Suara musik terdengar keras dari ruang paduan suara. Alunan lagu Indonesia Raya mengisi seluruh ruangan. Beberapa pasang mata menatap lurus ke depan dengan tangan saling menggenggam di depan perut.
Seorang perempuan tinggi dengan balutan dress merah terlihat cukup puas dengan latihan saat itu. Tak lama, musik berhenti membuat perempuan tinggi itu berdiri. Ia berjalan ke depan.
"Baiklah, Davina sudah cukup baik. Yang lain juga."
"Boleh pulang, Kak?" Salah satu siswa yang menggunakan sepatu biru bertanya, mewakili semua orang yang ada di sana.
"Boleh, besok latihan lagi, ya. Ingat, jaga makanan sama minuman yang masuk ke mulut."
Setelahnya, ruangan itu sepi, tersisa Davina dan Senja yang baru saja datang dari kantin.
"Udah selesai lo?" tanya Senja.
Davina mengambil tasnya, "Udah. Besok lo enggak perlu nungguin gue. Kayaknya besok bakal lama."
Tim paduan suara akan tampil di acara ulang tahun sekolah minggu depan, yang akan di hadiri beberapa orang penting. Karena itulah mereka berlatih keras mulai minggu kemarin. Davina yang menjadi salah satu orang yang berpengaruh di tim paduan suara harus berlatih lebih giat lagi.
"Oke."
Sejenak, Davina meneguk airnya sampai habis. Membuat Senja yang bisa merasakan lelahnya tersenyum miris. Ia sudah beberapa kali menemani Davina berlatih, sehingga ia sudah tahu betapa lelahnya mereka.
"Langsung pulang atau gimana, nih?" tawar Senja.
"Beli boba dulu, yuk? Pengin, nih."
"Emang enggak ngaruh sama suara lo?"
Davina menggeleng. Ia langsung menarik Senja menuju vespa warna kuning miliknya, vespa favoritnya.
"Ayo."
...
"Segerrrrrrr banget," kata Davina setelah meneguk beberapa teguk es bobanya.
Senja tertawa, ia juga membeli boba yang sama dengan Davina. Namun, di tangan kirinya ada se plastik telur gulung yang sepertinya mulai jarang orang jualan.
"Gue juge beli telur gulung, ah!"
Senja menahan lengan Davina, membuat perempuan itu menoleh, "Kenapa, dah?"
"Lo enggak boleh makan yang banyak minyaknya! Nanti suara lo rusak, hahaha!"
Davina kembali duduk. "Gue juga laper."
"Itu, lo beli jasuke aja. Kan di rebus?" Senja bertanya sambil menunjuk penjual jasuke di seberang jalan.
"Iya, deh. Lo tunggu sini, ya. Nitip boba gue." Davina meninggalkan minumannya di sebelah Senja, kemudian perempuan itu berlari menyeberang jalan.
Tiba-tiba ponsel Senja bergetar, ia membukanya dan muncul notifikasi pesan dari Fajar. Ia tersenyum dan segera membacanya.
Fajar: Halo, calon pacar! Lagi di mana?
Senja tertawa membaca dua kata yang menurutnya menggelikan.
Senja: Idih. Gue lagi sama Davina.
Fajar: Belum selesai?
Senja: Udah. Ini lagi cari jajan.
Fajar: Oh, okey. Pulangnya hati-hati ya.
Senja: Siap!
Senja menutup ponselnya, tak menyadari bahwa Davina sudah ada di sebelahnya.
"Cieee! Calon pacar, ihiiir!"
Senja tersenyum malu, "Apaan, sih."
Di tangan Davina sudah ada satu cup besar jasuke, terlihat sekali bahwa perempuan itu lapar.
"Sumpah gue seneng banget lihat kalian berdua. Kayak cocok banget gitu."
"Gue juga ngeship lo sama Gilang."
Davina melotot, "Gila lo? Gue? Sama cowok gila itu? Ogah!"
"Kali aja lo nanti klepek-klepek sama Gilang. Ingat, Allah maha membolak-balikkan hati."
"Ya... iya, sih, tapi gue enggak ada rencana mau suka sama Gilang."
Senja memasukkan satu tusuk telur gulung ke dalam mulutnya, "Emang suka pake rencana?"
"Ya iya! Gini, nih, lo suka sama Fajar, terus sebelum benar-benar lo memutuskan buat suka sama Fajar, pasti lo mempertimbangkan, kan?"
"Iya, sih. Tapi kan mempertimbangkan sama merencanakan itu beda." Senja menjeda ucapannya dan meminum bobanya, kemudian melanjutkannya. "Gue, nih, suka sama Fajar itu tiba-tiba banget. Terus gue selalu mempertimbangkan kira-kira dia cocok enggak ya sama gue yang kayak gini?"
Davina mengangguk, "Iya iya, mentang-mentang sekarang udah ada partner bucin, lo jadi jago banget urusan percintaan."
"Pokoknya gue tunggu double date kita!"
"Iya. By the way, lo udah seyakin itu sama Fajar?"
Senja diam, ia tiba-tiba merasa ada yang janggal dari Fajar. "Ada satu hal yang belum gue tahu dari Fajar."
"Apa?"
"Gue belum pernah lihat dia solat. Bahkan, gue pernah pas waktu solat dzuhur, gue sengaja diam di masjid buat nungguin dia. Tapi, dia enggak nongol."
Davina membersihkan mulutnya dengan tisu, "Gue juga selama ini enggak pernah lihat dia solat. Waktu acara keagamaan juga dia enggak ada."
"Ah, sudahlah. Lebih baik berpikir positif dulu aja. Gue enggak mau buruk sangka dulu."
"Lebih baik, secepatnya lo tanyain, deh, ke Fajar. Lo butuh jawabannya supaya lo enggak ragu lagi."
Senja mengangguk.
...
Bulan memancarkan sinarnya dengan indah. Clara sedang mendengarkan lagu K-pop ketika Fajar datang ke balkon kamarnya.
"Kenapa, sih, Abang datang kalau Rara lagi dengerin lagu?"
Fajar terkekeh, "Sepi banget di bawah. Jadi, Abang ke sini."
"Telepon Bang Gilang aja. Udah lama juga enggak main ke sini."
Memang benar, Gilang sudah jarang sekali main ke rumah Fajar, kira-kira terakhir main sekitar satu bulan yang lalu.
"Ya udah, deh. Abang telepon dulu."
Clara mengangguk sambil menggerakkan kepalanya mengikuti irama musik yang ia dengar. Lagu Whistle dari Blackpink mengalun lembut di telinganya.
"Lagi jalan ke sini katanya, Ra."
Clara tersenyum lebar. Ia memang sangat dekat dengan Gilang. Bahkan, sempat Fajar mengira bahwa adiknya itu menyukai Gilang sebagai seorang laki-laki. Begitu Clara tahu pikiran konyol Fajar, gadis itu tertawa tebahak-bahak.
'Please, Bang! Rara tuh enggak suka sama Bang Gilang. Rara cuma nganggep Bang Gilang itu Abang kedua Rara. Konyol banget kamu, Bang!'
Kira-kira itu tanggapan yang Clara berikan untuk pemikiran Fajar. Laki-laki itu kemudian menertawakan dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Gilang datang dengan dua bungkus martabak telur. Kesukaan Clara.
"Lama banget enggak pernah main lagi, Bang?" tanya Clara.
"Iya, Ra. Abang lagi sibuk-sibuknya."
"Idih, sibuk apaan lo?" tanya Fajar tidak terima.
Clara tertawa, "Bang Gilang mah sibuk belajar! Emang Abang? Sibuk ngegame mulu. Sampe pusing Rara lihatnya."
"Suka-suka Abang, lah!"
Jika sudah ada Gilang dan Clara, maka Fajar akan di anak tirikan. Mereka berdua terlihat sangat akrab dan kompak untuk melawan Fajar.
"Lain kali gue bawa Senja main ke sini, biar gue enggak terbuang!"
Clara menjulurkan lidahnya, "Pasti Kak Senja gabung sama tim kita! Mana mau dia gabung sama Abang."
Gilang tertawa terbahak-bahak, kemudian ia mengajak Clara untuk melakukan high five. Clara menerimanya dan mengejek Fajar lagi.
"Sebenernya Abangmu siapa, sih?"
"Abang Rara ya Bang Fajar, tapi untuk saat ini, Abang Rara ganti Bang Gilang dulu."
Fajar menggelengkan kepalanya, "Ya udah, terserah Rara."
"Idih, ngambek."
Fajar membuka sambal yang ada di dalam kotak martabak kemudian menuangkannya ke piring kecil.
"Tugas lo udah beres, Jar?" tanya Gilang.
Fajar hanya mengangguk karena sibuk mengunyah martabak.
"Beli martabak di mana, Bang? Enak banget."
"Di depan sekolah."
"Yang di sebelah Cafe itu?" tanya Fajar.
"Iya."
Malam itu, Gilang memilih tidur di rumah Fajar. Kebetulan Raya sedang ada urusan di luar kota. Setidaknya, dengan adanya Gilang, Clara tidak merasa kesepian.
...