Davina tahu Senja tidak begitu saja percaya pernyataan Fajar mengenai perasaannya. Lagi pula, siapa yang percaya dengan orang yang baru saja kenal lalu besoknya langsung suka? Mungkin, jika Davina berada di posisi Senja, ia tidak akan langsung percaya, sama seperti Senja.
"Mungkin kalian butuh waktu-waktu berdua."
"Maksud lo?"
"Hm, kalian nge-date kan bisa. Atau ngerjain tugas berdua gitu." Davina melepas sepatunya sebelum naik ke masjid. Batas suci. "Solat dulu, deh."
Senja mengangguk dan duduk menunggu Davina yang sedang solat. Ia sedang mendapat tamu bulanan, itulah kenapa dia hanya duduk di kursi yang ada di depan tangga masjid. Beberapa kali ia memainkan ujung kukunya, sepertinya sudah sekitar dua minggu ia tidak memotong kuku. Membuat risi memang.
"Senja?"
Senja mendongak, mendapati Gilang yang sedang memakai sarung. Terlihat lucu. "Temen lo kemana?"
"Temen gue? Siapa?"
"Fajar."
Gilang menyipitkan mata, "Kenapa? Kangen ya lo?"
"Ih! Enggak."
"Hahaha. Lagi main basket dia, ke lapangan sana, semangatin."
Senja menggeleng, "Enggak, deh."
"Lagi nunggu Davina, ya?"
"Iya. Gue mau tanya soal Fajar, boleh?"
"Why not?"
Senja sedikit berpikir, bingung apakah ia harus bertanya atau tidak. Namun, ia memutuskan bertanya, daripada sesat di jalan.
"Kenapa?" tanya Gilang yang melihat Senja seperi bingung.
"Fajar sungguh-sungguh enggak, sih?"
"Soal?"
Senja menghela napas, "Dia bilang dia suka sama gue."
"He'em, dia suka sama lo beneran. Kalau lo masih ragu, itu wajar." Gilang duduk di samping Senja. "Gue bisa ngerasain kalau di posisi lo."
"Terus gue harus gimana?" Senja bertanya membuat Gilang berpikir.
"Mungkin, lo butuh waktu berdua."
Sama seperti jawaban Davina. "Selain itu?"
"Sebenarnya, sih, gue enggak ahli dalam hal cinta. Tapi, kalau lo tanya harus gimana, mungkin jawabannya adalah lo harus membangun rasa percaya lo buat Fajar. Dia baik, kok. Enggak pernah kasar sama perempuan. Sayang banget sama adiknya."
"Tapi gue baru kenal sama dia, kita enggak pernah chat juga. Enggak normal, ya?"
"Kalau buat manusia kayak Fajar, sih, normal-normal aja. Dia lebih suka ketemu langsung daripada chat."
Senja mengangguk, mengerti maksud Gilang.
"Gue ke lapangan dulu, ya."
"Pake sarung?"
Gilang mengangguk, "Gue enggak main basket, cuma mau manggil Fajar aja. Waktunya makan siang, hahaha."
Senja tertawa, kemudian Davina datang dari arah tempat wudhu. "Tadi gue lihat lo lagi bicara. Sama siapa?"
"Sama Gilang."
Davina memakai sepatu warna putihnya. "Ayo ke kelas."
"Iya."
"Ngomongin apa sama Gilang?"
"Soal Fajar. Gue tanya pendapat dia soal apa yang harus gue lakuin."
"Terus dia jawab apa?"
Senja menggigit bibir bagian dalamnya. "Sama kayak lo, cuma dia nambahin, katanya gue harus bangun rasa percaya gue buat Fajar."
Davina mengangguk setuju, "Bener banget."
"Hm, nanti deh gue pikir lagi."
"Iya. Eh, gue belum pernah loh lihat Fajar solat di masjid."
"Ibadah mah enggak perlu di pamer-pamerin. Siapa tau dia solatnya sebelum masjid ramai."
"Bisa jadi, sih."
Mereka sampai di kelas, kebetulan beberapa teman kelas Senja sedang dispensasi karena ada lomba pramuka tingkat nasional. Sehingga kelasnya sangat sepi. Bahkan, Haidar yang biasanya mengadakan konser dadakan di kelas menjadi diam hari ini, satu temannya sedang tidak masuk sekolah, dan satunya lagi sedang lomba. Menyedihkan.
"Lihat, tuh, Haidar sadboy banget, hahaha."
"Gue juga gitu kali kalau lo enggak masuk," kata Senja.
"Gue mah masuk terus, kecuali tanggal merah."
Senja tertawa. Membuat Fajar yang ada di depan jendela tersenyum.
...
Berangkat pagi, pulang sore. Lalu di rumah mengerjakan PR. Kehidupan pelajar memang se-melelahkan itu. Tapi, itu semua terbayar ketika seseorang sukses nanti. Setelah melepas sepatu dan mencuci kaki, Senja memasuki kamarnya dan mengambil buku hitam yang selalu di simpan di lemari pakaiannya. Namun, ia tidak berhasil menemukan buku itu.
Senja mulai mencari di laci meja belajar, tidak ada. Atas lemari, tidak ada. Di bawah kasur dan bantal, tidak ada. Ia mulai bingung, hingga matanya sedikit berair.
"Senja? Kenapa kamar kamu berantakan?" Tiba-tiba Ayunda masuk ke kamar Senja dan duduk di sebelah Senja.
"Mama habis beres-beres lemari Senja, gak?"
Ayunda mengangguk, "Kenapa?"
"Mama lihat buku hitam punya Senja?"
"Oh buku itu?"
Senja mengangguk.
"Mama buang, lagian kamu kenapa, sih, masih nyimpen foto-foto sama Papa?"
Senja berdiri, "Mama buang kemana?"
"Tadi ada tukang sampah mingguan, mungkin sekarang ada di pusat pembuangan sampah?"
Senja menangis, ia bersiap untuk menuju pembuangan sampah namun tangan Ayunda mencegahya, "Kamu kenapa, sih? Apa pentingnya buku itu? Papa udah gak ada! Enggak ada yang perlu kamu ingat dari Papa!"
"Mama yang kenapa! Itu kenangan terakhir Senja sama Papa. Senja.. Senja sayang sama Papa. Senja enggak bisa lupain Papa, Ma!"
"Mulai sekarang, lupain Papa!"
"Mama kenapa?!" Senja sedikit berteriak, ia tidak ingin mendengar jawaban dari Mamanya. Ia langsung berlari keluar dan menghentikan taksi yang kebetulan sedang lewat.
Jalanan sore kota Bandung menjadi saksi bisu bagaimana kerja keras Senja menemukan buku hitam tersebut. Bahkan, beberapa orang yang lewat memandang aneh Senja. Kenapa ada gadis berseragam SMA yang mengoyak-ngoyak sampah.
"Dimana, sih?"
Senja mulai menangis. Ia tidak berhasil menemukan buku hitam miliknya. Sampai seorang bapak-bapak datang dan menanyakan apa sedang dicari Senja.
"Bapak enggak tahu, Neng. Tapi, sampah hari ini sebagian sudah di hancurkan."
Senja semakin menangis, dengan berat hati, akhirnya ia meninggalkan area pembuangan sampah. Tiba-tiba gerimis datang membuat Senja basah. Ia tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Ia terus berjalan di trotoar, beberapa panggilan dari Ayunda dan Arya tidak dihiraukannya.
Senja berhenti di jalan yang lumayan sepi. Yang tadinya gerimis, sekarang berubah menjadi hujan deras. Beberapa kali petir terdengar di telinga Senja. Namun, Senja tidak takut. Ia tetap berjalan di bawah hujan, sendirian.
Buku itu adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki bersama sang Ayah. Ardy meninggalkan Senja ketika gadis itu duduk di bangku SMP tahun kedua. Akibat penyakit yang di derita sang Ayah, Senja harus kehilangan sosok Ayah yang sangat menyayanginya.
Senja bahkan tidak tahu apa alasan Ayunda begitu membenci suaminya. Padahal semasa hidup, mereka berdua sangat akur. Rumah tangga yang diidamkan beberapa keluarga. Sampai, pada hari kematian Ardy, Ayunda begitu terpukul dan perlahan membenci Ardy.
Membuat Senja sedikit terbebani karena kebencian Ibunya terkadang di lampiaskan kepadanya.
"Senja?"
Fajar datang dengan payung di tangan kenannya dan bungkusan plastik di tangan kirinya. Ia langsung melindungi Senja dengan payungnya.
"Senja? Lo kenapa? Lo habis nangis?"
Senja tidak tahu harus bagaimana, tapi ia langsung memeluk Fajar, membuat baju Fajar juga ikutan basah.
...