Tanpa ragu, dia menggulung majalah yang tengah dibacanya, lalu beranjak dari duduknya dan mendekati saya dengan segera. “Saya lebih senang kalau bisa sejajar dengan lawan bicara saya,” katanya sedikit berseloroh.
Dia menjawab pertanyaan saya tanpa penuh curiga, mengalir, dengan bahasa lisan yang indah tanpa dibuat-buat. Pertanyaannya saya cuma satu, yang kira-kira bunyinya seperti ini : mengapa kaum preman menciptakan bahasanya sendiri, dan kita yang bukan preman ikut-ikutan menggunakannya, bahkan terus mengembangkannya sampai sekarang.
Dalam bahasa yang saya sarikan, dia mengatakan bahwa bahasa (apa pun itu) serupa kembang gula, seperti lollypop yang warna-warni, tapi bukan racun, bisa dimakan, dinamis, dan manis rasanya. Dia bilang lagi, tak perlu ragu dengan perkembangan bahasa, kalau istilah-istilah itu bertahan, kelak akan menjadi sumber kekayaan budaya di masanya, dan itu termasuk dokumentasi sosiografis kebudayaan juga.
“Ogut juga paham, mesti ndak ikut-ikutan bispak,” katanya sambil memberikan contoh, sekaligus berseloroh.
Tak sampai sepuluh menit kami bicara saat itu. Tapi rasa manis lollypop yang dia berikan melalui jawabannya masih terasa sampai sekarang. Terlalu singkat untuk obrolan yang begitu membetahkan.
Malam terasa siang. Suasana riuh Stasiun Gambir medio Desember 2002 menandakan musim libur telah tiba. Saya yang tengah menunggu sendirian di peron tidak lagi merasa tersesat dan jenuh berdiri menunggu dua jam lagi kereta saya baru tiba. Meski sebentar, orang yang sedang ada di hadapan saya seperti meninggakan banyak bekas di kepala saya. Orang yang saya kagumi lewat serial buku antropologinya tentang kajian ilmiah kebudayaan Trunyan, Bali yang ditulis dengan bahasa renyah-lincah-gapah-gurih itu.
Dia adalah Profesor James Danandjaja, yang entah saat itu dia beserta rombongan mau pergi ke mana. Tapi ada yang diam-diam seperti bertunas di dalam kepala saya. Tokoh Ogut jolibor begitu aja di peron kereta Stasiun Gambir. Masih merah memang, tapi dia terus nangis dan minta dimomong.
*
Sejak peristiwa itu, saya meng-highlight apa yang disebut lollypop oleh sang profesor. Riset kecil-kecilan saya jajaki, tapi saya belum tahu akan dibuat jadi apa dengan bahasa preman yang bikin lungkop itu. Tak terasa, pekerjaan sambilan berkelana menyusuri perpustakaan dan pusat arsip sejumlah media sudah mencapai tiga tahun. Saya mendapatkan arsip berita dari sejumlah media yang terbit tahun 1975-1989, sejumlah jurnal ilmiah, dan juga buku-buku yang menyentuh tema kebahasaan di zaman Orde Baru, yang salah satunya novel Ali Topan Wartawan Jalanan (Tegih Esha, 1978).
Di halaman terakhir novel itu, Teguh Esha memuat bab tambahan berupa “Kamus Preman Ali Topan”, dengan bubuhan kalimat : “Istilah di kalangan kaum peman, maling, copet, tukang jambret, garong, rampok, tukang todong, pembuhun, dan narapidana yang terhormat itu” (halaman 327- 329).
Selepas jenuh di perpustakaan, saya mencari siapa-siapa saja secara langsung, seperti yang ditulis oleh Teguh Esha itu. Dari mereka semua saya mendapatkan banyak sekali ragam dan varian istilah kata yang kemudian bisa tarik kesimpulan yang meski masih bisa dianggap sumir, bahwa bahasa prokem sangat dinamis, beragam, dan mempunyai tiga periode / generasi sejak tahun 1973 sampai 1992. Tak kurang dari 80an orang yang dimaksud Teguh Esha saya ajak bicara, dan ngobrol-ngobrol tentang bahasa prokem.
Satu yang hampir sama dari kesemua orang yang saya ajak wawancara itu adalah balik bertanya kepada saya di awal obrolan. “Lu nokem, kan?”
Nokem adalah orang-orang yang dianggap oleh di luar kaum preman. Dari mereka saya juga mendapatkan istilah itu sebagai orang di luar kelompok mereka, di luar group di mana mereka pernah berkiprah. Jika mereka adalah pro-kem, maka di luar group itu adalah no-kem. Yang artinya, bisa juga diartikan sebagai peselingkuh, bahkan pengkhianat. Ah!
Terimakasih atas inspirasi yang ditulis Teguh Esha dalam novel lanjutan Ali Topan itu.
Arsip-arsip dan hasil wawancara yang saya dapati betahun-tahun terimbun begitu saja, baru di tahun 2017, di saat penyembuhan sakit ginjal dan tak ada kegiatan, saya menuliskan kisah si Ogut yang sempat tertidur pulas di kepala saya. Saya beri judul “Lollypop : Sketsa-sketsa Centokul Ogut dan Doi”. Saya tulis dalam bentuk sketsa cerita, cerita pendek, dan cerita mini, yang saya terbitkan secara berkala di blog pribadi saya (2017-2020). Setelah merasa merasa puas, dengan pembaca yang lumayan jumlahnya, saya take down, lalu sesudahnya saya tutup blog itu dengan alasan pribadi.
“Lollypop” saya renovasi bangunan dan bentuk ceritanya. Kisah si Ogut dan si Doi yang semula berupa 218 cerita sketsa / cerita mini itu akan saya jadi cerita yang kokoh dalam bentuk dan isinya. Setidaknya bisa lebih memuaskan diri saya pribadi sebagai penulisnya.
Draf naskah film Sakura Barcelona ini adalah jelmaan dari sebagian kecil “Lollypop” yang penokohan, konflik, setting, jalan cerita, dan tema ceritanya masih sama. Masih itu itu saja.
Daf naskah yang masih acak-acakan ini sangat berterimakasih pada Profesor James Danandjaja yang sudah menyuntikkan energi yang begitu besar sehingga embrio si Ogut brojol begitu saja di kepala saya, dan semakin membesar sampai sekarang. Kepadanyalah saya bingkiskan manuskrip ini.
Terima kasih juga saya haturkan pada Fariz RM beserta Thom dan Caca (Fariz RM Official Management) yang telah memberikan izin pada saya untuk menuliskan cerita ini. Juga kepada Santi Alaysius, Dhaka Fofana, Johanes Kunto, Triono B. Hermawan, Alfin Novian, dan Kodrat Setiawan yang membantu lahir dan batin saat saya menulis draf ini.
· Jolibor (Prokem) : Brojol, lahir
· Bispak (Prokem) : Bisa, bisa menggunakan
· Centokul (Prokem) : Cinta
· Lungkop (Prokem): Rasa ngilu. Nyeri. (konotasi positif)