SCENE 10
PAGI HARI
CAST; BIBI KARIN, Bu JEJE, BU JAENAB
EKS. Rumah, taman
Bibi Anum adalah bibi Karin. Kini, dirinya sedang sibuk menyirami tumbuhan bunga yang ada di depan rumahnya. Sesekali ada tetangga yang lewat dan mengatakan hal buruk padanya.
Mtahari bersinar menunjukkan keindahannya.
(ucapan itu hanya untuk menyindir bibi Anum yang terlihat santai saja. Berbagai perkataan sudah pernah ia dapatkan sebelumnya. Sehingga sudah tidak perlu mengambil dengan hati)
(diakhiri dengan tertawa)
Kepala bibi Anum sudah memanas mendengar perkataan dari Bu Jeje dan Bu Jaenab.
Bu Jeje dan Bu Jaenab menatap sinis dan tidak suka ke arah Bibi Anum.
SCENE 11
CAST; KARIN
INT. KAMAR
Mendengar perkataan dari ibu-ibu pecinta gibah itu membuat kepala Karin mendadak berdenyut sakit. Pandangannya buram dan sesekali ada sebuah bayangan yang dirinya sendiri tidak tau apa itu sebenarnya.
Bayangan seorang wanita menggunakan gaun putih panjang, mahkota di kepalanya, senyuman manis dan jangan lupakan sosok berjas hitam yang berdiri tegap dan gagah itu.
Wanita bergaun putih itu tersenyum menikmati sebuah kegiatan, hingga akhirnya berubah saat kedatangan seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam itu menodongkan pistol ke arahnya.
Tak berselang lama ....
Dor
Dor
Dor
Ketiga peluru itu berhasil menembus tubuh seorang wanita yang menggunakan gaun putih itu. Hingga gaun yang semula berwarna putih itu berubah menjadi merah karena darah yang mengucur di setiap badannya.
Karin merintih kesakitan dan memegangi kepalanya yang terasa sakit.
SCENE 12
CAST; KARIN, BIBI ANUM
RUANG TAMU
Terlihat dari wajah bibi Anum yang merasa kesal dengan kejadian barusan. Karin yang melihatnya tidak ingin menambah beban kepada bibinya itu.
Bibi Anum tersentak mendengar suara Karin. Wajahnya seketika berubah.
Karin menggidikkan bahunya.
Tanyanya dengan sedikit berpikir keras. Tapi, ia tidak pernah naik mobil, terlabih mengendarainya. Tapi, kenapa lagi dan lagi ia mengatakan hal yang sama sekali tidak ia ingat sebelumnya.
Tidak mengindahkan perkataan hatinya Karin menggidikkan bahunya.
Bibi Anum mengangguk dan tersenyum menatap Karin yang sudah mulai melangkah menjauh keluar dari rumah.
SCENE 13
SIANG HARI
CAST; KARIN, BEBERAPA PENJUAL MAKANAN JALANAN
EKS. JALANAN, TAMAN
Karin tersenyum penuh kebahagiaan di mata orang lain. Tapi, tidak dengan dirinya sendiri. Langkahnya pasti, namun tidak tau arah mau kemana. Semua nampak abu-abu di dalam hidupnya.
Matahari semakin memencarkan sinarnya hingga menyengat kulit makhluk di bawahnya.
Seperti kertas putih yang tergores pensil, saat dihapus masih sedikit meninggalkan jejak. Ibarat itu, Karin sedang berusaha membaca kembali tulisan yang pernah tergores dengan pensil itu.
Hidupnya masih abu-abu hingga saat ini.
Karin menggeleng pelan.
Karin begitu semangat dalam mencari pekerjaan ini. Tidak ingin selalu merepotkan bibinya yang sudah mau merawat dirinya selama ini.
Karin mengangguk paham. Lalu ia berpamitan.
Karin berjalan terus menghampiri satu persatu pedagang yang ada disana. Tak jarang juga beberapa rumah makan. Namun, tidak ada yang menerimanya.
Setelah dari beberapa penjual yang Karin datangi, tidak ada seorang penjual pun yang mau menerimanya untuk bekerja.
Hitung-hitung keluar dari ke frustasiannya tidak mendapatkan pekerjaan Karin memilih duduk di bangku kosong yang ada di taman.
Wajahnya nampak lelah dan lesu, keringat bercucuran dari keningnya dan ia mengusapnya.
Layaknya orang gila, Karin tertawa sendiri. Membayangkan dirinya bicara seorang diri membuat orang lain menganggapnya gila. Mungkin ini yang membuatnya tidak diterima kerja.
Terlalu banyak yang membuat pikiran Karin penuh belakangan ini. Semuanya masih penuh misteri. Sifatnya yang absurd membuat semua orang terhibur tapi ada yang salah mengartikan dengan menganggap dirinya gila.
SCENE 14
CAST; KARIN, ANAK-ANAK, CACA, PENJAGA
TAMAN
SORE HARI
Tidak ada yang bisa dilakukan Caca selain duduk terdiam ditengah pantauan para bodyguard yang diperintah papanya. Meski tidak nyaman, itu semua senantiasa Caca lakukan. Walau akhirnya ia selalu mengumpat.
Para penjaga yang menggunakan pakaian biasa dengan jaket itu duduk di berbagai titik yang terlihat seperti orang biasa.
Caca berjalan seraya menggendong plastik berisi arumanis itu menuju kumpulan anak-anak. Namun, ia tidak suka dengan kehadiran seorang gadis kecil disana.
Sehingga, akhirnya ia memilih untuk duduk di bangku taman. Tidak ada seorangpun yang mendekatinya.
Terlihat Karin tengah tertawa dan bernyanyi bersama dengan anak-anak itu. Rasa iri tumbul dihati Caca.
Dilihatnya Karin beranjak dari tempatnya menghampiri Caca.
Caca hanya diam dan tidak berniat membalasnya. Ingat akan nasihat papanya.
FB.
FB. OFF
Karin bingung sendiri dengan anak yang sama sekali tidak mau menjawab pertanyaannya.
Bukan Karin namanya kalau tidak bisa memutar otaknya untuk mendapatkan informasi.
Caca meliriknya dengan tajam. Karin gelagapan sendiri melihat itu.
Karin mengusap dadanya merasa lega mendengar jawaban Caca.
Karin kalah telak. Memang dirinya cerewet, dan itu ia sadari.
Caca menyibukkan dirinya dengan memakan arumanis yang tadi ia beli. Pandangannya tidak lepas dari sekitarnya.
Karin hanya bisa membatin dengan segala hal yang ia alami.
Karin bertanya dengan begitu antusias.
Karin lesu membahas hal itu. Hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya dan juga kenapa tiba-tiba hatinya ingin mengungkapkan segalanya kepala gadis kecil ini?
Caca ikut sedih dengan cerita Karin. Namun, berbeda dengan Karin yang kini berubah semangat 45! Matanya berbinar langsung melirik Caca.
Karin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa tiba-tiba kepala berdenyut nyeri seperti ini?
Caca yang melihat hanya bingung sendiri. Beberapa bodyguard yang menjaganya hanya diam karena lirikan Caca kepada mereka.
Karin hanya mengangguk dan sedikit memegangi kepalanya.
Karin melirik ke kanan dan ke kiri melihat sekitarnya dengan penuh perhitungan.
Karin tampak menunjuk beberapa titik orang yang ia lihat dengan matanya sendiri. Caca mengikuti arahan jari Karin dengan saksama. Lalu mengangguk. Namun, suaranya lirih agar tidak ada yang mendengar perkataannya selain dirinya sendiri dan juga Caca.
Caca yang mendengarnya langsung terdiam dan jantungnya hampir berhenti berdetak. Apakah bodyguard nya akan ketahuan?
Namun, Caca tetap bersikap tenang.
Karin bergidik ngeri membayangkannya. Caca hanya mengangguk.
Karin hanya menggidikkan bahunya tidak acuh. Perkataan itu spontan keluar dari mulutnya dan sekarang ia lupa baru saja mengatakan apa.
Caca beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Karin seorang diri dengan penuh kebingungan dengan dirinya sendiri.
Bersekongkol dengan lupa ingatannya, Karin jadi semakin penasaran dengan siapa dirinya ini.
SCENE 15
MALAM HARI
CAST: AXEL, DEVIN, BEBERAPA PENJAGA
INT. RUANGAN GELAP
Ruangan gelap itu menjadi saksi kemarahan seorang Axel yang kini dengan membabi buta memukul Devin yang selalu mengelak pukulan itu. Awalnya memang hanya ingin latihan saja dan melatih otot tubuhnya agar kuat, namun ternyata pikiran Devin akan hal itu salah. Axel berusaha melampiaskan amarahnya dan sulit untuk dikendalikan.
Bentaknya dengan terus berusaha menghindari pukulan Axel, namun sepertinya hal itu tidak berefek apapun pada pria itu. Dengan nekat Devin memasang wajahnya sebagai bantalan sasaran Axel yang seperti orang kesetanan itu.
BUGH
Mata Axel langsung memejam. Tangannya mengepal dengan keras. Lalu sedetik kemudian ia memukul tembok yang ada didekatnya.
Nampaknya Axel mulai menyadari kesalahannya. Devin memperhatikan pria itu dengan saksama dan membiarkannya untuk tenang terlebih dahulu. Dirasa telah tenang, Devin menghampiri Axel dan memeluknya memberikan ketenangan.
Melihat Axel yang begitu rapuh, Devin meminta beberapa penjaga dengan pakaiannya serba hitam itu untuk keluar dengan menggunakan gerakan tangan.
Para penjaga yang paham langsung menuruti dan keluar dari ruangan yang hanya dihiasi dengan cahaya remang-remang.
Devin hanya diam dan perlahan merenggangkan pelukannya. Ia masih sibuk dengan lamat memperhatikan bosnya ini.
Devin memegang pundak Axel. Sedangkan, Axel masih berusaha meredam emosinya agar tidak tumpah saat ini juga.
Suara Axel begitu parah hingga membuat Devin tersenyum aneh. Senyuman yang bahkan tidak pernah terlihat di dalam diri Devin sebelumnya.
Axel mengatur dirinya kembali dan memasang wajah datar.
Devin tersenyum memikirkan hal yang sangat indah di dalam otak kecilnya itu.
Axel menatap Devin penuh curiga. Cowok itu tidak pernah benar jika memberikan solusi mengenai sebuah perasaan.
Axel menatap Devin yang tersenyum konyol itu dengan mata melotot tidak percaya.
Suasana ruangan itu begitu gelap dan cahaya yang masuk hanya sedikit. Diluar sana matahari menjulang tinggi menyinari bumi yang amat indah sekali.
Seketika aura ruangan itu menggelap. Lebih gelap dari sebelumnya.