26. INT. KAMAR NARA – SORE
Close up beberapa bingkai foto di atas meja belajar Nara yang semuanya berisi foto Mada dan Nara. Move to Tisha yang duduk di kursi mengamati foto-foto itu.
NARA (OS):
Jadi, aku harus gimana Sha?
TISHA
(Memutar kursi dan menatap Nara yang sedang telentang di ranjang) Nara Lintang Semesta… Mada emang benar, kamu itu payah. Sama perasaan sendiri aja enggak tahu.
Nara terdiam, mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar.
TISHA (CONT’ D)
Aku salut sama Mada, dia berani jujur, dia menolak untuk menyerah, mengalah karena takut kehilangan kamu. Menurut aku itu cinta sih namanya. Nah, terus semuanya balik lagi ke diri kamu, Ta. Kamu mau menjauh dari dia kayak di film-film terus bikin drama yang akhirnya bakalan nyakitin kalian berdua dan mengakhiri persahabatan kalian yang udah lebih dari tiga tahun itu?
NARA
Bukannya justru dia yang mengakhiri persahabatan karena udah enggak bisa memandang aku sebagai sahabatnya lagi?
TISHA
(Memutar bola mata) Come on, Semestaku sayang! Kamu pikir manusia itu bisa memilih mau sayang atau cinta sama siapa, gitu? Enggak bisa! Aku yakin itu juga bukan kemauan dia buat sayang sama kamu lebih dari sahabat. Mada enggak berniat mengakhiri, yah kecuali kamu sendiri yang pengin semuanya berakhir. Menurut aku, kalaupun perasaan dia enggak berbalas, kalian masih bisa jadi sahabat.
NARA
Tahu dari mana?
TISHA
Mada itu cowok cerdas. Selama ini Mada enggak pernah meninggalkan kamu, iya ‘kan? Kalaupun kamu mau menolak perasaannya, aku yakin seribu persen, Mada tetap enggak berubah, dia enggak akan meninggalkan kamu karena…
NARA
Karena dia tulus.
TISHA
Nah, itu tahu!
FLASHBACK (Dua tahun lalu):
Nara (14 tahun) sedang berada di toilet ketika ia bertemu dengan Mona, Diana dan Elsa.
MONA
Hai, selamat pagi Nara si anak haram.
NARA
Iya, kalau aku memang anak haram memangnya kenapa, apakah fakta itu merugikan hidup kamu?
DIANA
Wow, dia udah berani ngejawab, Mon.
MONA
Yap. Bisalah, anak pelacur ‘kan emang enggak tahu sopan santun.
Nara benar-benar marah ketika Bundanya dihina. Nara maju dan menampar Mona. Semua orang terkesiap, Mona mendorong Nara dan menyeretnya keluar toilet. Diana dan Elsa menyiram Nara dengan air satu ember. Saat Mona ingin menumpahkan isi bak sampah kepada Nara, Nara melihat Mada menendang bak sampah itu. Nara menggigil, memeluk tubuhnya sendiri sambil menahan isak tangis.
MADA
(Menghampiri Nara, melepas jaketnya dan menyampirkannya di bahu Nara) Nar, kamu bisa berdiri?
Nara mengangguk, mengusap air matanya. Mada segera membantu Nara berdiri lalu mengantar Nara pulang ke rumah dengan sepeda. Sepanjang perjalanan pulang, Mada menggenggam tangan Nara erat dengan satu tangan sementara tangannya yang lain mengendalikan sepeda.
NARA
Maaf, Da. Tadi aku yang nampar Mona duluan. Dia hina Bunda.
MADA
Gapapa, sekali-sekali kamu memang harus berani melawan. Tapi udah tabiat nenek sihir itu suka main keroyokan.
NARA
Kamu enggak capek, selalu bantuin aku? Kamu enggak harus jadi pelindungku terus, Mada.
MADA
Aku teman kamu, aku enggak akan pernah diam aja saat ada orang lain yang nyakitin kamu.
NARA
Kamu enggak malu temenan sama aku? Aku enggak mau kamu menyesal nantinya karena udah salah pilih teman.
MADA
Aku enggak pernah pilih-pilih teman atau memandang seseorang berdasarkan masa lalunya. Kamu boleh enggak percaya dan menghindari semua orang, tapi aku enggak punya alasan apapun untuk menjauhi kamu, Nar. Setiap orang punya masa lalu dan masa lalu itu enggak bisa diubah. Lagian itu sama sekali bukan salah kamu kok. Enggak adil kalau aku benci sama seseorang yang bahkan enggak melakukan kesalahan apapun, iya ‘kan?
CUT BACK TO:
NARA
Mada selalu ada di momen terburuk hingga momen terbaik dalam hidup aku.
TISHA
(Menghembuskan napas lega dan tersenyum) Jadi… sayangnya sama siapa? Kavin atau Mada? (Menaik-turunkan kedua alis dengan tatapan jahil)
Nara tersenyum dengan pipi merona, ia melempar bantal kepada Tisha. Keduanya tertawa lepas.
CUT TO:
27. EXT. LAPANGAN BASKET SEKOLAH – SORE
Usai ekskul basket, Mada duduk di bangku di tepi lapangan, menenggak air minum sambil mencoba menelepon Nara yang tidak kunjung mendapat jawaban. Kebetulan Tisha sedang lewat seusai kelas tari, Mada buru-buru mengejar Tisha.
TISHA
Hai, Mada. Udah mau pulang?
MADA
Iya. Eh, Sha… Nara baik-baik aja ‘kan?
TISHA
Yap, dia baik-baik aja. Kenapa emangnya?
MADA
Udah tiga hari aku enggak bisa hubungin dia. Di sekolah juga udah enggak pernah ketemu lagi.
TISHA
(Pura-pura tidah tahu apa-apa) Wah, kenapa bisa kayak gitu? Kalian berantem?
MADA
(Menyengir, mengusap-usap tengkuk) Itu… Aku yang salah sih. Aku keceplosan ngomong suka sama dia.
TISHA
(Manggut-manggut) Oh, gitu ceritanya. Tenang aja, Da. Jangan overthinking, everything is gonna be alright. Mendingan kamu pulang terus istirahat. Nara baik-baik aja kok.
MADA
Makasih ya, Sha.
Tisha mengangguk, Mada berbalik dan berjalan menuju parkiran sepeda untuk segera pulang ke rumah.
CUT TO:
28. INT. RUANG TAMU – RUMAH MADA - SORE
Mada menghentikan laju sepeda kemudian meletakkan sepedanya di halaman rumah. Ia melihat sepeda Nara di depan rumahnya, Mada segera menengok ke dalam rumah, langkahnya membatu di ambang pintu. Di ruang tamu, Devi dan Nara terlihat sedang asik berdiskusi. Ada banyak potongan kain yang terhampar di lantai.
MADA
(Kaget) Nara? Kamu kok bisa ada di sini?
DEVI
Nara bantuin ibu desain baju, dia pinter banget ngegambarnya Da. Kok selama ini kamu enggak pernah bilang ke Ibu sih, tahu gitu dari dulu Nara sering-sering aja main ke sini, sekalian bantu Ibu nyelesain orderan jahitan.
MADA
Bu…
NARA
Mulai sekarang, Nara akan lebih sering main ke sini kok Tante.
DEVI
Beneran loh ya. Eh tapi enggak ngerepotin ‘kan?
NARA
Enggak, Tante. Enggak repot kok. Selama ini, justru Nara yang udah banyak ngerepotin Mada (Lalu tersenyum pada Mada yang masih berdiri di ambang pintu).
Mada balas tersenyum.
CUT TO:
29. EXT. JALAN DI DEPAN RUMAH NARA - SORE MENUJU MALAM
Mada mengantar Nara pulang. Langit sudah mulai gelap. Mereka berdua berhenti di depan pagar rumah Nara.
MADA
Aku kira kamu marah sama aku.
NARA
Lebih tepatnya kaget dan bingung.
Hening sejenak. Mada masih merasa bersalah.
MADA
Nar, kita masih sahabatan ‘kan?
NARA
Yaiyalah. Kenapa nanya kayak gitu?
MADA
Bukan apa-apa… Tapi kamu ngilang dan menjauh dari aku, aku pikir…
NARA
Katanya, cinta pertama seorang anak perempuan itu adalah ayahnya. Tapi seperti yang kamu tahu, Ayahku justru adalah patah hati pertamaku. Aku enggak mudah menerima orang baru karena terbiasa ditinggalkan. Tapi aku tahu, aku sangat beruntung karena akhirnya ketemu sama kamu, kenal sama kamu. Kamu temanku yang paling baik, Mada. Aku enggak punya alasan apapun untuk menjauhi kamu.
Mada menghela napas lega dan tersenyum. Nara membuka pagar rumah, namun suara Mada menghentikan pergerakannya.
MADA
Nar, aku mau memastikan satu hal lagi, boleh?
Nara mengangkat kedua alis, tersenyum dan mengangguk.
MADA
(Berdeham) Soal perasaan aku, berbalas atau enggak?
Nara berpikir sejenak, perlahan-lahan berjalan mendekati Mada. Mada cemas sekaligus gugup menunggu jawaban Nara.
NARA
Berbalas.
Mada terkejut, Nara tersenyum, kemudian Mada mengalihkan pandangan karena tidak bisa menyembunyikan perasaan gembira, wajahnya yang memerah. Sekali lagi ia menatap Nara, Mada kehilangan kata-kata.
CUT TO: