Senja berjalan menghampiri Ayunda yang sedang merapikan barang-barang untuk diletakkan di masing-masing sudut ruangan. "Ma, besok Senja ke sekolah baru pakai seragam yang lama?"
Mereka baru saja pindah hari ini, dikarenakan sang Nenek sakit, mereka harus merawat sang Nenek, mungkin untuk satu tahun ke depan. Ayunda mengangguk atas pertanyaan putrinya. "Besok pakai seragam batik yang lama, ya."
Senja mengiyakan, kemudian ia berjalan kembali ke kamarnya, memilih menata barang-barangnya yang ada di kamar. Ia sejenak melihat buku hitam bercorak bunga mawar putih. Buku yang selama ini ia jaga, supaya tidak hilang.
Ia kembali memasukkan baju-bajunya ke dalam lemari. Meletakkan buku hitamnya di belakang tumpukan baju, supaya tidak ada yang melihat.
"Bismillah, semoga besok semuanya lancar."
...
Jalanan kota Bandung terlihat ramai saat pagi hari. Hari ini Senja belum berani lari pagi karena belum hafal jalanan sekitar rumahnya. Ia memilih langsung ke sekolah bersama Ayunda. Mamanya memilih untuk mengantar Senja setiap hari. Biar lebih aman, katanya.
"Nanti habis nganter Nenek ke rumah sakit, Mama langsung jemput kamu," kata Ayunda.
"Oke, Ma. Kalau gitu Senja sekolah dulu."
Ayunda mencium puncak kepala Senja. "Hati-hati, sayang."
Senja membuka pintu mobil dan keluar, melambai singkat pada Ibunya. Ia menghela napas pelan dan mulai melangkah memasuki gerbang. Seragam batik yang ia gunakan sedikit menyita perhatian siswa karena warnanya yang sedikit mencolok. Biru muda.
"Kamu... Senja Anindira?"
Senja menoleh ke belakang, menemukan seorang guru perempuan dengan kacamata bulat modern. "I-iya, Bu." Senja menunduk sopan.
"Saya Bu Ayna, wali kelas kamu. Ayo ke ruang guru sebentar."
Senja mengangguk mengikuti Bu Ayna dari belakang. Ia sedikit terkejut dengan interior sekolah barunya yang terbilang mewah dengan warna coklat yang mendominasi.
"Silakan masuk, duduk di kursi itu dulu, ya," Bu Ayna menunjuk kursi kayu yang ada di dekat meja.
Senja mengangguk dan duduk di kursi yang tadi ditunjuk Bu Ayna. Bau pengharum ruangan mulai memasuki indra penciumannya.
Setelah selesai dengan urusannya, Senja berjalan ke kelasnya yang ternyata ada di lantai dua. Ia beberapa kali menoleh ke arah kelas-kelas yang dilewatinya. Ia terus melangkah hingga ia sampai di depan kelasnya. Terlihat sepi dari luar, tapi terdengar suara spidol yang bergesekan dengan papan tulis.
Tok... Tok... Tok...
Senja sejenak menutup mata sebelum pintunya dibuka dari dalam. "Senja, ya?"
Ia menatap guru laki-laki yang baru saja membuka pintunya. Senja mengangguk. "Selamat pagi, Pak."
"Pagi, Senja. Silakan masuk dan perkenalkan diri kamu."
Ini adalah bagian yang sangat tidak disukai Senja. Kenapa harus perkenalan diri?
"Iya, Pak." Senja melangkah masuk dan melihat seisi kelas. Semuanya diam, menatapnya sedikit... tajam? "Halo, semuanya. Gue Senja Anindira. Panggil aja Senja."
Pak Gandhi mempersilakan Senja untuk duduk di bangku yang kosong. Senja hanya mengangguk dan berjalan kearah bangkunya. Tidak ada teman sebangku karena sistem disini adalah satu bangku berjarak.
Senja memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang melintas di otaknya.
...
Waktu istirahat akhirnya tiba setelah dua jam bergelut dengan pelajaran. Senja terlihat memasukkan buku-bukunya ke dalam tas ketika seorang siswi mendekatinya.
"Hai."
Senja menatap siswi tersebut dan tersenyum, "Halo."
"Ke kantin?"
"Ayuk."
Senja tersenyum sesaat, ia sempat berpikir tidak ada yang mau berteman dengannya. Untungnya ada siswi mungil yang mengajaknya berbicara.
"Anak sini terkenal sama geng-gengnya. Kadang mereka gak mau temenan sama siswa baru. Kayak lo."
"Oh gitu. Btw, nama lo siapa?"
Siswi tersebut menjulurkan tangannya, "Gue Davina. Temen-temen manggil gue Vina"
"Oke, salam kenal, Dav."
Davina mengangguk dan mengajak Senja untuk berjalan lebih cepat karena bisa-bisa mereka tidak mendapatkan tempat duduk.
"Disana masih ada. Lo ke sana aja, gue pesan makanan dulu."
Senja mengangguk, ia sendiri belum tau kebiasaan siswa di sini jadi ia hanya menurut. Ia melihat-lihat sekitar dengan sesekali menyelipkan anak rambutnya. Beberapa orang terlihat mencuri pandang ke arahnya,
"Ini, gue beliin lo bakwan sama es teh." Davina datang dengan dua tangan yang penuh oleh makanan dan minuman. Senja jadi merasa tidak enak sudah merepotkan.
"Makasih, maaf ngerepotin."
Davina hanya mengangguk dan melahap bakwannya. "Bakwan disini yang paling enak, Nja."
Senja yang sudah satu suapan mengangguk setuju, memang benar, rasanya terasa asing namun enak sekali. Sepertinya, Senja akan menjadikan bakwan ini sebagai menu favoritnya.
"Ekhem, gue mau ke perpus, ada di mana, ya?" tanya Senja ketika ia sudah menyelesaikan makannya.
"Mau gue anter, gak?"
Senja menggeleng, "Gak usah. Kasih tau letak perpusnya aja."
Davina menjelaskan letak perpustakaan ada di mana. Senja yang pandai menghafal mengangguk dan berterimakasih.
Tadi pagi, Bu Ayna menyuruh Senja untuk mengisi kartu identitas perpustakaan.
"Belok kiri jalan tujuh langkah." Senja menyebutkan arahan yang diberikan Davina tadi. Tak lama, Senja menemukan ruangan perpustakaan, terlihat besar dan rapi.
Senja melangkahkan kakinya dan menemukan penjaga perpustakaan. "Halo, Bu. Saya siswa baru, ingin melengkapi kartu identitas."
"Oh...! Senja ya? Baik, silakan duduk, nak. Ibu ambilkan kertas nya dulu di belakang."
Senja tersenyum, mengedarkan pandangan dan bertemu dengan mata teduh seorang lelaki. Ah, lebih tepatnya cowok yang memiliki sorot mata hangat.
"Ini, nak. Kamu isi dengan benar, ya."
Senja mengangguk dan mulai mengisinya.
"Senja ngga mau pinjam buku, nak?"
"Ah iya, nanti beres saya ngisi ini saya mau pinjam."
Bu Hanum mengangguk. Setelah lima menit, akhirnya Senja menyelesaikan tugasnya. Ia menyerahkan kertas nya kepada Bu Hanum dan berjalan ke arah rak novel.
Sejenak ia pandangannya terkunci pada novel yang terletak di depannya. Ia mau mengambilnya namun seseorang di seberang sana telah mengambilnya lebih dulu. Karena novelnya telah diambil, mata mereka bertemu diantara jajaran buku-buku lainnya.
Mata teduh yang tadi dilihatnya.
Senja memutuskan kontak mata yang terjadi sesaat. Ia menyelipkan anak rambut dan pamit kepada Bu Hanum untuk pergi ke kelas.
Saat di luar kelas, ia menghembuskan napas. Merasa aneh dengan sepasang mata yang ia lihat tadi. "Jangan-jangan... setan?"
"Setan?"
"Aaa!" Senja menjerit kaget ketika tiba-tiba Davina ada di sebelahnya.
"Kenapa, Nja? Lo ketemu setan?"
Senja menggeleng lemah, "Kaget gue, Astaghfirullah."
"Hehehe, maaf, Nja."
"Ya udah, yuk. Ke kelas aja."
Davina mengangguk dan mengapit lengan Senja. Perlahan Senja sedikit menoleh ke belakang, dan cowok bermata teduh tadi baru saja keluar dari perpustakaan. Laki-laki itu menatap Senja sambil tersenyum. Buru-buru Senja mengalihkan pandangan dan mencoba fokus ke depan.
"Tadi lo dicari sama Reta."
"Reta? Siapa?"
"Sekretaris kelas, mau nyatet nama lo di buku absen tapi takut salah penulisan."
Senja mengangguk dan kembali menoleh ke belakang. Rupanya laki-laki itu sudah tidak ada.
...