Polisi Interogator memasangkan alat itu pada tersangka
Tersangka diam saja, ia hanya memandangi professor dan psikolog
Professor itu berdiri, ia menjabat tangan psikiater empat puluhan itu.
Professor
"Bagaimana kabar anda?"
Psikiater
"Iya, baik. Kalau bapak sendiri?"
Professor
"Sama, baik juga."
Psikiater
"Bagaimana. Sudah mengaku?"
Professor
"Dia mengakui apa yang ia ketahui."
Psikiater
"Kau sudah tahu kepribadiannya?"
Professor
"Sepengamatanku. Dia orang yang biasa saja. Sama seperti kita."
Psikiater
"Apa yang membuatmu yakin?"
Professor itu memandangi tersangka
Tersangka itu diam ia menunduk
Professor
"Hey. Aku yakin kau sangatlah pintar. Apa pandanganmu tentang depresi?"
Tersangka
"Depresi?"
Professor
"Iya. Kau pernah depresi?"
Tersangka
"Cukup jarang."
Professor
"Kapan itu?"
Tersangka
"Mungkin jika ada sesuatu yang tidak sesuai ekpekstasiku."
Professor
"Cukup lama durasi depresinya?"
Tersangka
"Tidak. Aku langsung mengganti ekpektasiku saat itu juga. Aku berkata dalam hati. Iya, inilah yang sebenarnya kuinginkan."
Professor dan Psikiater itu saling pandang.
Professor
(berbisik) "Dia orang pintar."
Psikiater itu mengangguk.
Professor
"Bagaimana dengan cinta?. Kau sering merasakannya."
Tersangka
"Iya, aku sering merasakannya. Dari anak-anak dan istri. Itu cukup membuatku senang."
Professor
"Apa yang membuatmu merasa dicintai?"
Tersangka
"Tidak ada. Jika mereka bisa tumbuh dan berkembang. Aku merasa dicintai mereka."
Professor
"Kau tidak perlu balas jasa mereka?"
Tersangka
"Tidak. Itu hanya akan merusak ketulusanku."
Professor itu cukup terkejut
Professor
"Aku yakin kau orang baik."
Professor itu memandang Psikiater. Ia meyakinkan bahwa orang ini tidak apa-apa. Bukan orang aneh.
Professor
"Lihat?"
Psikiater
"Aku masih tak percaya."
Professor
"Lalu bagaimana dengan benci? Kau juga sering merasakannya?"
Tersangka
"Aku jarang merasakannya. Mungkin sama. Kita sama. Kita benci jika kehendak kita tidak sesuai dengan kehendak alam."
Professor
"Seperti apa biasanya?"
Tersangka
"Biasa, hubungan antar manusia. Terkadang aku ingin sendiri, orang itu menggangguku. Terkadang aku ingin membantu, orang itu malah salah paham dan membenciku. Bukankah itu hal yang wajar?"
Professor
"Memang, bagaimana orang bisa membuatmu terganggu?. Kau jijik dengan mereka?"
Tersangka
"Tidak. Aku tidak pernah terganggu dengan apapun. Itu hanya kesombonganku saja."
Professor mulai mencoba mengorek infonya lebih dalam.
Professor
"Apa yang kau lakukan jika kau terganggu?"
Tersangka
"Aku?"
Professor
"Iya. Kau memaafkan mereka?"
Tersangka
"Tak ada apa-apa. Aku tidak merasa bertanggung-jawab. Jadi sejatinya itu bukan urusanku."
Professor
"Jadi, kau masih menyimpan rasa benci itu?"
Tersangka
"Sebelum itu menjadi rasa benci dijiwaku, aku memilih untuk membiarkannya. Kubiarkan dia netral dan itu tidak mengganggu perasaanku sama sekali."
Professor
"Bagaimana jika kebencian itu tumbuh tanpa kau sadari?"
Tersangka
"Itu diluar bayanganku. Aku tak pernah membenci seseorang."
Professor memandangi tersangka. Tersangka hanya diam.
Professor
"Meskipun pada polisi ini?" (tunjuknya pada polisi itu)
Tersangka
"Iya."
Professor
"Apa perasaanmu memangnya?"
Tersangka
"Kasihan"
Professor sedikit terperanjat
Professor
"Kau kasihan terhadap apanya?"
Tersangka
"Aku kasihan karena mereka terkekang oleh imajinasinya sendiri."
Psikiater itu menepuk-nepuk pundak Professor
Psikiater
(berbisik) "Apakah dia nabi baru? Dari sekte mana memangnya dia?" (sinis)
Professor
(balas berbisik) "Aku dari tadi melihat gelagat aneh memang. Tapi entah mengapa, aku yakin ini orang biasa saja."
Psikiater
"Lalu apa pendapat anda?"
Professor
"Aku tetap menjalankan protokol sebisaku."
Psikiater
"Baiklah."
Professor
"Ingatlah. Jika memang ia tak terbukti psikopat dan tidak membunuh banyak orang. Lepaskan."
"Kau juga" (katanya pada psikolog)
Psikiater itu diam, psikolog hanya mengangguk.
Professor itu menghembuskan nafas dan tersenyum.
Professor
"Aku ingin bertanya sesuatu yang menjadi nilai bagimu."
Tersangka
"Silahkan."
Professor
"Apa yang membuatmu tetap hidup sampai sekarang?"
Tersangka sedikit bingung.
Tersangka
"Karena memang aku masih hidup."
Professor itu mengecap bibirnya. Ia sadar ia salah bertanya.
Professor
"Apakah terbersit dibenak anda ingin mengakhiri hidup?"
Tersangka
"Tidak."
Professor
"Bagaimana dengan harapan. Anda masih memilikinya?"
Tersangka
"Aku sudah meletakannya di pikiranku bertahun-tahun lalu. Sejak aku SD."
Professor itu mengangguk.
Professor
"Bagaimana anda melihat orang lain? Orang yang menderita. Apa perasaan anda?"
Tersangka pelan-pelan menjawabnya
Tersangka
"Kasihan. Tentu"
Professor
"Apa yang biasa kau lakukan jika kasihan?"
Tersangka
"Membantu."
Professor
"Bagaimana caranya."
Tersangka
"Paling tidak dengan mengurangi bebannya."
Professor
"Seperti apa?"
Tersangka
"Mungkin seperti, memberi mereka uang. Makanan. Kadang jika anak-anak mereka sekolah. Dibelikan buku."
Professor
"Anda orang baik. Tapi kenapa anda melakukan pembunuhan?"
"Jawablah setulus-tulusnya."
Tersangka
"Karena aku tak ingin orang itu menderita." (ia mulai sedih)
Professor
"Katamu, ia memintamu untuk membunuhnya?"
Tersangka
"Iya."
Professor
"Bagaimana bisa?"
Tersangka
"Kau tak percaya kan? Aku juga."
Professor
"Tapi kau saat itu dalam keadaan sadar? Atau mabuk?"
Tersangka
"Sadar. Aku sadar. Hanya aku mungkin yang mendengar memang."
Professor mulai merindik dan menggerak-gerakkan tangannya. Wajah psikolog mulai bahagia mendengar itu. Wajah Psikiater juga.
Professor
"Saat peristiwa itu. Anda bersama banyak orang?"
Tersangka
"Tidak, hanya beberapa. Itu mereka datang setelah aku meninggalkannya."
Professor
"Jadi saat kejadian anda sendirian. Secara sadar membunuh orang itu?"
Tersangka
"Iya."
Professor
"Kenapa?"
Tersangka
"Aku yakin tuan. Dikepalamu masih tersisa perkataanku."
Professor
"Kasihan?"
Tersangka mengangguk.
Psikiater
"Kita mulai saja."
Professor
"Apa?"
Psikiater
"Ini sekarang jadi waktuku."
Professor
"Baiklah."
Professor membiarkan psikiater itu membuka alatnya dan bersiap menanyai tersangka.
Tersangka
"Professor?" (ia memanggilnya)
Professor memandanginya
"Iya"
Tersangka
"Apakah ada kebohongan dibalik kebohongan?"
Professor
"Aku tak yakin. Tapi nyatanya itu memang ada."
Tersangka
"Kita buktikan saja."
Alat itu dibuka, dan Psikiater itu menyiapkan diri
Psikiater
"Anda hanya diperkenankan menjawab iya dan tidak."
Tersangka itu mengangguk
Psikiater
"Apakah anda membunuh orang di sungai belakang pelacuran?"
Tersangka
"Iya"
Psikiater itu melihat alat pendeteksinya. Tidak nampak apa-apa.
Psikiater
"Apakah anda membunuh orang lain?"
Tersangka
"Iya"
Psikiater itu melihat alatnya. Tidak juga nampak apa-apa. Psikolog itu menulis dengan semangat dalam satu baris sambil berdiri.
Professor itu diam saja memerhatikan.
Psikiater
"Apakah anda membunuh orang lebih dari 5?"
Tersangka
"Iya"
Psikiater itu melihati Professor. Professor itu tenang. Lalu ia melihati Professor sambil meyakinkannya. Professor hanya memerhatikan dan mengangguk.
Psikiater
"Apakah anda membunuh orang lebih dari 10?"
Tersangka
"Iya"
Alat itu tidak bergerak
Psikiater
"Apakah anda membunuh orang-orang itu dengan metode yang sama?"
Tersangka
"Iya"
Alat itu juga tidak bergerak.
Psikiater
"Ini gila."
Psikolog
"Professor, dia adalah psikopat. Aku yakin itu."
Psikiater
"Iya, aku juga yakin itu."
Professor hanya memerhatikan.
Psikiater
"Ada yang ingin kau tanyakan lagi?"
Psikolog
"Apakah anda memerkosa korban-korban anda sebelum anda membunuh mereka?"
Tersangka
"Iya"
Alat tetap diam
Psikolog
"Anda bahagia dengan itu?"
Tersangka
"Iya"
Psikolog
"Tidak ada penyesalan?"
Tersangka
"Iya."
Psikolog memerhatikan alat. Diam saja tak bergerak.
Psikolog
"Dia berdarah dingin dan sudah membunuh banyak orang. Aku yakin itu."
Professor
"Iya, aku mulai percaya denganmu."
Psikiater
"Catat semua tadi jawabannya, dan ingat. Ini penting."
Psikolog
"Ini orang paling berbahaya sekota. Kasus-kasus pembunuhan tak terungkap di pelacuran. Mungkin orang ini otaknya."
Psikiater
"Betul. Aku percaya denganmu."
Professor
"Iya. Aku mulai percaya."
Professor memandangi wajah tersangka. Tak merasa bingung dan tak merasa bersalah.
Polisi, Psikiater, dan Psikolog mulai senang dan raut bahagia sangat terpancar dari wajah-wajah mereka.
Professor
"Kau menyesal?"
Tersangka
"Tidak"
Professor
"Kau berbohong?"
Tersangka
"Tidak."
Professor
"Lalu?"
Tersangka
"Aku hanya mengikuti kemauan kalian semua."
Professor diam. Ia memerhatikan mesin itu lagi dengan seksama.
Professor
"Kita salah besar."