Professor
"Coba jawablah semua ini dengan tidak."
Tersangka mengangguk-angguk
Professor
"Kau membunuh orang?"
Tersangka
"Tidak."
Alat itu hanya diam.
Professor
"Kau membunuh lebih dari 10 orang?"
Tersangka
"Tidak"
Alat itu masih diam.
Professor memandangi Psikiater.
Psikiater coba ketuk-ketuk alatnya diatas meja.
Professor
"Tolonglah sekali saja untuk berbohong."
Tersangka mengangguk
Professor
"Apakah anda sudah makan hari ini?"
Tersangka
"Iya"
Alat itu bekerja. Alat itu berbunyi.
Professor itu menggenggam kepalanya. Ia tak berpikir sejauh itu kalau orang ini mampu membohongi alat pendeteksi kebohongan.
Professor
"Kau mampu membohongi alat pendeketsi kebohongan?"
Tersangka
"Aku tidak berbohong."
Psikiater itu menggaruk-garuk kepalanya. Psikolog itu juga sama. Kacamatanya menjadi tempatnya menaruh tangan.
Professor
"Lalu apa yang kau lakukan?"
Tersangka
"Aku hanya menuruti kemauan kalian."
Professor
"Maksudnya?"
Tersangka
"Aku hanya menjawab sesuai keinginan kalian."
Professor itu menatap tersangka lumayan dekat. Psikiater dan Psikolog makin bingung dengan kasus ini.
Professor
"Jadi anda tadi tidak berbohong?"
Tersangka
"Tidak. Karena aku hanya mengikuti keinginan kalian."
Professor
"Anda benar. Anda tidak berbohong. Tapi ini bisa merugikan anda."
Tersangka
"Tidak ada soal."
Psikiater itu memandangi professor. Professor yang gusarpun juga sama. Ia memandangi psikiater.
Professor
"Tolong jawab apa adanya."
Tersangka
"Alat ini tidak bisa mendeteksi apa adanya."
Professor
"Sejujurnya, sepengamatan anda saat kejadian. Tanpa perlu menghiraukan perasaan kami. Anda bisa melakukan itu?"
Tersangka
"Tentu"
Professor
"Silahkan mulai lagi."
Psikiater itu mulai menyalakan lagi alatnya. Psikolog itu bersiap mencatat dibelakangnya.
Professor
"Apakah anda pernah membunuh seseorang?"
Tersangka
"Iya."
Alat itu berbunyi. Titt.. titt.. semua orang kelabakan. Psikolog itu juga.
Professor
"Tolong jawablah tidak."
Tersangka
"Tidak."
Alat itu diam.
Psikolog
"Dia menipu." (bisiknya pada Professor)
Professor itu mulai memerhatikan gaya bicaranya yang semakin berputar-putar.
Professor
"Pak. Apakah perkataan anda sering tidak dipahami orang lain?"
Tersangka
"Kadang-kadang."
Professor
"Anda bisa mengerti perkataan saya?"
Tersangka
"Iya. Aku mengerti."
Professor
"Baiklah."
Professor menatap wajah psikolog
Professor
"Bisa kita bicara sebentar?."
Psikolog menganguk dan mereka berdua pergi berbisik ke tepian jendela.
Professor
"Entah mengapa. Aku merasa orang ini tidak bersalah."
Psikolog
"Bagaimana bisa?."
Professor
"Lihatlah alatnya."
Psikolog
"Lalu apa pendapat bapak?"
Professor
"Aku tak tahu."
Psikolog
"Apakah menurut anda orang ini sedikit sinting?"
Professor
"Aku tidak melihatnya. Ia orang baik."
Psikolog
"Apakah ada keterkaitannya dengan aktivitas paranormal?"
Professor
"Kalau itu aku tidak tahu."
Psikolog
"Apa perlu dicari tahu?"
Professor
"Tidak. Itu tidak banyak membantu. Lagipula, untuk apa?."
Psikolog
"Bagi saya Prof. orang ini perlu ditekan untuk mengaku."
Professor
"Ya, silahkan."
Mereka berdua berjalan kembali. Professor itu kembali duduk didekat Psikiater, sedang Psikolog itu berjalan kearah Polisi Interogator. Mereka sedikit berbincang, lalu Polisi itu keluar ruangan. Membuka pintu dan menutupnya.
Professor
"Simpan saja alatmu. Itu tidak berguna."
Psikiater
"Tenang. Dia hanya butuh penekanan."
Professor itu menatap Tersangka. Tersangka itu diam saja.
Professor
"Pak. Boleh saya bertanya sesuatu. Mungkin ini mengganggumu."
Tersangka
"Silahkan."
Professor
"Apa pandanganmu terhadap pahala dan dosa."
Tersangka sedikit tersenyum. Ia tak menyangka akan ditanya begini. Tapi wajah professor sangat serius.
Tersangka
"Seseorang yang berbuat baik akan mendapat pahala, dan seseorang yang berbuat buruk akan berbuat dosa."
Professor
"Siapa yang berhak memberi pahala dan dosa?"
Tersangka
(sedikit tertawa) "Aku yakin engkau tahu."
Professor
"Aku tidak tahu."
Tersangka mencoba bangkit dan menatap professor itu.
Tersangka
"Itu ada didalam dirimu sendiri Professor" (sambil menatap tenang)
Professor itu tertegun.
Professor
"Kau tidak merasa berbuat dosa ketika membunuh orang?"
Tersangka
"Tidak."
Psikolog dan Psikiater itu terkejut.
Professor
"Kenapa?"
Tersangka
"Karena ia yang memintaku."
Professor
"Kenapa kau tidak merasa berdosa?"
Tersangka
"Karena aku bisa memertanggungjawabkannya."
Professor itu tertegun dan menggaruk-garuk kepalanya.
Professor
"Aku tidak tahu lagi sekarang. Yang pasti pak. Diatas kertas ini, ada kronologi dan Berita Acara tentang bapak. Menurutmu bagaimana?" (sambil mengangkat berkas BAP)
Tersangka
"Tidak mengapa."
Professor
"Anda tidak keberatan?"
Tersangka menggeleng-gelengkan kepalanya.
Psikiater berbisik pada Professor
Psikiater
"Dia orang sinting."
Professor
"Dia jenius."
Psikiater
"Dia terlalu banyak berfantasi. Mungkin, ia merasa sebagai juruselamat."
Professor itu tertegun.
Professor
"Pak. Apa fungsi bapak untuk hidup?"
Tersangka
"Fungsi saya?"
Professor
"Anda merasa istimewa, merasa bisa menyelesaikan sesuatu dengan baik?"
Tersangka
"Tidak."
Professor
"Lalu, bagaimana anda memandang fungsi anda hidup?"
Tersangka
"Ini pertanyaan jebakan dan tidak ada gunanya."
Professor
"Kenapa?"
Tersangka itu menegapkan tubuhnya saat duduk diborgol
Tersangka
"Professor. Apa fungsi anda untuk hidup?"
Professor hanya diam.
Tersangka
"Professor. Fungsi itu tidak dirasakan oleh dirimu. Tapi fungsi itu dirasakan oleh orang lain."
Professor hanya mengangguk-angguk.
Professor
"Iya, pertanyaan bodoh macam apa tadi memangnya" (ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri)
Tersangka
"Tanya orang lain daripada menanyaiku."
Professor
"Baik."
Tersangka
"Aku tidak berharap narsis atas jawabanku tadi."
Professor tertegun. Ia memandangi Psikolog dan Psikiater.
Professor
"Tidak. Anda bukan orang narsis"
Psikiater
"Bagaimana dengan Tuhan? Apakah anda percaya dia ada?"
Tersangka
"Sesuatu yang tidak bisa disentuh."
Psikiater
"Kenapa?"
Tersangka hanya mengangguk.
Psikiater
"Kau percaya?"
Professor itu memandangi tersangka
Tersangka
"Kenapa kau menanyakan ini?"
Psikiater
"Karena ini penting terhadap moralmu."
Tersangka
"Jangan bawa-bawa Tuhan."
Psikiater
"Kenapa? Kau terganggu? Kau merasa berdosa?"
Tersangka
"Aku terganggu? Kenapa?"
Psikiater
"Kenapa menghindar ketika ditanya masalah Tuhan?"
Tersangka
"Karena engkau sudah merasa mengerti tentang-Nya. Kau merasa lebih tinggi dariku sekarang. Untuk apa aku menjawabmu. Karena kau sudah mengerti jauh daripada aku."
Psikiater itu menggebrak mejanya.
Psikiater
"Apa memangnya?!"
Tersangka
"Silahkan pikirkan lagi."
Psikiater
"Kenapa mengelak? Tak perlu mengelak." (dengan nada tinggi)
Tersangka
"Kenapa anda memaksa? Tak perlu memaksa." (jawabnya tenang)
Professor
"Cukup."
Tersangka itu tenang. Psikolog tadi melihatinya dan Psikiater itu tersengal-sengal bernafas."
Professor
"Lalu, apa makna Tuhan bagi anda?"
Tersangka
"Jika kau berusaha mencarinya, kau tidak akan menemukannya."
Professor
"Mengapa?"
Tersangka
"Karena semakin kau cari, semakin tinggi superioritasmu untuk tidak menemukannya."
Professor
"Lalu?"
Tersangka
"Tak perlu dicari. Tuhan memang ada."
Professor
"Apakah menurutmu Tuhan akan murka dengan pembunuhan yang kau lakukan?"
Tersangka memandangi Psikolog, Professor, dan Psikiater pelan-pelan.
Tersangka
"Aku tidak tahu."
Professor
"Mengapa kau bilang begitu?"
Tersangka
"Karena aku tidak tahu."
Professor
"Tapi kau merasa bersalah?"
Tersangka
"Tidak"
Professor
"Mengapa?"
Tersangka
"Karena aku bisa memertanggungjawabkannya."
Professor
"Meskipun kau dipenjara?"
Tersangka
"Iya. Tak masalah. Karena itu bagian dari tanggung-jawabku."
Professor
"Bahkan dihukum mati?"
Tersangka
"Iya, tak masalah."
Professor menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menghembuskan nafas lumayan keras karena bingung.
Professor
"Begini saja. Bagaimana memangnya batasan baik dan buruk menurut anda?"
Tersangka
"Yang baik itu yang membuat orang lain merasa terbantu."
Professor
"Buruk?"
Tersangka
"Yang membuat orang merasa terganggu."
Professor menghela nafasnya panjang dengan tenang. Ia mulai paham maksud dari orang ini.
Professor berbisik pada Psikolog dan Psikiater mendekatinya
Professor
"Dia orang baik."
Psikiater
"Tapi dia pembunuh."
Professor
"Iya."
Psikolog
"Dia berdarah dingin."
Professor
"Aku tak tahu."
Polisi interogator tadi masuk lagi kedalam ruang interogasi bersama seseorang. Orang itu dianggap mampu melihat aktivitas paranormal. indigo-lah katanya. Polisi itu juga membawa alat kejut listrik ditangannya.
Polisi Interogator
"Sudah sejauh mana memangnya?"
Psikolog
"Sejauh dia tidak mengakui perbuatannya."
Polisi interogator itu tersenyum dan berjalan tegap berdiri disekitar tersangka.
Polisi itu menancapkan alat itu dipundak tersangka. Tersangka itu telrihat kesakitan.