONT'D, O.S.)

Tapi Pak Budi dulu juga pernah nawarin kamu, ngajar anak berkebutuhan khusus pas kamu baru lulus kuliah 'kan? Apa ya katanya dulu, "Joana setelah tamat kuliah sastra Indonesia ini, mau nggak kuliah lagi ambil Jurusan Pendidikan Luar Biasa?" (menirukan suaraPak Budi) Gitu 'kan?

Joana (O.S.)

Eh iya, ya? Tapi pas itu nggak bisa, karena aku mau langsung kerja.



Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar