Seekor Sahabat
1. Act 1

1. INT.Desa Cengklik – Kabupaten Surakarta – 2005 – Malam

Di sebuah rumah yang beratapkan jerami dengan keadaan rumah yang sangat kumuh, seorang perempuan muda berpakaian daster batik sedang menggendong bayinya yang terus menangis keras. Perempuan muda itu berusaha menenangkan bayinya sambil ikut menangis tersedu-sedu. Bayinya tidak berhenti menangis juga, perempuan muda itu mulai bingung apa yang harus dilakukan untuk menenangkan bayinya. Sambil menagis, perempuan muda itu lalu mengambil kardus besar seukuran kardus mie instant. Lalu dia mengganti pakaian bayinya dan menyelimutinya dengan sprei yang sudah lusuh. Perempuan muda itu lalu meletakkan bayinya sebentar lalu melihat sebuah buku Yasin bertuliskan nama dan terpasang foto suaminya, Sutrisno Bin Ruminto, sambil terus menangis tersedu-sedu.


IBU
Mung iki sing iso aku lakukan, mas. (Hanya ini yang bisa aku lakukan, mas)


2. EXT. Desa Cengklik – Kabupaten Surakarta – 2005 – Malam

Perempuan muda itu berjalan di kegelapan malam yang sedang berangin kencang. Dia membawa kardus itu dengan sangat hati-hati. Tangisan perempuan muda itu masih terus meluap, perempuan muda itu batinnya tersiksa, apa yang dilakukannya malam ini menurutnya adalah keputusan terakhir dan juga yang terbaik. Perempuan muda itu sesekali melihat ke dalam kardus itu sambil terus menangis, dia terus berjalan lalu mempercepat langkahnya. Perempuan muda itu memberhentikan langkahnya di depan sebuah rumah yang lebih layak dari rumahnya, walaupun bukan rumah mewah tapi hanyalah rumah kecil yang tembok luarnya masih terlihat batu bata-nya. Perempuan muda itu lalu meletakkan kardus besar yang dibawanya ke teras rumah itu lalu membuka tutup kardus atas yang ternyata berisikan bayinya itu. Perempuan muda itu membelai kepala bayinya yang didalam kardus yang dia bawa dibalut dengan sprei lusuh. Hujan tiba-tiba turun dengan deras, lalu perempuan muda itu berpesan pada bayinya.


IBU
(Sambil terisak melihat ke arah bayinya) Maafkan ibu ya, nak. Ibu bukan seorang ibu yang baik. Ibu bukan seorang ibu yang bisa melindungi anak kandungnya sendiri. Ibu bukanlah seorang ibu yang bisa menafkahi anaknya. Ibu juga bukanlah seorang ibu yang bisa membuat anaknya pintar. Ibu pamit ya, nak. Ibu berpesan, semoga anakku ini nantinya bisa menjadi anak yang pintar, anak yang hebat, anak yang kuat, dan anak yang sukses. Semoga di keluarga baru anakku ini, bisa betah dan bisa menjaga nama baik keluarga barunya. Selamat tinggal anakku.


Bayi itu menangis keras, perempuan muda itu lalu pergi menerjang hujan deras dan angin kencang. Suara petir yang keras menambah ketakutan sang bayi yang ada di dalam kardus, ketakutannya itu ditunjukkan dalam tangisan. Bayi itu sendirian dan kedinginan, sprei lusuh yang membaluti tubuhnya tidak cukup untuk menghangakan tubuh mungilnya dari dinginnya malam karena hujan.


3. INT.Rumah Sumarsih – Malam

Sumarsih (49) sedang tertidur di kamar bersama dengan anaknya, Tandiyo (14). Kamarnya memang hanya satu di rumah kecilnya itu. Sumarsih terbangun, dia merasa mendengar suara tangisan bayi. Awalnya dia ragu, karena di luar sedang hujan deras , suara petir dan air hujan menjadi satu. Sewaktu dia mendengarkan lagi, pendengarannya tidak salah, dia mendengar suara tangisan bayi. 

SUMARSIH
(membangunkan Tandiyo) Nang, tangi … Nang …

TANDIYO
(terbangun dengan malas sambil mengerenyitkan dahi, matanya masih berat untuk terbuka) Ono opo bu? Iki wes bengi banget. Aku besok kudu kerja sama sekolah pagi.

SUMARSIH
Ibu dengar ada suara bayi. Temani ibu cek suara itu dimana, Nang. Ibu takut keluar sendirian.

TANDIYO
Hah? Suara bayi? Awas jangan-jangan setan itu bu. (Tandiyo seketika wajahnya sedikit takut)

SUMARSIH
Hus!!! Kamu itu ya. Percoyo wae karo setan. Ayo kancani ibu sedilit.


Sumarsih dan Tandiyo lalu beranjak dari kamarnya lalu menuju ke arah pintu masuk rumahnya. Kemudian Sumarsih keluar dari rumahnya dan melihat ada kardus besar. Sumarsih lalu bergegas membuka kardus besar itu dan terkejut ada bayi di dalamnya. Sumarsih lalu menyuruh Tandiyo untuk mengambil selimut di lemari kamarnya untuk dipersiapkan di kasur mereka supaya bayi di dalam kardus itu tidak kedinginan. Sumarsih lalu membaringkan bayi itu di kasurnya dan menenangkan bayi yang terus menangis itu. 


SUMARSIH
(sedikit panik) Nang, cepat rebuskan air panas, terus masukkan ke termos. Kasihan ini bayine kedinginan.

TANDIYO
Nggih, Bu. (Lalu Tandiyo bergegas ke dapur untuk menyalakan kompor minyak dan merebus air panas)


Sumarsih terus menenangkan bayi itu sambil menyanyikan lagu-lagu nina bobo. Tandiyo pun datang membawa termos berisikan air panas, lalu Sumarsih menaruh termos itu dibalik kasurnya untuk menambah suhu kasur supaya bayi itu merasa hangat.


(Voice Over)

Itu adalah awal dari ceritaku. Sebenarnya, bukan itu yang akan aku ceritakan. Aku akan menceritakan sebuah cerita tentang persahabatan. Bukan persahabatan antar manusia, bukan juga persahabatan antar manusia dengan makhluk halus. Tapi persahabatan antara aku dan sahabatku yang hanya seekor anjing. Dia adalah sahabat sejatiku ketika aku masih berumur 4 tahun. Namaku Minto dan inilah kisahku.


(fade out)

(Insert title)


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar