Matahari berada tepat di atas kepala, membuat siapa pun yang berada di luar ruangan mengeluh panas. Berbeda dengan Senja dan Davina yang memilih menyejukkan badan di perpustakaan.
"Gue mau coba tanya ke Fajar," kata Senja.
"Tanya apa?"
Senja menutup sebuah novel karangan Fiersa Besari. "Yang kemarin kita omongin. Soal kita yang enggak pernah lihat dia."
"Lo yakin?"
Anggukan kepala Senja membuat Davina menghela napas lega.
"Kenapa emang?"
Davina mendekat ke arah Senja. Cewek itu sudah seperti seorang Ibu yang memberi suara kepada anaknya. "Masa gitu doang mau lo tanyain? Kan bisa aja dia solat di kelas?"
"Daripada kita menduga-duga, mending langsung tanya ke orangnya, kan?"
"Ya iya, sih. Terus, lo kapan mau tanya ke doi?"
Senja melihat jam tangannya, berpikir sebentar sebelum memutuskan. "Nanti aja pulang sekolah."
"Mau gue temenin?"
"Kayaknya enggak usah. Lo ada latihan juga, kan?"
Davina mengangguk, "Nanti kabarin kalau lo udah dapat jawabanya, ya."
"Iya."
Senja berdiri untuk mengembalikan novel ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebelum mengangkatnya, ia lebih dulu meletakkan novel di rak.
"Halo, Ma?"
"..."
"Innalilahi, ya Allah. Iya Ma, Senja pulang."
"Kenapa, Nja?" tanya Davina yang melihat raut wajah Senja berubah.
"Nenek gue meninggal."
Hampir saja Senja jatuh ke samping jika Davina tidak menahannya. "Ya udah, gue izin nganter lo pulang aja."
"Enggak apa-apa?"
Davina mengangguk dan membantu Senja berjalan ke kelas.
"Lo tunggu di parkiran, biar gue yang urus izin ke guru piket."
Senja mengangguk. Ia berjalan pelan ke arah kelas untuk mengambil tasnya. Beberapa teman-temannya bertanya ada apa, namun Senja hanya diam. Membuat teman-temannya khawatir.
Matahari masih tetap berada di atas kepala, Senja melangkah lemas ke arah motor Davina. Ia tidak ingin menangis, mencoba menahan air mata yang siap keluar kapan saja.
"Senja! Ayo, buruan." Davina datang dengan sedikit tergopoh, gadis itu kemudian segera memakai helm dan membelah ramainya jalanan Bandung.
Selama perjalanan, Senja hanya diam. Ia berdzikir di dalam hati. Berbeda dengan Davina yang sibuk mencari celah agar bisa sampai di rumah Senja lebih cepat. Angin yang berhembus tidak membuat nyali Davina menciut untuk mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata.
Setelah melalui jalanan yang cukup ramai, mereka sampai di depan rumah Senja. Bendera kuning sudah ada di pagar.
"Lo yang sabar, ya. Gue nanti ke sini sama Gilang dan Fajar."
Senja mengangguk. "Makasih, ya."
"Iya, gue tinggal dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Senja berjalan masuk, di dalam sudah ramai sekali. Ia menemukan Ibunya menangis di pelukan Vina, Bunda Arya.
"Ma..."
Ayunda langsung memeluk Senja, membuat Senja tak kuasa menahan tangis. Kepergian sang Nenek membuatnya mengingat kepergian Ayahnya.
"Senja sabar, ya," ucap Vina lembut.
"Iya, Tante."
Setelah tangis Senja mereda, gadis itu berdiri untuk mengganti pakaiannya. Sedari tadi ia masih mengenakan seragam putih abu-abu.
"Senja ganti baju dulu, Ma."
Ayunda hanya mengangguk. Senja melangkah ke arah kamarnya. Ia segera mengganti pakaiannya dan keluar untuk menemani Ibunya.
Beberapa saudaranya sudah ada di sana. Termasuk Arya. Laki-laki itu sepertinya baru datang karena masih mengenakan jaket.
"Senja?"
Senja tersenyum tipis ke arah Arya, kemudian ia mendekati Arya.
"Kamu enggak apa-apa?"
"Bohong kalau aku bilang enggak apa-apa."
Arya mengelus rambut Senja pelan. Laki-laki itu mengajak Senja duduk bersama sepupu-sepupunya yang lain. Senja hanya tersenyum karena kurang akrab dengan mereka.
"Nenek meninggalnya jam berapa?" tanya Senja, menatap Arya sendu.
"Kata Bunda, sih, tadi jam 12 an gitu."
Senja mengangguk mengerti. Ia menatap sayu ke arah tubuh yang sudah terbaring kaku di ruang tamu. Padahal, tadi pagi Neneknya masih terlihat sehat.
"Senja." Arya menyenggol lengan Senja pelan.
"Ha? Kenapa?"
"Itu temen-temen kamu?" Arya bertanya sambil menunjuk ke arah pintu, membuat Senja melihat ke arah pintu juga.
Di depan pintu ternyata ada beberapa teman kelas Senja, di tambah Fajar dan Gilang juga. Senja yang tadinya malas berjalan, akhirnya mau berjalan.
"Kok boleh ke sini? Bukannya masih jam pelajaran?"
Radit mengangguk, "Kita malah di suruh ke sini. Tadi rencananya mau pulang sekolah."
"Ya udah, ayo masuk."
Fajar mendekat ke arah Senja, "Belum di kubur?"
"Belum."
Mereka semua duduk bergabung dengan saudara-saudara Senja. Fajar duduk di sebelah Senja, terlihat seperti pasangan sungguhan.
"Kita yang cowok ikut nganter ke kuburan ya, Nja?" tanya Gilang.
Senja mengangguk. Ia malah senang kalau teman-temannya berkenan mengantar Arini ke tempat istirahat terakhirnya.
Beberapa menit setelahnya, teman-teman Senja berdiri untuk mengantar Arini, termasuk Arya yang dari tadi diam.
Davina dan beberapa teman lainnya memilih tetap bersama Senja. Gadis itu tiba-tiba menangis ketika jenazah Arini akan di makamkan.
"Gue belum sempat pamitan sama Nenek, Dav," ucap Senja, membuat Davina menatap iba.
"Lo harus sabar, setiap yang hidup pasti akan meninggalkan bumi."
Senja hanya mengangguk. Ia melihat Ibunya juga menangis. Tiba-tiba ingatannya tentang kematian Ardy bermunculan. Saat itu, Ibunya juga menangis, bahkan lebih parah dari ini. Senja yang masih belum terlalu mengerti juga ikutan menangis.
Senja jadi menyadari, bahwa Allah juga akan mengambil Ibunya. Bahkan dirinya sendiri. Hanya tinggal menunggu waktu.
...
Malam itu, untuk pertama kali di Bandung, Senja merasa kehilangan. Walaupun di rumahnya masih ramai, bahkan masih ada Davina, Gilang, dan Fajar, tetap saja rasanya sepi. Perempuan itu duduk di ruang tamu bersama ketiga temannya, ditambah ada Arya juga.
"Bentar, mau ke dalam dulu," ucap Senja.
Semuanya mengangguk. Sepeninggal Senja, Arya bertaya kepada teman-teman Senja.
"Ini pacarnya Senja?" Arya menunjuk Fajar.
"Belum, masih calon," kata Gilang membuat Fajar mendelik.
Arya terdiam.
"Kenapa, Mas?" tanya Fajar balik.
"Ah, enggak apa-apa, kok. Mas cuma mau bilang, jaga Senja baik-baik."
"Kalau soal itu, Mas Arya enggak perlu takut, Fajar sudah menjaga Senja dengan sepenuh hati." Davina berbicara dengan sesekali melirik Fajar.
"Bagus, deh."
Setelah perbincangan itu, Senja datang dengan kerudung yang sedikit basah.
"Habis ngapain lo?" tanya Davina.
"Cuci muka, biar enggak keliatan habis nangis."
"Besok masuk sekolah?"
Senja menatap Fajar. Ia tidak tahu apakah besok ia sekolah atau tidak. "Enggak tahu."
"Ya udah, besok lo telepon aja kalau sekolah."
Senja mengangguk.
Sepertinya, besok saudara-saudara Senja akan berkumpul, hanya sekedar mengucapkan bela sungkawa.
"Kalau gitu, kita pamit dulu."
Davina berdiri, memeluk Senja singkat.
"Makasih, ya. Lo naik sepeda sendiri?"
Davina mengangguk.
"Lang, mending lo boncengin Davina aja, deh. Udah malam banget ini."
"Eh, enggak usah, Nja. Nanti Gilang tetep ngikutin gue dari belakang, kok."
"Iya, Nja. Tenang aja, aman, kok!"
Senja mengangguk lega, "Hati-hati, ya."
Sebelum keluar dari rumah, Fajar berbisik ke telinga Senja. "Jangan sedih lagi, ya. Semangat!"
...