Lantunan lagu I Got A Boy terdengar ketika Fajar memasuki kamar Clara. Gadis itu sedang mengerjakan sesuatu di bukunya sambil bersenandung kecil.
"Ayo, stop, let me put it down another way...."
"Kalau lagi belajar, fokus, enggak usah nyanyi-nyanyi," kata Fajar memperingatkan.
Clara memelankan volume ponselnya, "Rara kalau belajar lebih suka sambil dengerin musik."
"Emang paham sama yang di pelajari?"
"Paham, Bang." Ia kembali fokus dengan pekerjaannya. "By the way, kenapa ke kamar Rara?"
"Tadinya mau ngajak nonton, tapi Rara kelihatannya sibuk."
"Enggak, kok, Bang! Ini tugas buat minggu depan."
Fajar terlihat tidak percaya, "Beneran?"
Clara mengangguk sambil membereskan buku-bukunya. "Ayo, hehe."
"Idih. Kalau diajak nonton langsung semangat. Ya udah, Abang tunggu di bawah, ya."
Kebetulan cuaca sedang bagus, malam ini Fajar ingin mengajak adiknya untuk bersenang-senang. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka menghabiskan waktu bersama.
"Ma, Fajar mau keluar sama Rara," pamit Fajar kepada Raya.
"Iya, hati-hati."
Di perjalanan, Clara banyak bercerita tentang sekolahnya. Tentang bagaimana dia menyelesaikan masalah ketika tiba-tiba teman-temannya bertengkar satu sama lain. Tentang bagaimana dia menata hati ketika teman-temannya membahas sosok ayah, sosok pahlawan bagi sebagian besar manusia.
Rasanya, Fajar menjadi sangat bersalah. Harusnya, dia bisa menjadi sosok Kakak dan Ayah sekaligus. Ia menatap Clara iba.
"Tapi, Rara selalu berhasil menenangkan hati, Bang. Rara bersyukur enggak terlalu terpukul dengan kejadian beberapa tahun lalu."
Fajar tersenyum, "Kalau Rara ada masalah, Rara cerita ke Abang, atau ke Bang Gilang juga bisa."
"Siap!"
Beberapa menit setelahnya, mereka sampai di bioskop. Clara yang sangat senang, ia meminta untuk melihat film yang horror saja.
"Rara yakin? Nanti malam enggak bisa tidur gimana?"
Clara menghela napas, "Kan, Rara udah sering nonton horror, Bang."
Akhirnya Fajar mengangguk, ia memesan dua tiket untuk film horror.
"Bang." Rara menarik baju belakang Fajar, membuat Fajar menoleh. "Itu bukannya Kak Senja, ya?"
Fajar mengikuti arah mata Clara, ia melihat Senja menghampiri seorang laki-laki. Mereka sepertinya akan mencari makan, karena mereka berjalan ke arah restoran cepat saji.
"Sama siapa itu, Bang?"
"Enggak tahu, mungkin sama saudaranya."
"Tapi, kok, yang cowok kayak deket-deket sama Kak Senja?"
Fajar mendesis, "Udah ayo nonton. Itu udah mulai filmnya."
Clara mengangguk dan masuk lebih dulu, sedangkan Fajar memastikan sekali lagi bahwa itu memanglah Senja. Senja-nya.
...
"Ih, mana bisa!"
Senja sedang berada di restoran cepat saji bersama Adam, laki-laki yang pernah dekat dengannya di sekolah nya yang lama. Tiba-tiba saja tadi sore, Adam ada di depan rumahnya, katanya, laki-laki itu mendapat alamatnya dari Ayunda. Ya, Ibu Senja.
"Kok lo bisa dapat nomer nyokap gue?" tanya Senja.
"Iya, lo masa lupa, sih, Bunda gue juga temenan sama nyokap lo."
Senja mengangguk, ia tahu soal itu. Ibunya memang sangat dekat dengan Ibu Adam. Bahkan, sudah seperti saudara.
"Lo enggak bilang dulu mau ke sini."
Adam tertawa, "Biar surprise, dong."
"Dih, sok surprise lo!"
"Gimana? Lo enggak nyesel udah pernah nolak gue dulu?"
Senja tertawa, kemudian menggeleng, "Enggak, lah. Emang lo masih jomblo?"
Tiba-tiba Adam mengeluarkan ponselnya, membuka galeri dan memberikannya kepada Senja. "Gue tunangan sama anak temennya Om gue."
Senja membelalak terkejut, "Lo? Udah tunangan? Kapan?"
"Dua minggu lalu."
"Jahat lo, enggak ngundang gue," sungut Senja kesal.
"Sorry, hehe."
"Terus rencana nikah kapan?"
Adam tertawa, "Gue enggak mau buru-buru soal itu."
"Tunangan lo namanya siapa?"
"Sheila. Dia tiga tahun lebih tua dari gue, sih."
Senja melotot tidak percaya, "Serius? Perasaan dulu lo paling enggak suka, deh, punya hubungan sama yang lebih tua."
"Ya mau gimana lagi, jodoh, kan, enggak ada yang tahu. Kemarin juga gue tiba-tiba ketemu dia di perusahaan keluarga. Insyaallah dia baik."
"Alhamdulillah kalau lo akhirnya ada obat buat lupain gue." Senja tertawa, bercanda.
"Nanti kalau gue nikah, lo harus dateng, ya."
Senja mengangguk semangat. Ia meneguk minumannya. "Salam, ya, buat calon istrinya, hahaha!"
"Eh, gue masih SMA, ya, belum mau nikah."
"Iya iya. Tapi lo itu enggak di jodohin, kan?"
Adam menggeleng, "Gue yang mau sendiri."
Senja mengangguk-ngangguk, turut senang dengan kabar bahagia itu. Sebenarnya, ia sempat merasa bersalah melihat Adam yang biasanya ceria tiba-tiba menjadi pendiam karena cintanya ia tolak. Namun, sekarang sudah ada yang mengisi kekosongan hati Adam.
"Lo balik kapan?"
"Habis ini gue langsung balik. Besok, kan, gue masih sekolah."
Sisa malam itu, mereka berdua banyak melepas rindu dan bercerita. Berbeda dengan Fajar yang tidak bisa fokus menonton film. Pandangannya kosong. Ia mengingat bagaimana senyum lebar Senja ketika menghampiri laki-laki tadi. Bahkan, senyuman itu bukan disebabkan olehnya.
...
Hari Senin menjadi hari yang sibuk bagi siswa-siswi, guru-guru, bahkan karyawan. SMA Humeera selalu sibuk setiap Senin pagi. Petugas upacara terlihat sedikit berlatih sebelum upacara benar-benar di mulai.
"Fajar!"
Fajar dan Gilang menoleh, mendapati Senja berjalan sendirian di lorong dengan tas di punggungnya. Tampaknya, gadis itu baru saja tiba.
"Kok lo enggak jemput, sih? Enggak ngabarin juga. Untung gue enggak telat."
Fajar terdiam, sedetik kemudian pergi, meinggalkan Gilang dan Senja berdua.
"Loh? Kok pergi, sih? Dia kenapa, Lang?"
Gilang mengangkat bahu, "Dari tadi pagi juga enggak ngomong sama gue. Tumben."
"Oh, oke deh, gue ke kelas dulu."
Gilang mengangguk dan setelah kepergian Senja, ia berlari menyusul Fajar.
"Lo kenapa? Berantem sama Senja?" tanya Gilang pada Fajar yang masih diam seribu bahasa. "Jar! Gue tanya sama lo, jangan ngacangin dong!"
"Enggak."
"Terus tadi lo kenapa melengos gitu aja? Enggak jawab pertanyaan Senja. Lo kenapa? Hp lo rusak?"
Fajar menggeleng, masih diam.
"Soal bokap lo?" Gilang bertanya hati-hati.
"Enggak."
Gilang menyerah, cowok itu akhirnya menarik Fajar menuju lapangan karena upacara akan di mulai. Fajar berdiri di depan Gilang.
Beberapa siswa-siswi mulai berkumpul. Sampai lapangan penuh, kemudian upacara di mulai. Ia melihat Senja berada di dua baris dari tempatnya berdiri. Senja yang sadar di perhatikan menatap mata Fajar, cowok itu lebih dulu memutuskan kontak mata. Membuat Senja bertanya-tanya dalam hati. Ada apa dengan Fajar pagi ini?
Waktu berjalan dengan lambat, perlahan, sinar matahari mulai terik. Senja di sorot langsung oleh panas dan silaunya matahari. Membuatnya tidak bisa menatap ke depan karena sinarnya cukup menyilaukan mata. Alhasil, selama upacara ia hanya menunduk.
Sampai, perlahan sinarnya tak lagi menyorotnya, ia mulai mengangkat kepala dan mendapati seorang laki-laki tinggi melindunginya dari panas matahari. Laki-laki itu berdiri di barisan sampingnya, cukup untuk melindungi dirinya dengan bahu lebarnya.
Senja tersenyum, tersentuh dengan perlindungan yang Fajar berikan untuknya. Perlakuan Fajar cukup menyita perhatian teman-teman yang lain, bahkan beberapa guru.
Rasanya, Senja mendapatkan hero baru.
...
Gilang kira, Fajar dan Senja sudah berbaikan pasca kejadian di lapangan tadi. Tapi, nyatanya dua orang itu masih tidak ingin bicara. Lebih tepatnya, Fajar yang tidak mau angkat suara. Sementara, Senja takut malah memperburuk mood Fajar.
"Lo ada masalah sama Fajar?" tanya Davina.
Senja menggeleng, "Kemarin kita habis olahraga bareng, pas mau pulang, ya enggak ada masalah. Baik-baik aja."
"Terus kenapa Fajar kayak menghindar gitu?"
"Enggak tahu. Gue juga bingung."
Senja berdiri, mencoba berbicara dengan Fajar yang duduk bersama Gilang di depan kelasnya. Gilang yang paham situasi akhirnya pergi.
"Lo kenapa?" tanya Senja.
"Menurut lo?"
Senja terkesiap, balasan ketus dari Fajar membuatnya berpikir keras. "Emang gue kenapa? Perasaan kemarin kita-kita baik aja, loh."
Fajar diam, tidak menyahuti perkataan Senja.
"Kalau lo diem, enggak mau cerita, gimana masalahnya bisa selesai?"
"Lo semalem kemana?"
Senja diam, semalam? "Gue semalem main bareng temen lama. Kenapa?"
"Oh, ya udah."
Senja tersenyum tertahan, "Lo lihat gue?"
Fajar megangguk.
"Jangan bilang lo cemburu?"
"Siapa yang enggak cemburu kalau orang kita suka keluar sama cowok lain?"
Senja tak kuasa menahan senyuman, ia akhirnya tahu alasan Fajar mogok bicara pagi ini.
"Kemarin cuma temen, kok, dia juga udah tunangan."
Fajar menatap Senja, "Beneran?"
Senja tertawa, merasa ekspresi Fajar sangat menggemaskan. "Iya."
"Ya udah, gue enggak jadi marah."
Davina dan Gilang yang dari tadi menguping akhirnya bersorak. "CIEEE!!"
"Traktiran, boskuu!"
"Belum jadian!"
"Oiya!"
Senja tersenyum, tak menyangka ia bertemu sosok seperti Fajar. Padahal selama ini, ia tidak berharap untuk dipertemukan dengan seseorang.
...