Setelah kejadian beberapa hari lalu, Senja sudah jarang melihat Pak Gandhi selain waktu jam mengajar di kelasnya. Beberapa temannya berasumsi bahwa Pak Gandhi sengaja tidak muncul di hadapan siswa-siswi. Senja jadi merasa bersalah karenanya. Sebenarnya, ia tidak sepenuhnya salah, hanya saja ia menjadi khawatir dengan posisi Pak Gandhi saat ini.
"Gak apa-apa. Pak Gandhi juga pasti ngerti kesalahannya, kok." Davina sedikit menenangkan Senja yang sudah beberapa kali menghela napas.
"Apa besok gue ke ruangannya, ya?"
Davina menggeleng, "Kalau lo ke sana, kesannya jadi kayak gimana gitu."
Senja mengangguk. Saat itu mereka sedang berada di rumah Senja. Karena, Senja meminta temannya itu untuk menemaninya tidur, ia tidak ingin merepotkan keluarga Arya. Setelah kemarin ia menginap di sana rasanya sangat sungkan untuk menumpang tidur di sana lagi.
"Eh, Gilang chat gue," kata Davina.
"Kenapa?"
"Ngajak ketemuan katanya, sama Fajar juga, kok."
Senja mengangguk setuju, "Ayo, gabut banget gue di rumah."
"Okey, gue bales kita lagi otw, ya."
Setelahnya mereka mengambil tas kecil yang di gantung di belakang pintu kamar Senja. Davina memesan taksi online sedangkan Senja mengunci semua pintu.
Beberapa menit perjalanan dari rumah Senja menuju Cafe yang lumayan terkenal di Bandung membutuhkan waktu sekitar tiga belas menit. Mereka melihat motor besar milik Fajar dan Gilang yang sudah berjejer rapi di depan Cafe.
"Halo." Davina duduk di sebelah Gilang. Cowok itu sedikit bergeser supaya Davina bisa duduk.
"Gak macet?" tanya Fajar saat Senja duduk di sampingnya.
"Hm, enggak, kok."
Mereka kemudian menikmati waktu itu dengan sesekali tertawa keras, terutama Gilang. Fajar saja kadang merasa malu membawa sahabatnya ke tempat umum.
"Lo pada tahu gak sih, Fajar dulu pas SD korban bully!" Gilang tertawa puas melihat ekspresi Fajar yang menahan malu.
"Masa, sih? Gak nyangka sekarang jadi inceran ciwi-ciwi."
"Glow-up dia sekarang."
Fajar tersenyum sinis, "Sorry, tapi dari kecil gue udah ganteng."
"Idih, kata siapa? Nih, lihat fotonya Fajar jaman SD dulu." Fajar memberikan ponselnya ke arah Davina dan Senja.
Senja yang melihat foto masa kecil Fajar tertawa tanpa suara, baginya Fajar kecil sangat menggemaskan.
"Gila, itu ada upil! Hahahaha!" Davina menunjuk bagian hidung Fajar, membuat Fajar melotot ke arah Gilang.
"Namanya masih bocil, ingusan." Fajar mengeluarkan ponselnya, ia mencari foto Gilang saat cowok itu menangis karena celananya sobek. "Nih."
Davina menerima ponsel yang disodorkan Fajar, ia membelalakkan mata kaget. "Hahahaha! Cengeng banget cuma gegara celananya sobek dikit dia nangis, di depan kelas lagi!" Davina dan Senja puas menertawakan Gilang yang pipinya memerah.
"Sumpah itu malu banget gue, mana guru-guru malah ketawa."
"Kenapa bisa sobek celananya?" tanya Senja masih dengan tawanya.
"Waktu itu kita berdua sama temen-temen yang lain lagi main lompat-lompat gitu, siapa yang lompatannya paling jauh, dia yang menang. Eh, pas gilirannya Gilang lompat, malah celananya robek." Fajar menceritakan kejadian beberapa tahun lalu dengan wajah yang tidak bisa menahan tawa.
"Jar! Udah, malu gue."
Davina terus tertawa, ia tidak menyangka bahwa laki-laki di sebelahnya memiliki kenangan yang memalukan. "Lucu banget kenangan lo."
"Eh, udah malam, pulang yuk?" ajak Senja.
Davina mengangguk setuju, "Gue balik dulu, ya."
"Kita antar aja, sekalian pulang juga." Fajar berdiri, mengambil kunci motornya yang ada di saku celana.
Senja dan Davina akhirnya mengangguk. Sepertinya, akan sulit menemukan taksi jika sudah jam pulang kantor.
Davina dan Gilang lebih dulu membelah jalanan, kemudian di susul oleh Senja dan Fajar. Dalam perjalaan pulang, keduanya sama-sama terdiam. Mereka menikmati angin malam yang berhembus dingin. Untungnya, Senja memakai jaket, sehingga Fajar tidak perlu meminjamkan jaketnya.
"Mm, Fajar gue mau tanya, boleh?"
Fajar mengangguk di balik helm nya, "Tanya apa?"
"Yang lo bilang waktu di ruang guru itu beneran atau cuma akal-akalan lo?"
"Beneran, gue suka sama lo. Tapi gue belum berani ngajak lo pacaran."
"Kenapa?"
"Gue mau ketemu nyokap-bokap lo dulu."
Senja terdiam, "Bokap gue udah meninggal."
Fajar memelankan laju motornya. Ia mencoba untuk mendengar lebih jelas suara Senja.
"Kalau lo mau ketemu Mama, sebaiknya nanti dulu. Setelah kematian Papa, Mama jadi agak ketat soal cowok. Gue... juga belum siap."
"Ya udah, gak apa-apa. Kapan pun lo siap, kabari gue, ya."
Senja mengangguk. Angin malam menembus jaketnya, membuat ia sedikit kedinginan.
"Peluk gue aja kalau kedinginan." Fajar melirik Senja dari kaca spion.
Senja hanya diam, tidak melakukan reaksi apapun selain tersenyum kecil. Mungkin Senja kira Fajar tak tahu, tapi kenyataannya Fajar juga tersenyum karena melihat gadis yang di boncengnya tersenyum.
...
Setelah mengantarkan Senja dan Davina pulang, Fajar dan Gilang mampir ke supermarket. Katanya, Gilang merasa serak setelah saling berteriak dengan Davina saat di motor tadi.
"Budek kali ya tuh cewek," kata Gilang sambil membayar minumannya.
"Lo kali."
Gilang mendengus, membuka tutup botol dan meneguk habis minumannya.
"Senja tadi tanya soal perasaan gue," kata Fajar.
"Hah? Gimana?"
"Tapi gue gak bilang kalau gue non-muslim."
Gilang terdiam, merasa iba dengan sahabatnya. "Gak papa, Bro. Suatu saat pasti ada waktu yang pas."
"Gue bingung nanti gimana kalau Senja udah tahu." Fajar merasa bimbang sendiri, ia membuka coklat yang tadi di belinya. "Atau gue mundur, ya?"
"Ya jangan lah! Lo belum mulai udah mau mundur aja. Lo harus berjuang, dikit-dikit."
"Tapi mau gimana pun gue sama dia gak bakal bisa bersatu."
"Gak ada yang tahu soal masa depan lo. Siapa tahu sesuatu bakal terjadi, sesuatu yang bisa bikin lo sama Senja bersatu."
"Gini banget ya, suka sama orang yang beda agama."
Gilang mengangguk. Ia benar-benar berpikir keras untuk mencari solusinya. Baru kali ini, ia melihat Fajar se frustasi itu.
"Gue kadang takut kalau gue selalu jatuh cinta sama orang yang gak seharusnya. Kayak sekarang gini."
Gilang menepuk pundak Fajar dua kali, menyalurkan semangat. "Udah, jalanin dulu aja, sambil mikir nanti mau gimana. Ayo balik, udah jam sembilan. Adik lo nyariin ntar."
Fajar bangkit dan membuang bungkus coklatnya. Ia memakai helm dan berjalan di antara kerlap-kerlip lampu kota Bandung. Ia sudah berpisah dengan Gilang karena rumah mereka tidak satu arah.
Ia tidak tahu, kalau di tempat lain ada gadis yang juga sangat berharap lebih kepadanya. Berharap orang tuanya tidak mempersalahkan kedekatan mereka, berharap tidak akan ada masalah yang menghambat hubungan mereka. Namun, gadis itu tidak tahu bahwa mereka sebenarnya tidak seiman.
Karena, pada dasarnya fajar tidak akan bisa bertemu dan bersatu dengan senja. Mereka terhalang oleh malam yang di ibaratkan sebagai agama mereka.
...