Suasana Bali terlihat jauh berbeda dengan Bandung. Bali begitu menarik dengan adatnya yang sangat beragam, berbagai hal yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Selain budayanya yang sangat beragam, Bali juga di kenal sebagai pulau yang sangat cantik dengan tempat-tempat yang eksotis.
Rombongan SMA Humeera telah sampai di Bali beberapa jam lalu. Perjalanan yang hampir seharian penuh membuat siswa-siswi dan juga guru-guru langsung memilih istirahat setelah makan malam. Mereka akan menjelajah Bali keesokan harinya.
"Adat Bali di sini keren-keren, ya." Davina melihat keindahan malam kota Bali dari jendela kamarnya yang langsung menghadap pantai.
Senja mengangguk. Ia sangat setuju dengan pernyataan Davina. Dari awal mereka sampai, mereka sudah di suguhi tarian-tarian Bali yang sangat mengagumkan. "By the way, ini kita sekamar cuma berdua?"
"Enggak, nanti ada Vega sama Steffi, kan mereka sekelompok sama kita."
Suara pintu terbuka membuat fokus Davina teralihkan, ia melihat Steffi yang terlihat kesusahan membawa koper besar di tangan kirinya. Padahal mereka di Bali hanya beberapa hari saja. Vega menyusul di belakang Steffi dengan tas ransel besar yang setia menempel di punggungnya.
"Lo ribet banget tau, Stef!" Vega terlihat menahan kesal dan capek karena Steffi terlalu lama berjalan.
"Hehe, maaf, Ve."
Senja membantu Steffi untuk membawa kopernya masuk ke dalam, kasihan gadis itu terlihat tidak kuat untuk menyeret kopernya. "Bawa apa, sih, lo? Berat banget."
"Gue bawa banyak barang."
Davina mencibir, "Penting banget?"
"Iya, lah. Coba aja lo buka tuh koper."
"Enggak, deh."
Karena, kasurnya hanya ada dua dan mereka harus berbagi, akhirnya Senja dan Davina memutuskan untuk memilih ranjang yang dekat dengan jendela. Untungnya, Steffi menyetujui.
"Gue mandi duluan, ya," ucap Vega, membuat ketiga temannya mengangguk.
"Eh, gue mau tanya dong sama lo." Steffi berjalan ke arah Senja yang sedang duduk di kasur bersama Davina. "Lo, kan, orang spesialnya Fajar?"
"Urusannya sama lo apa?" Bukan Senja yang bertanya, melainkan Davina.
"Gue, kan, cuma tanya. Kenapa jadi lo yang sensi, sih?"
Senja bingung bagaimana harus melerai keduanya, akhirnya ia menjawab pertanyaan Steffi. "Kalau pun bukan gue, emang kenapa, Steff?"
"Ya, enggak apa-apa." Steffi melepas ikatan rambutnya, membuat rambut indahnya tergerai sangat indah. "Gue, kan, enggak sekolah kurang lebih tiga bulan. Sebelumnya, gue yakin Fajar masih suka sama gue, kok pas gue balik, dia udah suka sama orang lain, sih? Yakin dia tulus sayang sama lo?"
Davina yang mendengarnya merasa kesal dan ingin menarik rambut Steffi, "Yakin banget lo? Bukannya Fajar suka sama lo waktu SMP, ya?"
"Gini, ya, Davina. Cowok, tuh, kadang suka bohong sama perasaannya sendiri. Bahkan, cewek juga loh. Jadi, lo yakin enggak, Senja. kalau perasaan lo ke Fajar itu sebuah perasaan cinta?"
Senja hanya tertawa, "Gue emang baru kenal sama Fajar, dan yang berhak menentukan perasaan gue ya gue sendiri. Kenapa lo yang repot-repot ikut campur?"
"Ada apa, sih, ribut-ribut?" Vega keluar dari kamar mandi dengan pakaian tidurnya. "Udah, mending Steffi mandi duluan. Cepat, keburu malam."
Steffi yang kesal akhirnya memilih untuk membersihkan diri lebih dulu. Membuat Davina puas. "Jawaban lo mantap!"
Senja mengacungkan jempolnya, kemudian ia memilih membuka makanan kecilnya. "Kalian mau?"
...
"Keren banget kamarnya!" Gilang berkata dengan semangat. Laki-laki itu baru saja merebahkan dirinya setelah mandi.
"Keringin dulu badan lo, nanti kasurnya bau," kata Fajar mengingatkan.
Gilang mengangguk, ia berdiri di sisi jendela, melihat gemerlap lampu malam kota Denpasar. "Bi, sini, deh. Lo kan baru putus sama pacar lo."
Abi yang namanya di panggil oleh Gilang mendekat, "Kenapa?"
"Biasanya, kan, di sinetron-sinetron, kalau galau suka berdiri di sini, terus sambil mandang pemandangan dan di tangan kanan lo ada kopi." Gilang berkata sembari memperagakan posisi yang ia maksud.
"Idih, gue habis putus ya cari baru, lah. Ngapain galau-galau?"
Rian yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut bersuara, "Lo, mah, cewek di buat main-main."
"Jangan munafik, lo juga suka, kan, ganti-ganti gebetan?"
"Tapi, kan, gue enggak salah ngasih sinyal. Gue enggak sampai baperin anak orang."
Gilang berdiri di depan kamar mandi, "Lihat, tuh. Abang Fajar yang paling setia. Kalian harus contoh dia!"
"Iya, yang setia tapi sekalinya sayang dapat yang beda agama."
Rian menyikut Abi supaya tidak memancing masalah.
"Iri bilang, lur!" Fajar tidak mau membawa serius percakapan ini. Ia mencoba membiasakan diri bila ada teman-temannya yang meledek.
"Sakit banget?" tanya Rian lirih.
"Nada lo kayak mau ngegoda gue!"
Abi terkekeh, "Najis emang si Rian."
"Gue tanya serius, nih. Sakit emang, Jar?"
Fajar mengangguk, "Sakit. Pake banget."
"Denger-denger Steffi satu kamar sama Senja?"
Fajar mengangguk, "Iya."
"Sama Davina juga?"
Fajar mengangguk lagi.
"WAH! Bisa ada perang, nih!"
Rian mengangguk setuju, "Gue suka perdebatan cewek."
"Emang kenapa perang?" tanya Abi.
Gilang mendekat, "Davina sama kayak gue. Enggak suka sama Steffi."
"Gue enggak ngerti kenapa Davina sama lo bisa benci sama Steffi. Padahal dia, kan, cantik?"
"Cantik enggak bisa menjamin segalanya. Lo belum tahu kalau lo belum dekat sama Steffi," kata Fajar.
"Dia yang enggak sekolah tiga bulan, kan, ya?" tanya Rian.
"Iya. Yang dapat tugas buat ngerawat adiknya. Gue sebenarnya salut, sih. Karena, dia enggak gengsi buat melakukan hal itu." Gilang berkata dengan tangan yang bersandar pada meja.
Fajar mengangguk setuju, "Iya."
"Tapi, buat gue, Senja tetap yang terbaik!"
Rian dan Abi yang belum terlalu mengenal Senja dan Steffi hanya diam. Mereka hanya mengangguk-ngangguk sambil membayangkan Davina beradu mulut dengan Steffi.
"Besok kumpul di bawah jam berapa, sih?" tanya Fajar.
"Enggak tahu. Gue sakit perut gara-gara bebek betutu yang tadi," kata Abi.
Rian tertawa, "Lo, mah, emang enggak suka bebek. Tahu gitu tadi lo kasih ke gue aja. Mubazir tadi lo buang."
"Mana tahu gue kalau lo pengin bebek punya gue."
Fajar tertawa mendengarnya. Ia bersandar pada sandaran kasur. Matanya melihat jaket yang tadi di pakai Senja untuk alas tidur.
"Ini jaket lo, kan?"
Fajar mengangguk.
"Terima kasih. Maaf kalau enggak sempat gue cuci. Tapi gue udah kasih parfum, kok."
"Iya. Enggak apa-apa."
"Besok enggak usah repot-repot kasih gue jaket. Gue enggak apa-apa."
Fajar menghela napas, "Gue enggak tega lihat kepala lo yang kayak enggak nyaman."
Senja tersenyum, "Ya udah. Makasih, ya."
Bahkan, sampai sekarang senyuman Senja masih sangat membekas di pikirannya. Rasanya sangat candu, ia ingin melihat senyuman itu terlihat di wajah cantik Senja. Membuat siapa pun yang memandangnya akan merasa nyaman.
...