Puppy Love
7. Rare Human Being

32. INT. CAFE — MALAM

Gendhis mengeluarkan cermin lipat dari dalam tas, lalu tersenyum pada dirinya sendiri didalam cermin. Jemarinya menyisir rambut agar terjatuh dan terlihat alami. Ia kembali melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian membuang pandangan pada pintu masuk cafe.


CUT TO :

33. EXT. PARKIRAN DAN TERAS CAFE — WAKTU YANG SAMA

Sebuah motor melaju kencang dan berhenti cepat di parkiran cafe. Dimzi tergesa-gesa beranjak turun begitu standar samping motor diturunkan. Sementara dua anak kecil berbaju lusuh tanpa alas kaki di pojokan teras cafe, jongkok meringkuk kedinginan berteduh dari guyuran hujan yang semakin deras. Dimzi membuka helm dan menoleh sekilas pada keduanya sebelum membuka pintu kaca cafe.


CUT TO :

34. INT. CAFE — WAKTU YANG SAMA

Gendhis menoleh tepat pintu kaca cafe terbuka oleh Dimzi. Ia melambaikan tangan yang lantas ditangkap cepat mata Dimzi. Gendhis menyibak rambut dan tersenyum menyambut kedatangan Dimzi.

DIMZI
(membuka jaketnya)
Maaf ya, gue telat banget.
GENDHIS
Gue juga baru sampai kok, santai.
DIMZI
(membuka dasi yang mengikat dan melepas tiga kancing teratas kemeja)
Gue abis nge-MC. Pembicaranya telat jadi molor semua rundown acara.
GENDHIS
(membuang pandangan dan meraih buku menu di meja)
Serius? Pantesan rapi banget. Nge-MC dimana?
DIMZI
(menggulung lengan kemejanya)
Tadi acara kementrian di hotel Ambarukmo.
GENDHIS
(kembali membuang pandangan dan fokus pada buku menu)
Serius? Diem-diem yah, kuliah sekaligus kerja. Hebat! Bisa banget atur waktunya. Keren.
DIMZI
(meraih buku menu)
Bisa karena kepepet. Gue kan masuk FK beasiswa, kalau biaya sendiri mana sanggup orang tua gue.

Gendhis terdiam, matanya menatap Dimzi yang tertunduk mengamati deretan menu. Seolah sadar dirinya sedang ditatap, Dimzi mengangkat kepala, membalas tatapan Gendhis.

DIMZI (CONT'D)
(tertawa kecil)
Serius, ngapain gue bohong sama lo. Gue nge-MC buat biaya hidup dan sebisa mungkin ada lebihnya yang bisa gue kirim ke nyokap.

Gendhis terpaku terdiam dan hanya terus menatap Dimzi.

DIMZI (CONT'D)
(terbahak)
Apa sih, Gendhis...tatapan lo tuh beneran deh, sangat mengintimidasi.
GENDHIS
(mencondongkan tubuhnya mendekat)
Serius?
DIMZI
(ikut mencondongkan tubuhnya dan menghentikan tawanya)
Serius. Dari dulu, target gue cuma pengen bikin orang tua gue bahagia. So that simple.
(tersenyum kecut)
Tapi masalahnya, orang tua bahagia kalau anaknya sukses kan? Dan itu yang bikin jadi nggak simpel, gue harus struggling, gue garus fight karena titik nol gue jauh dibawah mereka yang orang tuanya berkecukupan.

Gendhis semakin tercengang, mulutnya bahkan reflek terbuka turut bereaksi. Sementara Dimzi menarik tipis senyumnya.

GENDHIS
(terpukau)
Wow, rare human being banget yah. Hari gini tuh, yang udah kerja mapan aja belum tentu inget kirim ke ortu. Mereka lebih mendahulukan self reward.
(menyodorkan tangan dan menjabat tangan Dimzi)
Selamat! anda termasuk mahluk yang perlu dilestarikan.
DIMZI
(menahan tangan Gendhis dalam genggamannya dengan menangkupkan tangan kiri)
Kamu juga selamat! Jadi cewek satu-satunya yang tau tentang hal ini dan nggak tau kenapa gue nggak takut lo bakal ngejauh dari gue.

Gendhis hanya terpaku membalas tatapan Dimzi.


CUT TO :

35. EXT. PARKIRAN DAN TERAS CAFE — WAKTU YANG SAMA

Dua anak kecil berpakaian lusuh tanpa alas kaki itu memandang ke arah parkiran. Sesekali keduanya menoleh ke dalam cafe yang penuh orang sibuk menyantap hidangan sembari bersenda gurau dengan koleganya. Tubuh keduanya semakin meringkuk terkena air hujan yang masuk kedalam teras terbawa angin malam.


CUT TO:

36. INT. CAFE — MALAM

Garpu di tangan Dimzi melilit spaghetti bolognise, sementara Gendhis mencicip hangatnya semangkok zuppa soup.

GENDHIS
Ummm, enak. Puff pastry mengembang sempurna kecoklatan jadi renyah, rasanya gurih creamy banget, konsistensi kental,potongan ayamnya juga melimpah nih. mantap!
DIMZI
(terkekeh)
Seenak itu, chef?
GENDHIS
(terbahak lalu sok mengamati sepiring spaghetti bolognise milik Dimzi)
Satu sampai sepuluh, tujuh ya? spaghetti-nya over cook, sausnya kurang kental dan kurang gelap, bulir dagingnya antara ada dan tiada, wangi oreganonya juga kurang tajem.
DIMZI
(terkesan)
Wow, jago masak nih! Masakin gue dong kapan-kapan.
GENDHIS
(tangan menolak)
Enggak, enggak...gue nggak bisa masak. Pegang sutil aja grogi.
DIMZI
Masa sih? Padahal bener lho, ini spaghetti nilainya tujuh.
GENDHIS
(tangannya kembali menolak)
Gue cuma mengarang bebas. Eh ini, mau dibawa pulang kan?
(menyentuh dua kotak makan)
Kenapa nggak ntar aja pesennya, sayang keburu dingin.
DIMZI
Aduh! Lupa gue! Bentar ya!

Dimzi buru-buru membawa dua kotak makanan itu pergi, berjalan cepat menuju pintu kaca cafe dan mata Gendhis pun mengekor.


CUT TO :

37. EXT. PARKIRAN DAN TERAS CAFE — KONTINU

Dimzi menghampiri dua anak berbaju lusuh tanpa alas kaki yang masih meringkuk di teras. Ia turut berjongkok di samping mereka, membuat keduanya terperangah dengan kehadiran Dimzi.

DIMZI
(menyodorkan dua kotak makanan)
Makan dulu, mumpung masih panas.
ANAK KECIL #1
(tangannya ragu-ragu menerima)
Nggak bayar?
DIMZI
(beranjak berdiri)
Gratis, udah buruan makan. Keburu dingin.
ANAK KECIL #2
Makasi, Bang!

Keduanya buru-buru membuka kotak makanan dengan senyum lebar.

CUT TO :

38. INT. CAFE — WAKTU YANG SAMA

Gendhis dari dalam cafe diam-diam memperhatikan sikap Dimzi yang membuat ia semakin terpesona, sementara semangkok zuppa soup di depannya mulai mendingin.


CUT TO :




Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar