“Tuhan pun tau hidup ini sangat berat
Tapi takdir pun tak mungkin s'lalu sama
Coba-cobalah tinggalkan sejenak anganmu
Esok 'kan masih ada, esok 'kan masih ada”
Sebuah tembang lagu dari Utha Likumahuwa dimainkan dari handphone, earphone ini selalu aku pasang dalam perjalanan di pesawat. Pesawat sudah mendarat, aku yang setengah mengantuk, namun lagu yang barusan terdengar jelas memberik kenymanan. Sudah aku hapus semua pesan suaranya yang masih tersimpan kemarin.
Sehabis dari Bromo, aku memutuskan untuk menuju Malang dan menginap sehari terlebih dahulu, sebelum pulang untuk mengerjakan apa yang harus selesaikan. Cuti beberapa hari ternyata masih saja ditagih beberapa tugas, maka dari itu keputusanku untuk sebentar di Malang dan bekerja dengan suasana di kota yang begitu sejuk tersebut adalah keputusan yang tepat.
Dari Bandar Udara Abdulrachman Saleh, Malang, aku memutuskan untuk pulang, bukan perkara yang mudah ketika hati ingin masih melanjutkan perjalanan, merasa masih tak puas. Namun aku akhirnya sudah lebih dari lega, karena rundungan duka hati ini pasti akan berlalu. Mungkin untuk bulan berikutnya aku akan sering melakukan perjalanan sendiri. Turun dari pesawat aku langsung menuju ruang kedatangan, dan karena aku tiba disaat sore hari di Bandara Soekarno Hatta, ternyata perut lapar, baru ingat kalau aku makan terakhir adalah jam 10 siang. Tidak ada salahnya melipir sejenak ke tempat makan ayam cepat saji.
“Aksa!”
Ada yang memanggil, dan seperti suara yang tak asing bagiku, bagiku yang sedang melupakan suara itu. Saat aku menengok, ternyata benar saja bahwa itu dia, sosok yang telah membuat aku jungkir balik untuk melupakannya dan mencari kebahagiaan yang lain.
“Halo Kirana, lo di Indonesia?”
“Iya, gue ada keperluan mendadak di Indonesia, lo mau kemana?”
“Oh gitu, gue mau pulang ke rumah, soalnya baru aja sampe dari Malang”
Momen yang sangat tidak biasa, setelah ada selang setahun, ia tiba-tiba muncul tanpa diduga-duga, sosok Kirana Mawar Kleij, perempuan blasteran ini seperti jatuh dari langit mengagetkanku. Dengan style yang khasnya yang kerap menyukai warna yang tidak begitu mencolok, ia berjalan menghampiriku. Kikuk, terdiam beberapa detik seperti terdiam berjam-jam saat tidak sengaja ia muncul dalam ujung perjalananku minggu ini.
“Maaf ya, sehabis waktu itu gue ngomong ke lo, akhirnya gue lebih memilih buat gak nyapa lo”
Tiba-tiba terlontar kalimat itu begitu saja, kami sama-sama terdiam cukup lama. Terdengar ramainya kegiatan di Bandara, suara pemberitahuan kedatangan serta keberangkatan, dari jauh juga masih terdengar suara pesawat yang mulai lepas landas. Beberapa detik yang terasa canggung, aku pun seperti masih tidak percaya melihat kehadirannya.
“ Gak apa, itu kan pilihan lo, anyway gue lanjut lagi ya udah ditungguin sama adik gue”
“Tunggu sebentar!”
Tiba-tiba aku agak meninggikan suara untuk memintanya beberapa menit lebih lama.
“Kenapa lo gak bisa nerima perasaan gue waktu itu?”
“Karena… karena gue gak bisa terima kondisi itu, gue nyaman sama lo tapi gue cuma bisa nerima itu sebatas teman dan gak lebih, bukan sosok lo yang gue mau untuk jadi pasangan hidup, jangan cari semangat atau bahagia dari diri gue, cari bahagia diri lo sendiri dan jangan gantungin perasaan bahagia itu ke diri gue, cuma lo yang bisa nentuin bahagia itus sendiri, bukan dari gue atau kita yang memang bertahun-tahun deket, sori banget tapi please ini jawaban terakhir dari gue”
Aku hanya bisa memandanginya dan tersenyum lega, seperti akhirnya semua yang masih belum ada jawabannya kini sudah terjawab. Memang benar adanya kalau perjalanan ini membantu diriku untuk lebih tenang dan bisa memaafkan banyak hal.
“Akhirnya gue bisa denger jawaban lo langsung, terimakasih juga sudah ingetin gue tentang rasa bahagia dan ikhlas, gue paham kok kalau perasaan gak bisa dipaksakan, jadi mau gimana lagi ”
Kami hanya saling menmberi kesan “Yasudahlah” tanpa kalimat tersebut, terlebih aku yang akhirnya lebih dari lega mendengar jawabannya, potongan pertemuan ini seperti sudah disuratkan menjadi sebagian penutup perjalanan ini.
“Gue pergi dulu ya, jaga diri lo baik-baik ya”
“Iya lo juga… thanks ya”
Sekali lagi, Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman yang aku lihat seperti senyuman dengan sedikit arti. Aku pun hanya bisa melihatnya dan membalas dengan sebuah senyum, senyum dan raut wajah yang menunjukan bahwa diri ini tidak apa kalau ia mau pergi sejauh mungkin. Kita sama-sama membalikkan badan, toh ketidak sengajaan ini membuatku semakin mengerti bahwa kadang memang semua sudah ada porsi secukupnya. Aku lebih memahami “Kita” yang tidak sesuai rencana adalah sesuatu yang bukan sia-sia, karena memang kepergianmu memberi pelajaran.