Perjalanan Bukan Pelarian
7. Perjalanan Menyapa Pagi #7
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

“Ayok, ayok, ayok semua masuk, hei mister come on, come on, don’t late because

we will see sunrise”

Teriakan sang supir yang memanggil rombonganku, dengan bahasa inggris seadanya dan ada sedikit logat medok, aku menuju ke mobil tersebut. Mobil Toyota landcruiser 40, atau baisa disebut Jeep hardtop ini mulai dipenuhi dengan orang yang masuk. Tangan yang buru-buru memakai sarung tangan, tidak henti mencoba banyak bergerak dari biasanya. Dingin yang membuat badan menggigil ini ternyata baru aku rasakan kembali saat keluar dari tempat penginapan.

 

“Ayok mas masuk, sampean duduk depan aja”

 

Saat aku duduk dan menengok ke belakang, terlihat wajah-wajah bule yang memberi senyuman kaku, aku hanya bisa membalas senyumnya dan tidak sok asik. Lagi-lagi aku orang Indonesia sendiri. Mata masih sangat mengantuk, suasana gelap mobil dan perjalanan yang membawaku harus bangun dini hari ini membuatku tidur, namun dengan kondisi yang tidak nyenyak.

 

Mobil sudah mulai ngebut, yang aku rasakan adalah jalan yang sudah mulai tidak rata membuat mobil ini jalan namun seperti terguncang ke kanan dan kiri. Sama-samar suara motor trail, mereka lewat dari arah samping mobil, sepertinya banyak, aku pun masih dalam keadaan kantuk, antara sadar dan tidak.Mobil seketika mulai berjalan pelan, dan berhenti, suara pintu belakang pun sudah dibuka, maka aku langsung terbangun. Dengan setengah sadar aku meregangkan tangan ini, lalu segera turun dari mobil.

 

#

“Lah ini sudah sampai, ini namanya area Pos Dingklik, nanti jam 6 sampean ke arah sana ya mas, jadi itu tempat parkir semua mobil jeepnya, mas pokoknya hafalin aja nomor platnya, saya nunggu di sana, soalnya kita jam 6 bakalan menuju ke bawah ke area pasir berbisik terus jam 8 balik ke tempat penginapan”

 

Sambil menyalakan rokok, supir itu pun berakata, untungnya aku tidak perlu menjelaskan ke bule-bule, karena sedikit banyak sang supir paham bahasa inggris untuk menjelaskan jadwal yang ada. Dekat masih menahan kantuk yang berat, aku mulai berjalan mengikutin beberapa orang yang sudah mulai keluar dari Jeep mereka, Lalu aku dan rombonganku berpencar, jalan menanjak menuju ke bagian bukit. Aku pun mengikuti rombongan yang terus menanjak ke atas, terlihat beberapa warung yang cukup terang, dan pedagang yang menawarkan makanan atau minuman. Hawanya dingin yang benar-benar menusuk, aku pun terus bergerak mengikuti ramainya kerumunan orang.

 

Kerumunan orang sudah mulai terlihat, ramai semuanya menyalakan senter. Berjalan menyusuri jalan setapak, saat itu memang cukup ramai, maka ada saja antrian yang membuatku harus sabar berjalan. Sampai akhirnya terbentang area bukit dengan kerumunan manusia, mereka sudah mengambil posisinya masing-masing. Dari jauh sudah terlihat, satu-persatu ada saja yang berteriak menunujukkan mataharinya sudah memunculkan sinarnya.

 

Dengan sedikit senter dari handphone aku masih berjalan untuk mencari tempat yang pas untuk mengambil gambar. dan pada akhirnya berdiam untuk waktu yang sangat lama sambil melihat ke arah puncak yang mulai terlihat sebuah cahaya.

 

“Sejenak aku tidak ingin mengeluarkan kamera dari tasku, ingin waktu ini berhenti dan melihat indahnya warna terang yang berpadu, sedikit biru dibawahnya, namun merah dan oranye terlihat berani, menyusul kuning cahaya matahari yang menyapa dengan perlahan, selamat datang matahari dari tanah tertinggi di pulau Jawa ”

 

 

 Mulai mengambil kamera dari tas, mengabadikan beberapa momen yang nantinya bahkan tidak akan aku pernah lupakan. Sendiri mengamati semua, namun benar adanya bahwa alam sedang bekerja memulihkan hati yang dilanda kelelahan akan kecewa, suasana ibu kota, dan juga akan perasaan tersesat. Di tempat ini, malah aku termenung, tentang apakah yang aku kerjakan selama ini bisa memuaskan perasaan dan juga cita-cita, serta tentang cerita cinta yang bahkan sudah kadaluarsa.

 

“Sesekali melihat mereka yang akhirnya berhenti mondar-mandir, dan menatap pusat cahaya itu muncul, sungguh khidmat, angin semilir menyapa dan masih memberikan dingin yang menusuk”

 

Saat sedang mengambil gambar sebuah siluet beberapa pendaki, aku melihat mereka yang sedang tertawa bersama. Tidak fokus denga kamera, serta menikmati pemandangan alam yang indah ini sekali lagi membuat bulu kuduk merinding dengan cara yang baik. Susah dijelaskan, tapi kau akan merasakannya ketika akhirnya melihat sesuatu yang betul-betul indah. Mengamati sekelilingku ada sekumpulan orang, mereka mengingatkan aku pada tawa tanpa henti saat setelah berbicara serius di jam-jam dini hari bersama sahabat. Mengingatkanku pada waktu dimana tuntutan paling besar adalah tugas kuliah yang bahkan kau tidak begitu suka mata kuliahnya.

 

#

 Turun dari mobil, pintu langsung ku tutup, dan aku akhirnya menginjak pasir-pasir berwarna abu-abu, dengan pemandangan mobil-mobil jip yang parkir dengan rapih. Entah kenapa rombongan kali ini isinya beberapa orang Eropa, yang ternyata aku baru sadar mereka saling berpasangan, dan jelas sangat membosankan dibandingkan yang kemarin. Melihat beberapa tenda di pinggir padang pasir ini rasanya sangat asing bagiku.

 

“Remember time ya, no late mister ten a clock ya!”

 

Sebuah logat medok yang keluar dengan bahasa inggris tersebut mempunyai ciri khas tersendiri. Sambil menunjukan jari ke jam tangan sang supir berkata kepada rombongan.

 

Kami pun berpencar, aku memutuskan untuk melihat ke sebuah bangunan Pura membentang di tengah lautan pasir. Namun langkahku diikuti seekor anjing, seperti anjing yang sangat jinak, mereka sepertinya ada lebih dari satu. Tapi yang satu ini bewarna abu-abu dengan gagahnya ia tidak terlihat anjing rumahan,bahkan menurutku ini seperti anjing hutan dan sejenisnya.

 

 Terus mengikutiku kemanapun aku melangkah. Perlahan, ia tidak seperti megejar atau bahkan ingin menyerang. Aku berhenti sejenak, ia pun berputar mengelilingi sekitarku, maka aku lanjutkan lagi sampai menuju ke bangunan yang membuatku penasaran. Saat sudah banyak kerumunan orang, anjing tersebut meninggalkan dan berlari ke arah tempat yang lebih sepi.

 

 Lagi-lagi pemandangan hari itu membuatku terdiam lama. Terhemapas sebuah Sabana yang luas, bukit-bukit berbaris.

Tidak cuma itu, ada juga rombongan yang membawa bendera merah putih, sementara banyak juga komunitas motor yang memakai atribut merah putih. Baru teringat kembali bahwa hari ini tepat 17 Agustus, romansa merah putih yang bertebaran di area tanah tertinggi di pulau Jawa ini menbuatku terkagum-kagum.

 

Ada yang mengibarkan bendera merah putih, ada juga yang sedang merayakan berkumpulnya mereka dengan keliling menaiki motor matic. Tidak lupa mereka yang sedang berkuda berkeliling lautan pasir, sekilas merasa seperti di film laga atau negeri dongeng.

 

Sampai di Pura tersebut, terasa keluhuran budaya yang kental, bangunan ini usut punya usut memang baru dibangun di akhir tahun 90an. Setauku tempat ini akan benar-benar ramai jika ada upacara di hari tertentu.Terpampang dari arah bukit, sebuah tangga yang begitu tinggi. Jalan menuju kawah Bromo siap aku daki. Memang membawa tas secukupnya adalah hal terbaik, saat menanjak pun tidak perlu sering berhenti. Langkah kaki ini mengikuti anak tangga yang menurun dan menanjak, sebuah tantangan yang menyenangkan.

 

Pendakian yang singkat ini bisa dilakukan lebih mudah dengan cara menyewa kuda, namun cukup mahal ketika harus menyewa kuda. Jadi aku memutuskan untuk berjalan kaki saja (alih-alih memutuskan pilihan, padahal ingin lebih hemat) aku nikmati perjalanan menyusuri kawah Bromo. Sampai di atas, aku terdiam kembali, menikmati suasana yang benar-benar baru.

 

 Kawah yang masih aktif ini juga terus mengeluarkan kepulan asap, seraya memakai buff untuk dijadikan masker, aku mencari tempat untuk sedikit merenung dan mengambil gambar.

 

“Dari melakukan sebuah perjalanan ini aku selalu bisa tidak khawatir, lebih tenang, pun juga setiap tempat ini selalu memberikan kesan tak terlupakan, damai dalam hati, dan juga memberikanku gambaran baru akan sebuah perjalanan hidup”

 

#

Padang Sabana begitu luas, sejauh mata memandang, aku benar-beanr takjub melihat sebagian dari keindahan alam tanah Jawa ini. Sungguh memanjakan mata, hijau, birunya langit yang selalu menyapa, serta bukit yang banyak orang mengenalnya dengan sebutan Bukit Teletubbies membuat aku terlena dan malah jarang memotret. Sedikit mengambil gambar, dan aku berjanji kepada diri sendiri untuk mengunjungi tempat ini sekali lagi, lebih mendalam dan menjelajah lagi, atau bahkan mendaki lebih tinggi lagi. Matahari sudah benar-benar tinggi, angin sejuk masih bisa dirasakan, dinginnya pun perlahan berubah menjadi sedikit hangat. Aku baru mengingat bahw aku tidak bisa sampai terlalu siang di sini, maka kaki berjalan cepat menuju parkiran mobil.

 

Warung-warung yang bertebaran cukup menggoda untuk aku membeli segelas kopi instan hangat. Dari jauh sudah terlihat anjing yang tadi menyambutku, masih sama, ia seekor yang persis muncul tadi. Mengikutiku, mungkin berharap diberi makan atau hanya ingin bermain, aku coba menghampiri dan memegang kepalanya. Jinak, dan entah ada apa ia dari tadi mengikuti begitu saja, yang jelas aku harus meninggalkannya.

 

“Lo akan baik-baik aja kok”

 

Mengusap-ngusap kepalanya serta mencoba mengajak berbincang hewan yang katanya paling setia. Aku tidak menyangka untuk ukuran hewan liar yang berada di alamnya kenapa yang satu ini sangat ramah, seperti alam ingin memberitahukan bahwa mereka bisa membantuku menyembuhkan dengan apa-apa yang kita tidak duga akan muncul.

Sang supir sudah memanggil dari jauh, untuk memberitahukan bahwa mobil sebentar lagi mau berangkat untuk kembali ke penginapan.

 

 

 

 

 

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar