“Lagi kangen sama Indonesia, apa lagi sama keluarga di sana. Tapi yang jelas gue balik kok tahun depan”
Tiba-tiba saja terbangun dengan kondisi headset masih terpasang dan samar-samar pesan suara yang terdengar. Rese juga rasanya masih terngiang-ngiang orang yang ingin aku lupakan. Lagi-lagi ada lamunan tentang perempuan yang kerap membangunkan diri ini walau hanya lewat telfon.
“Mungkin, aku harus lebih siap untuk menghapus satu-persatu pesan suaranya, tapi kenyataannya aku baru bisa menghapusnya sedikit, dan masih banyak lagi yang tersimpan.”
Perjalanan malam dari Stasiun Tugu menuju Malang aku lakukan saat malam. saat subuh Adzan yang berkumandang, semilir angin sejuk, serta orang yang berbondong-bondong keluar dari gerbong kereta menjadi pemandangan saat itu. Ini lebih dingin dibanding hari kemarin saat aku tiba di Yogyakarta. Aku tidak bisa membayangkan banyak kisah, karena belum ada memori selain bunyi perut yang keroncongan sudah terdengar.
Saat ingin sembayang, air yang dingin seperti mengutuk seluruh tubuh saat aliran airnya membasuhi muka, tangan dan kaki, dan beberapa bagian tubuh yang terkena air segenap sapaannya membangunkanku yang masih tersihir kantuk. Lagi-lagi perut sangat keroncongan ini terdengar, langit di kota ini pun sudah mulai terang, ini waktu yang tepat untuk aku mencari makanan. Saat keluar dari Stasiun ini yang terpikirkan hanyalah semangkuk bakso malang yang hangat.
Setauku di beberapa kota di Jawa ini selain nasi dan bubur sebagai sarapan, ada juga mi ayam dan bakso yang sudah buka di pagi hari.
“Karena yang terpikirkan sedari sampai adalah sesuatu yang bisa menghangatkan dan memenuhi isi perut, karena perjalanan masih cukup jauh untuk sampai ke tempat tujuan”
Karena baru pertama menginjakan kaki di tempat ini, aku memanfaatkan google map untuk mencari letak bakso presiden yang terkenal karena keunikannya. Jalan kaki idak menjadi masalah, toh tidak begitu jauh kalau di map, dan udara dingin kota Malang menjadi sahabat saat memulai pagi. Supir-supir angkutan umum sudah mulai menawari yang lebih ingin jalan ini, tapi nyatanya hanya bisa dilewati saja.
Langkah kaki disuguhi pemandangan pagi dengan suasana berbeda. Seperti toko-toko dengan gaya bangunan lama yang baru buka, hiruk-pikuk anak sekolahan yang berangkat bersama-sama, tapi ada yang berbeda dengan tampilan mereka.
“Aku baru mengingatnya kalau esok tepat tanggal 17 Agustus, biasanya banyak anak sekolah yang memakai pakaian adat, dan mereka kerap melakukan pawai”
Berjalan mengikuti iringan anak-anak dan gurunya yang sedang melakukan jalan santai, mereka pun membagikan bunga mawar kepada para pejalan yang lewat, termasuk ke diri ini yang sedang mengamati senyum merekah dari mereka.
“Ini bunganya buat mas.. semoga seneng yo mas hehe”
Kata seorang bocah laki-laki yang memakai baju lurik berawarna cokelat kegelapan, ia memberikan bunga dalam genggamannya. Saat aku balas terimakasih, sembari memasang senyum yang lebar ia melanjutkan perjalanan. Bocah itu juga berkata agar aku selalu diberi kebaikan. Mereka satu-satu berbaris dengan rapih, lalu berjalan beriringan sambil sesekali menyanyikan lagu nasional 17 Agutus.
“Tujuh belas Agustus tahun empat limaItulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa..
Hari lahirnya bangsa Indonesia Merdeka”
Irama lagu dan suara anak kecil yang beramai-ramai bernyanyi semakin menambah semangat untuk melanjutkan perjalanan.
Tidak ada beban dari senyum mereka, lepas bernyanyi, lantang mengucapkan setiap kata-kata, dan tidak ada yang mengeluh saat melakukan perjalanan yang aku rasa cukup jauh dari sekolah mereka.
Aku sudah melihat sebuah plang bertuliskan “Bakso President” yang menyejukan rasa, karena rasa lapar ini sudah tidak tertahankan lagi.
Tak masalah harus menyebrang melewati rel kereta sedikit, dan disambut oleh bangunan sederhana yang sudah terpampang menu, suguhan oleh-oleh dan meja makan khas rumah makan. Tak disangka pagi ini pengunjungnya sudah berdatangan,
“Menu yang aku pesan adalah semangkuk bakso komplit dan tambahan bakso bakar, segelas teh manis hangat menjadi pelengkap pagi yang cerah.”
Saat pesanan datang di meja makan, aromanya sangat siap untuk disantap perlahan. Aku memilih untuk makan di bagian luar kedai, bagian samping persis rel kereta api. Sensasi makan pagi di hari itu tidak akan pernah aku lupakan, bayangkan saja, aku makan semangkuk kuah bakso dan mejanya ikut bergoyang karena getarann disaat kereta lewat.
Suara kereta yang melaju tak ubahnya menjadi alunan nada-nada ramai sebagai penghibur saat aku makan semangkuk bakso. Lucu juga, bisa menikmati hal yang mungkin tidak akan pernah terulang kembali, tanpa harus mengambil gambarnya.
“Terkadang ada momen seperti ini, momen dimana aku hanya ingin menikmati tanpa harus sibuk update di sosial media, atau aku potret.”
Perut yang keroncongan ini terbayar tuntas dengan perjalanan pagi dari Stasiun masih menjadi pembuka. Buru-buru jari mulai mengetik dan mencaritahu tempat tujuanku lewat handphone.
#
Mata memandang dengan cara yang asing, melihat sekeliling, banyak pedagang maupun ramai orang yang lewat. Aku tiba di Terminal Arjosari, seperti salah syarat untuk melanjutkan ke titik tujuan, maka aku harus ke tempat ini terlebih dahulu. Sudah membeli tiket, maka aku duduk di tempat tunggu sambil melihat apa ada yang bisa dibeli untuk cemilan, atau sekedar membeli sebotol air putih untuk persediaan.
Anak kecil yang saling kejar-kejaran, berteriak sambil tertawa mengitari tempat tunggu di Terminal Arjosari. Pedagang yang memikul barang jualannya juga kerap berkeliling menawarkan satu-satu barang jualannya.
Sambil agak memaksa agar mereka-mereka yang menunggu bisa membeli, si penjual dengan persuasif tetap meyakinkan orang-orang agar membeli barangnya, tidak tanpa embel-embel minta dikasihani, dan tetap berjuang.
“Ayo mbok beli mas, dijamin enak ini kerupuknya, baru digoreng tadi pagi, gak pake mecin dan perasa-perasa lainnya”
Ada juga yang menawarkan dengan kekeh, tanpa basa-basi ia langsung meletakkan sebungkus kacang goreng disamping tasku, lalu si pedagang ini melanjutkan dengan keliling, diakhiri dengan menghampiriku lagu dan berkata…
“Beli mas, enak lo ini kacang kriuk dijamin bikin nagih, udah dicoba dulu aja”
Mau tidak mau aku harus membelinya dengan muka sedikit tidak enak, tapi tidak apa, pun juga bisa menjadi penghilang kantuk di perjalanan. Gigitan pertama seperti biasa saja, kedua sudah mulai nagih, dan ketiga kalinya sudah terasa enak dan gurih. Antara lapar dan karena sarapan terlalu pagi menjadi sebuah alasan yang membuat mulut ini terus mengunyah.
Tidak salah memang aku membeli 2 bungkus kacang. Termenung melihat suasana kegiatan di terminal, jarang sekali aku melihat pemandangan seperti ini, angin masih sepoy-sepoy berhembus, tidak terlalu terik dan panas di hari ini. Tersadar ada suara kenek yang menggelegar, memberi informasi bahwa bus sudah yang akan menggantarkan ku ke tempat tujuan selanjutnya sudah tiba.
Bus masih belum berangkat, masih menanti penumpang lainnya. Pengamen yang masuk, serta pedagang yang bergantian menawarkanku makanan pun juga terus berkeliling dari pintu masuk ke pintu pintu keluar.
Menurut blogger yang pernah melakukan perjalanan, sekitar 1 jam setengah atau 2 jam perjalanan akan ditempuh. Bus telah berjalan, ke arah pintu keluar terminal, perlahan-lahan di awalnya sampai saat jalanan di depan cukup sepi bus pun menambah kecepatannya.
“Membuka sedikit kain horden di jendela bus, lalu aku menikmati pemandangan yang menyejukan, cukup menyilaukan mataharinya, tapi lebih baik dari pada di kota”
Aku memasang earphone kembali, dan membiarkan lagu terputar, serta pesan suaramu yang ku simpan, tak kuhapus, bahkan masih berharap akan ada pesan balasan darimu.
#
Terbangun, mata mulai membuka dan melihat ke arah luar. Kalau aku lihat suasananya sudah mulai berbeda, bus sudah mulai masuk ke terminal. Di sini cukup asing, dan terik matahari mulai menyapa. Suasana hari itu sepi sekali, dan menurut petunjuk selanjutnya aku masih harus mencari kendaraan lain untuk sampai di tempat terakhir.
Terminal Bayu Angga, aku pertama kali melangkahkan kaki di sini, panas namun hembusan angin sudah memberi pertanda dataran tinggi sudah mulai dekat. Melihat sekeliling, agak linglung aku mencari kendaraan. Petunjuk selanjutnya mengharuskanku menaiki mini bus yang kalau orang sekitar sini menyebutnya bison. Sejauh mata memandang, ke kanan maupun ke kiri aku tidak melihat bentukannya, entah hari ini memang sepi atau tempat ini hanya ramai di hari-hari tertentu.
Aku melangkahkan kaki lagi ke luar terminal, ternyata ada beberapa wujud mini bus tapi tidak banyak. Di pinggir-pinggir terminal ada warung yang menjual jajanan maupun makanan berat. Parkirannya pun diisi oleh mini bus, tapi anehnya tidak seramai yang aku bayangkan, atau setidaknya ada supir-supir yang menawarkan jasanya untuk mengantar ke Cemoro Lawang.
“ Hey mate! Do want to go to Cemoro Lawang? I mean the moutain”
Ada sosok laki-laki berambut pirang, memakai kaca mata hitam yang sedang bersantai lalu menghampiriku, sembari bertanya ia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya…
“Sorry before that, my name is Jimmy”
Ia dengan beberapa temannya, satu perempuan berambut panjang bertampang Amerika latin bernama Anna, satu lagi adalah laki-laki tinggi besar dan mempunyai jenggot seperti sosok kepala sekolah di film Harry Potter ini mempunyai nama Chris.
“Yes i will, why?”
Ia menceritakan panjang lebar dengan segala kecemasannya. Beberapa supir tidak ingin mengantar kalau jumlah orangnya tidak sesuai yang diminta, mereka hanya ingin berangkat jika penumpangnya sudah ada 10 orang. Kalau pun berangkat mereka meminta biaya ekstra. Sementara itu, kami hanya berjumlah tidak lebih dari 4 orang. Pertanda aku dan beberapa turis ini terkena jebakan betmen, alih-alih mengancam enggan berangkat, salah satu supir menembak harga dengan biaya peorangnya 50 tribu.
“Bangsat! Kalau dari artikel yang pernah ku baca, biaya aslinya hanya 25 ribu tiap orang”
Sangking kesalnya, aku juga bingung harus apa selain menunggu jika ada turis selanjutnya yang ingin melanjutkan perjalanan bersama. Kami akhirnya hanya berbincang ngalor-ngidul, menanti beberapa orang lagi. Sudah satu jam lebih menunggu, akhirnya ada sekumpulan turis yang menghampiri. Chris tanpa ragu menceritakan kondisi yang ada, satu-satu raut wajah mereka berubah, entah harus sedih atau senang. Aku baru sadar kalau dari sekumpulan ini hanya aku yang orang Indonesia, lima orang yang baru datang pun semuanya datang dari Benua Eropa, dari logatnya ada orang Perancis, Belanda, Itali, dan Belgia.
Lalu Jimmy menunjukku sebagai juru bicara untuk negosiasi dengan supir yang statusnya masih tersangka, karena ia menaikkan harga, alih-alih aku danb segerombolan bule-bule ini terjebak, antara hari semakin sore dan akan luntang-lantung menunggu, atau harus berangkat satu jam lagi.
“Mungkin bisa dibilang ini yang namanya kerjasama antar negara, eh tunggu sebentar… ini sih sama saja aku yang maju..”
Supir tersebut hanya menawarkan dengan suara lantang, lalu diiringi dua kata saja yang aku dengar dengan jelas.
“You yes or No?”
Mau tidak mau aku meyakinkan supir, karena waktu semakin mepet,pun kalau terlalu sore juga tidak seru, karena kami ingin menikmati sunset di ranah tertinggi di pulau Jawa.
“Pak kalau kita seorang 30 ribu aja piye pak?
“Wah gak bisa mas, 50 ribu baru kita berangkat, kalau ndak mau yasudah, ini masnya sama temen-temennya dari pada nunggu sampai sore loh”
“Kalau 35 ribu gimana pak, ayolah pak, biasanya kan juga 25 ribu wae toh”
Dengan bahasa jawa seadanya aku debat, ditambah ada beberapa bahasa dan logatnya yang tidak aku mengerti, seperti ada logat madura, dan ditambah ia sempat berbincang dengan penjaga warung dan tukang parkir dengan segala isyaratnya. Dari pada cek-cok panjang, mentok-mentok hanya bisa setuju di harga 40 ribu.
“Hadapi dengan senyuman, dan pada akhirnya orang-orang bule itu pun setuju”
Mobil bergerak meninggalkan halte dan warung-warung, ada rasa lega yang melanda hati. Memang tidak baik terlalu lama terjebak dengan hal-hal yang berputar di otak kita, mau tidak mau harus mencari cara untuk melangkahkan kaki tuk berpindah. Mobil yang aku naiki ini tidak ber AC, jadi jendela di depam memang sengaja dibuka lebar-lebar. Sejuk betul, pertanda baik dalam mengawali perjalanan yang tinggal sebentar lagi akan tiba di tempat tujuan.
“Loh kenapa berhenti pak…?”
Lagi enak-enaknya menikmati angin sejuk ini, tiba-tiba mobil berhenti.
“Anu mas… ini bannya gembes yang di belakang”
“Yah terus gimana pak…?”
“Gini mas, sebenarnya saya kenal kok sama yang punya bengkel dekat-dekat sini, tapi sampean aja yang mampir ke sana, jujur aja saya lagi berantem sama yang punya bengkel”
“Yah pak, berantem kenapa?”
“Sampean bayangin aja punya ayam yang dipelihara lama, terus tiba-tiba main dimasak aja, dia kira itu ayam gak ada yang punya, terus saya tanyain dia nggak mau ngaku, saya kesel banget mas”
“Terus nanti kalau saya ke sana bapak kemana, kan pasti ketemu juga pak..”
“Saya pergi sebentar dulu mas, kalau sudah selesai mas bisa hubungi nomor hape saya, nih mas dicatet ya”
Dalam hati paling terdalam yang pernah aku selami, aku mengucap “Bangsat!!” ingin teriak tapi tak bisa. Lebih membuat kesal dibandingkan macetnya Jakarta, Client yang sudah menagih hasil kerjaan, atau bahkan tukang parkir yang suka muncul tiba-tiba di mini market.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tenang bergerak cepat menuju ke bengkel yang berentuk rumah dengan garasi terbuka yang aku sudah lihat. Ada-ada saja drama dari sang supir yang memakai sepatu sendal, setelan kaos polo dan celana jenas yang sudah robek. Aku bingung harus tertawa atau kecewa, ini bercampur dengan rasa tidak enak kepada turis-turis asing. Wajahnya satu-persatu menampakkan kebingungan dan panik. Mau tidak mau aku harus menenangkan mereka. Menjelaskan yang penting-penting saja, terutama bagian kondisi ban mobil yang harus diganti, tidak bagian cerita konyol antara sang supir dan montir bengkel.
Berjalan beriringan bersama Jimmy, karena hanya ia yang bisa santai dan tidak dibebani keresahan akan keterlambatan.
“Permisi mas, mau minta tolong”
“Menopo mas?”
“Iki mas, bison yang tak tumpangi karo rombongan tiba-tiba bocor”
Saat tiba di bengkel kecil itu aku menceritakan kejadian yang terjadi, karena sempat ragu melihat tempat yang ternyata bengkel khusus motor ini.
Dengan muka memelas, aku memintanya dengan paksa, karena mau gimana lagi selain diganti dan kita cepat bergerak.
“Tadi pak supirnya cerita, katanya dia agak males sama mas yang jaga bengkel ini, mas inget kejadian ayam?”
“Loh iku bisone toh, aduh kalau begitu suruh orangnya ke sini mas”
“Ehiya gak apa mas, saya aja yang bawa bannya, tapi tolong ditambel dulu oke”
Dalam hati yang cukup panik, aku salah juga mulai memancing masalah lama. Jadi jalan baiknya adalah aku tetap harus menunggu dan membawa bannya setelah ditambal. Tidak sampai tiga pulu menit, ternyata bannya sudah selesai untuk aku giring menuju mobil bison tersebut.
“Mantur suwun yo mas, tak bawa bannya”
Sambil aku cepat-cepat menggelindingkan ban tersebut, tiba ada segerombolan rombongan bule-bule tersebut menghampiri.
“Let’s do it together”
Pada akhirnya kita memang sama-sama lelah, tapi sebelum menambal bannya kami pun sama-sama terlarut dalam lelah yang menyenangkan. Kami pun hanya bisa membawa senang dalam kondisi ini, saling becanda dan bahkan mengambil foto dengan gaya yang lucu memakai ban. Ada-ada saja mereka, cukup menjengkelkan, tapi akan lebih terasa muram kalau tidak mengambil sisi lain serta hikmahnya.