Beberapa jam setelah menikmati sunset di tepi pantai, Senja, Davina, Fajar, dan Gilang berjalan bersama menuju hotel. Kini, sudah tidak ada lagi jarak di antara Senja dan Fajar, walaupun masih ada dinding tebal di antara mereka yang tidak bisa mereka tembus.
"Kalau di pikir-pikir, kita di pantai lama juga, ya? Pasti yang lain udah pada nunggu," ujap Davina.
"Iya, habis ini makan malam, kan? Lapar banget gue rasanya." Gilang membalas dengan cengiran khasnya. Membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa sedikit kesal.
"Makan terus, lo."
"Biarin, yang penting kenyang!"
Senja tertawa lirih, gadis itu berjalan di samping Fajar yang sedang membawa kamera di tangan kanannya. "Boleh lihat hasil foto yang tadi?"
Fajar mengangguk, "Ini. Tapi, lihatnya di kamar aja, ya. Kalau jalan harus fokus." Fajar memberikan kameranya kepada Senja.
"Siap, Bos!"
Tak lama, mereka sampai di hotel. Ternyata kondisi di hotel sudah ramai oleh siswa-siswi SMA Humeera yang berlalu-lalang sambil bercengkrama bersama teman atau bahkan pacar. "Mandi dulu kali, ya?" tanya Davina. Gadis itu sudah merasa gerah dengan badannya yang lengket.
"Ayo. Udah bau juga ini," kata Senja.
"Ya udah kalian mandi dulu, nanti makannya baren, ya," ujar Fajar.
"Iya. Gue bawa dulu, ya, kameranya."
Fajar mengangguk. Senja dan Davina melangkah masuk ke dalam lift yang akan mengantar mereka menuju kamar. Sesekali Davina bergurau dengan Senja. Rupanya, mood kedua gadis itu sedang bagus.
...
Davina keluar dari kamar mandi dengan keadaan handuk yang melilit kepalanya. Ia baru saja keramas.
"Heh! Ngapain lo?" tanya Davina ketika melihat Steffi membawa kamera milik Fajar.
Steffi menoleh kaget, "A-anu, gue lagi lihat-lihat foto yang tadi."
Davina merebut kamera yang ada di tangan Steffi. Ia melihat foto-fotonya dan tersadar ada beberapa foto yang hilang. Tepatnya foto Senja bersama Fajar. "Lo hapus?"
"Enggak, kok! Fitnah banget lo."
"Terus Senja sama Vega ke mana?"
Steffi menunjuk pintu dengan dagunya, "Beli air."
Davina memincingkan mata ke arah Steffi, "Ya udah, sana lo mandi."
"Iyaaaaaaa!" Steffi membalas panjang, ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu dengan keras.
Davina mendengus kasar. Ia kemudian memilih mengeringkan rambut. Beberapa saat kemudian, Senja dan Vega memasuki kamar. "Kenapa lo? Kok mukanya kayak kesel?" tanya Senja.
Davina memberikan kamera Fajar kepada Senja, "Tadi, si Steffi mau hapus foto-foto lo. Udah ada yang di hapus, sih."
"Terus? Foto gue sama Fajar?"
"Iya. Tapi, masih ada beberapa."
Senja bernapas lega, "Rambut lo udah kering? Fajar sama Gilang udah nunggu di bawah."
"Bentar. Ini masih basah."
"Steffi masih mandi?" tanya Vega.
Davina mengangguk.
"Steff! Buruan!" Vega menggedor pelan pintu kamar mandi.
"Iyaaaa! Tungguin gueee!"
Mereka bertiga akhirnya menunggu Steffi dengan berbincang-bincang singkat tentang hari itu,
"Kalian berdua tadi ke mana aja, sih?" tanya Vega.
Senja tertawa, "Enggak ke mana-mana. Cuma di sekitar pantai juga, kok. Tapi, agak jauh sama gazebo kalian."
"Pertemanan kalian sama Fajar dan Gilang seru banget, ya? Kayak kompak gitu, loh."
"Idihh! Enggak banget. Yang kompak paling cuma Senja sama Fajar. Gue sama Gilang, mah, tawuran terus!"
Senja tertawa, "Lagian lo kenapa enggak akur sama Gilang, sih?"
Davina mengangkat bahu, "Gue bawaannya pengin marah kalau ketemu dia."
"Jodoh," ujar Vega.
"Banyak banget yang bilang gue sama dia jodoh. Kalau di denger malaikat gimana woi?"
"Lah, emang kenapa?"
Davina menghela napas, "Udah, yuk, makan. Tuh, Steffi udah selesai."
Steffi keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi. "Ayo."
Mereka keluar kamar dan Vega mengunci pintu kamar. Senja dan Davina berjalan lebih dulu.
"Kita makan bareng Fajar, kan?" tanya Steffi.
"Iya."
Steffi terlihat senang mendengar jawaban dari Davina. Gadis itu kemudian berjalan ke arah lift lebih dulu. "Ayo! Cepat!"
Davina mendengus pelan.
Mereka kemudian menaiki lift dan turun di lantai satu. Terlihat sangat ramai. Senja yang melihat Fajar melambai kepadanya segera mengajak teman-temannya untuk menghampiri.
"Fajaaaar!" Steffi berteriak kecil, ia langsung duduk di sebelah Fajar. "Halo."
Fajar tersenyum, melihat Senja yang tertawa terkekeh membuatnya lega. Gadis itu kemudian duduk di hadapannya. "Kamera lo masih gue bawa, ya. Tadi, enggak sempat gue lihat."
"Iya."
Senja, Davina, dan Vega tidak menceritakan bagian Steffi yang menghapus beberapa foto. Mereka juga menjaga hal-hal buruk yang dilakukan temannya.
"Besok kita balik, ya. Rasanya betah banget gue di Bali," kata Gilang.
"Di sini aja. Davina juga betah di Bali," balas Senja iseng.
Davina membuang napas kesal, "Gue betah di Bali. Tapi, kalau sama Gilang kayanya enggak, deh."
"Lo berdua dari tadi berantem mulu, awas jodoh!" kata Abi sambil tertawa.
Lagi-lagi Davina mendengar soal jodoh, membuatnya merasa kesal. "Jodoh enggak ada yang tahu selain Tuhan."
Rian tertawa, ia juga merasakan kecocokan antara Davina dan Gilang. "Berdoa supaya mereka jodoh."
"Doain gue sama Fajar juga, dong," kata Steffi membuat Fajar menoleh ke arahnya. "He he he."
"Atas dasar apa lo minta di jodohin sama Fajar?" tanya Gilang tajam.
"Atas nama cinta."
"Emang Fajar suka sama lo?"
Fajar menyenggol lengan Gilang, bermaksud supaya ia menghentikan situasi itu.
"BAIK ANAK-ANAK, MAKANAN AKAN SEGERA DATANG." Bu Sondang berkata dengan lantang menggunakan pengeras suara.
"Yes!" Fajar terlihat senang.
"Lo enggak pernah makan enak, ya?" Steffi bertanya, membuat Gilang sedikit tersinggung.
"Iya, enggak pernah."
"Pantes, kayak orang kampung yang baru pertama kali makan di restoran."
Perkataan Steffi membuat semua yang ada di sana terkejut.
"Maksud lo apaan?" Gilang terlihat marah. "Gue emang orang kampung, orang miskin. Kenapa? Masalah buat hidup lo?"
"Iya! Andai lo enggak temenan sama Fajar, mungkin sekarang gue sama Fajar udah jadian!"
Gilang tertawa, "Bukannya lo yang dulu nolak Fajar mentah-mentah? Kenapa nyalahin gue? Kenapa tiba-tiba bahas masalah itu?"
Fajar mencoba menghentikan perdebatan itu, "Udah, Lang. Steff, diam."
Namun Steffi tidak mendengarkan Fajar. "Dari tadi lo sinis sama gue, dari tadi lo sensi sama gue. Emang salah gue deketin Fajar? Iya, emang dulu gue nolak Fajar. Tapi apa gue salah?"
Davina ikut mengangguk, "Iya, lo salah! Lo salah situasi. Sekarang beda sama dulu. Lo tahu, kan, Fajar udah suka sama orang lain? Dan lo tahu, kan, dia siapa?"
Steffi melirik Senja, "Dia, kan? Apa cantiknya, sih?"
"Steff!" Fajar mencoba tegas kepada Steffi, namun tidak bisa.
"Gue enggak ngerti sama kalian."
"Denger, Steff, kita sebagai sesama perempuan, harusnya lo tahu gimana perasaan Senja saat lo deket-deket Fajar!"
Fajar menarik Steffi ke luar dan mencoba mengajak bicara, "Lo keterlaluan, Steff!"
"Gue salah?"
"Iya! Lo enggak lihat Senja gimana?"
"Gue enggak peduli!"
Fajar menghela napas, "Gue enggak paham sama jalan pikir lo. Terlalu sempit."
"Lo sekarang jahat banget, ya?"
"Gue enggak akan jahat sama lo, kalau lo enggak melukai perasaan teman-teman gue. Lo tahu sendiri, sebenci apa Gilang sama lo. Dan sekarang? Lo bikin dia makin benci!"
Steffi terdiam, ia kemudian memilih pergi dari hadapan Fajar. Gadis itu berlari keluar dari area hotel. Melihat itu Fajar mengejarnya. Tetap saja, Steffi adalah gadis yang dulu pernah memikat hatinya.
"Steffi!"
BRAAAAKKKK!!!!
...