Perjalanan Bukan Pelarian
6. Sampai #6
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Mini bus melaju dengan cepat, sang supir sudah lihai dan cekatan dalam mengendarakannya. Orang-orang asing yang hanya rebahan di kursi belakang hanya bisa berdiam, aku yang duduk di depan tepat samping supir tidak bisa istirahat. Mata terjaga, antara menikmati angin kencang karena ngebutnya laju sang supir. Lika-liku, belokan serta tikungan tajam pun dilewati oleh bison yang gagah ini, wajah sang supir pun sepertinya sudah lebih tersenyum sekarang, dibandingkan tadi. Menyadari sudah tanda-tanda bahwa aku dan manusia-manusia asing ini akan tiba.

 

“Akhirnya tiba juga di Cemoro Lawang, pintung gerbang menuju kawasan Bromo”

 

Aku mulai menganga, sudah lama rindu dengan suasana pegunungan, tapi dari pintu gerbangnya saja aku sudah dibuat kagum. Semilir sejuk anginnya menggugah hati. Sudah mulai terlihat pemandangan bukit serta kebun yang memanjakan mata menambah semangat bagiku. Hijau dan asri membuat kedamaian tersendiri bagiku.

 

“Saat turun dari mini bus, sejujurnya aku bingung harus mencari penginapan dimana…?”

 

Terlihat suasana masyarakat disekitar sana sedang berkegiatan, ada juga yang turun ke jalan dan menawarkan tempat menginap. Pintu mobil aku buka, lalu aku dan segerombolan bule mulai turun dari mini bus model lama tersebut, tas kami juga mulai diturunkan dari atap mobil.

 

“Thank you very much bro!”

 

Sambil memegang pundakku, Jimm mengucap terimakasih, dan tak lupa saling salam dengan orang-orang asing yang hampir menjadi korban paksaan supir. Mereka memasang wajah-wajah lega setelah melewati perjalanan yang banyak lika-likunya. Bule-bule yang lainnya pun berpencar, hanya aku yang masih bingung, karena ini betul-betul dadakan, aku pun masih duduk-duduk di dekat bison parkir.

 

“Mas, sampean sudah dape tempat nginep?”

 

“Sejujurnya belum pak, ini baru mau nyari”

“Yaudah sini tak kasih tempat nginep rekomendasi punya kenalan saya mas, murah dan sudah sama paket dianter karo jip”

 

“Weh boleh pak”

 

Langsung saja aku diantar menuju sebuah rumah yang mempunyai 2 lantai, bangunannya seperti rumah lama bernuansa putih.

 

“Silakan mas, tak tinggal yo”

 

“Sama-sama pak, mantur suwun”

 

Sudah jauh mobilnya berjalan, aku pun disambut oleh bapak-bapak berpenampilan necis, dengan jaket jeans serta celana nyentrik dengan berbagai macam tambalan.

 

“Selamat datang mas, langsung aja lihat-lihat kamarnya dulu, ini ada kamar sehari 200 ribu, mas juga sudah dapat paket nanti malem dijemput sama jeep, jam 2 pokoknya harus udah bangun, karena sudah jadwalnya begitu mas untuk dapet sunrise di Bromonya”

 

Setelah mendengarkan penjelasan yang panjang, aku pun akhirnya dapat memasuki kamar. Sore angin semilirm dingin sampai menyentuh kulit tanganku yang tidak memakai sarung tangan. Karena aku penasaran dengan sekeliling area sini, jadilah aku keluar dari kamar, serta berjalan membawa kamera. Niatan untuk mengambil gambar tenyata memang mendapat restu,

 

Melanjutkan dengan jalan kaki sedikit saja aku melihat ada warung dan beberapa tempat penginapan yang menarik. Bangunannya terlihat ada taman, serta ada dibuat dari kayu, ornamen yang khas terlihat dari luar. Aku mencoba ke arah tempat penginapan tersebut. Lama-lama langkahku ini mencoba jalan menuju jalan yang berbeda, terlihat hamparan kebun. Ada sebuah rumah kecil, seperti tempat para petani setempat atau warga yang mempunyai kebun di area tersebut menyimpan barang.

 

Kamera ini siap mengambil beberapa momen, dari bapak-bapak yang sedang membereskan pekerjaannya di lahan yang ia tanami beberapa jenis sayur.

 Kepala pun menunduk, memberi senyum dan menyapa bapak-bapak yang aku foto tadi. Semakin terbawa oleh jalan setapak, ternyata aku juga tidak sadar ada area yang sudah tidak terlihat lagi kegiatan manusia.

Mencoba memutar langkah untuk balik ke menuju tempat penginapanku, sepanjang jalannya hanya ada beberapa anjing yang lalu lalang, pohon-pohon yang bergoyang karena hembusan angin sepoi-sepoi. Berhenti sejenak, aku keluarkan noted kecil yang sempat dibawa, menulis seadanya tentang apa saja yang telah terjadi hari ini dalam bentuk puisi.

 

Menulis sedikit adalah kelegaan tersendiri, suasana yang indah dan sangat syahdu mendukung hati ini untuk sekedar duduk sebentar dan melihat sekeliling sekali lagi. 

 

#

Saat kaki ini melangkah tak sadar, seperti terbawa angin, aku menemukan sebuah lokasi dimana sore di Bromo begitu memanjakan mata. Aku di titik ingin berandai-andai kamu di sini, ini perjalananku untuk menyembuhkan hati. Sambil memakai earphone, aku ingin menikmati suasananya dengan beberapa tembang lagu.

“ Where to, where do I go?

If you never try, then you'll never know

How long do I have to climb

Up on the side of this mountain of mine?”

 

Lagu Coldplay berjudul speed of sound menambah senyum merekah. Sambil melihat pemandangan yang pastinya akan jarang aku temukan. Langit yang terdiri dari beberapa warna, ada biru, merah, kuning serta gelap yang menyapa. Belum lagi terlihat lautan pasir berwarna abu-abu dan beberapa puncak tinggi. Angin yang sudah mulai dingin masuk ke relung, aku pun masih sibuk dengan mengambil gambar dan merekam pemandangan ini.

 

Terpikir kembali bahwa catatan perjalanan hari ini bisa aku tulis untuk isi blogku yang sudah terbengkalai. Suara perut keroncongan tidak bisa menipu, alhasil aku mencari warung makanan warga setempat.

 Makanan yang menyelamatkan di kondisi seperti ini adalah semangkuk mi kuah rasa ayam bawang dengan telur serta teh hangat. Lalu malam mulai datang, kembali ke tempat menginap untuk tidur lebih cepat, karena dini hari akan bangun untuk perjalanan menyapa pagi.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar