Perjalanan Bukan Pelarian
3. Tempat dan Genangan Kisah #3
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Langit masih gelap, matahari terlihat malu-malu untuk muncul. Angin yang dingin di saat subuh, dan juga ramai orang baru turun dari Kereta Senja Utama. Sudah lama tidak merasakan hal ini, terakhir sepertinya sudah lebih dari 3 tahun aku tidak menikmati pagi seperti sekarang. Yogyakarta seperti ini mengingatkan aku pada saat masih menuntut ilmu. Ada sekitar 4 tahun selama menghabiskan masa kuliah di kota pelajar ini kerap membawa banyak perubahan.

Hening sejenak, lalu dilanjutkan dengan suara kereta yang hendak berangkat kembali. Suasana Stasiun Tugu menurutku adalah salah satu nikmat yang aku terus syukuri, kenapa begitu? Karena jika aku tiba di sini, maka aku bersyukur bisa mengunjungi Yogyakarta kembali. Pelan-pelan mengingat hal apa saja yang pernah terjadi di pintu depan Stasiun, di kursi tempat menunggu kereta datang, dan juga di kedai oleh dan gerai toko roti yang di setiap stasiun sepertinya selalu ada.

#

 

“Asu koe pada! Bikin kaget, ngapain pada ke Stasiun pagi-pagi gini, aku kira ada sesuatu”

 

“Kita pingin ngucapin selamat jalan aja buat kamu, makanya tadi malam nanya berangkat jam berapa dari stasiun?”

 

“Duh Rame-rame gini! Enggak! Tadi malam nanya nya gak kayak gini ee, kamu nanya nya berangkat jam berapa jangan langsung berangkat mau ada titipan yang dikasih…”

 

“Itu mah speak-speak , wae dab”

 

“Iya kamu tuh jangan main pergi-pergi aja gak pake pamit!”

“Loh kan dari kemarin udah sering seharian main dari tempat makan ke pantai, ke Candi, masih kurang? Wahaha”

 

“Jangan GR dulu koe aku Cuma nemenin Mira mau foto”

 

“Ciee masih aja, nanti Kinanti cemburu..”

 

“Bahas wae bahas bajigur koe!”

 

“Iya kita kan pingin ngarak koe cuk! Wahaha”

 

“Iya! Salam perpisahan sebelum semua pada balik ke kota masing-masing”

 

“Emang paling bisa kalian… bikin terharu wae, yaudah foto dulu dong!”

 

“Wooo…dasar!”

 

“Pokok e kalau sukses nanti jangan lupain kita ya”

 

“Drama banget sih koe put, ya nggak lah ahaha”

 

“Duh kan jadi ikutan terharu”

 

“Yah gitu sih… eh kita tos dulu dong sama pelukan, gila aku bakal kangen sih sama kalian semua!”

 

Suara-suara mereka tak asing, seperti masih sebulan yang lalu, tepatnya di pintu masuk Stasiun. Pelukan serta jabat tangan mereka tidak alfa di dalam relung. Padahal sudah lewat dari 4 tahun. Namun canda tawa kawan lama itu masih melekat. Entah sudah lama juga tidak menyapa mereka, Anwar, Nina, Mira, Izar, Putri, Kinanti, Dian hanya sebagaian yang sering aku kabari. Rindu juga formasi lengkap saat berkumpul.

 

Beberapa dari satu angkatan saat kuliah, pun mereka ini yang sedari awal memang dekat denganku. Maklum kuliah di jurusan sastra termasuk yang mempunyai mahasiswa sedikit. Sedari awal tahun ajaran perkuliahan aku dan 7 temanku ini memang susah senang bersama. Kedekatan kita karena sebuah ketidak sengajaan, itu semua karena tugas kelompok. Salah satu dosen menunjuk satu-satu dari kami, sehingga terbentuklah kelompok ini.

 

Kami segerombolan manusia aneh yang dari berbagai daerah. Ada yang dari luar pulau Jawa, ada yang dari ibu kota, dan kami saling bisa bersimfoni dalam canda, saling suka menertawakan kehidupan masing-masing sebagai loluconnya. Mungkin aku hanya rindu bercengkrama bersama mereka, bercanda dan saling mencela, atau menghabiskan waktu hampir seharian bersama. Banyak sekali hal sederhana yang tidak bisa dilupakan bersama mereka.

 

Terngiang di kepala, dengan batin merasasakan. Ada perpisahan, namun demi perjalanan selanjutnya. Hal itu yang aku tangkap dari kejadian saat mereka mengucapkan selamat jalan dan mengantarku ke Stasiun. Setauku, hanya Anwar ya bekerja di Yogyakarta, aku lupa memberi kabar kalau aku sudah tiba. Kalau sudah begini pasti aku sempatkan mampir sejenak untuk berbincang menuju kontrakannya. 

 

Kembali termenung, waktu berjalan tanpa mengenal lambat, toh pada akhirnya semua akan berubah. Tapi ada satu harap, bagiku semoga saja semua masih mengingat setiap kenangannya.

 

“Assalammualaikum war, ini aku Aksa, piye kabare….?”

 

#

Handphone yang aku matikan ini langsung aku colokan ke power bank, sehabis memberi kabar kepada Anwar, tidak terasa bahwa cukup lama juga aku mengobrol dengannya.

Sepintas tadi aku melihat gerai toko roti yang masih tutup. Saat iseng mengambil foto dan berkeliling. Hanya bisa senyum dan menggelengkan kepala kalau ingat kejadian saat aku membelikan roti teruntuk gadis idaman satu kampus pada masanya.

“Hai Yura!”

“Eh Aksa, mau kemana?”

“Mau ke Solo, mau berkunjung ke rumah saudara, kamu mau balik ke Solo ya?”

“Hehe iya nih kan mumpung libur panjang akhir pekan ini, udah lama juga sabtu dan minggu kemarin gak sempet balik”

“Lagi buru-buru banget ya?”

“Nggak juga sa, kenapa?”

“Ya gak apa nanya aja..”

Obrolan santai dan panjang ini berlanjut, sampai ada inisiatifku yang ingin mentraktir sebuah roti hangat yang beraroma enak tersebut. 

 

Biasanya hampir di seluruh Stasiun gerainya ada dan selalu menyediakan roti yang mempunyai aroma moca atau sedikit seperti kopi dan tidak lupa dalamnya ada keju, dimakannya paling enak dengan kopi hangat atau teh.

“Owalah gitu ya, eh iya kamu tunggu di sini sebentar ya.”

“Iya, emang kamu mau kemana?”

“Ke arah sana sebentar”

“Oke aku ke tempat tiket ya”

Alih-alih ingin membeli dua roti untuk dibagi, lalu aku cepat-cepat kembali ke tempat tiket kereta. Siapa tau sehabis membelikan roti, ada obrolan yang membuat semakin dekat dan harapan yang melambung tinggi ini bisa tidak jatuh begitu saja.

“Yaah… anjrit betul deh!! Apes betul ini, itu cewe udah masuk ke dalem aja, cepet gitu beli tiket pulangnya, gagal kan gue mau ngasih roti masih anget pula nih”

 

Gumamku kesal, yang ada aku hanya ketinggala kereta karena antrian tiket. Sudah itu, aku kenyang memakan dua roti yang sudah ku beli.

 

Kejadian saat membeli roti di Stasiun waktu itu adalah cerita yang sekarang bisa aku tertawakan. Cukup menyesakkan, namun apa daya toh juga itu adalah hal yang iseng coba-coba. Aku ingat saat ingin pergi ke Solo dan saat masuk aku bertemu sosok perempuan yang memang paling cantik se-jurusan. 

 

Parasnya putih, hidung mancung, ia hendak pulang ke Solo di akhir pekan. Aku ingat sekali namanya Yura, gadis yang cukup misterius. 

 

 Mungkin saat itu niatanku hanya modus, jadilah roti yang ku beli dua ini aku makan semuanya. Karena saat ingin aku memberikan rotinya, perempuan ini sudah hilang entah kemana. Setelah kejadian itu aku tau diri dan tidak mengincarnya untuk dijadikan kekasih, sudah benar dia menjauh begitu saja. Mau basa-basi tidak bisa. Jujur itu adalah kejadian yang akhirnya jadi bahan candaan teman-teman dekatku. Memori tentang ini menjadikan aku senyum sendiri, ada perasaan yang harus aku ikhlaskan.

 

 “Yaudahin aja”

 

Memang tidak semua yang disuka itu baik diri sendiri, toh semua sudah berlalu, tapi ceritanya masih teringat untuk membuatku tertawa tiba-tiba.

 

#

Banyak sekali hal yang bisa aku potret, aku tulis, dan sekedar dicatat di note. Toh memang pada dasarnya momen yang pas ini bisa aku posting untuk menyelesaikan proyek di blog. Sambil beristirahat sejenak, menikmati secangkir teh hangat, dan mengisi perut yang kosong dengan biskuit gandum.

 

Tidak banyak mondar-mandir lagi, lalu melihat dari kejauhan, beberapa titik di sini sudah membangunkan rasa nostalgia. Perlahan dan pasti, itu yang aku rasakan di hati. Sejatinya aku perlu menengok ke belakang, melihat tidak terlalu lama, setidaknya menyadarkan diri dari perjalanan yang sudah cukup panjang ini.

Sambil melihat jam tangan, waktu menunjukan pukul 06:00, pagi sudah memancarkan sinarnya. Aku harus bersiap-siap untuk melanjutkan langkah kaki ini. Berjalan ke arah pintu keluar Stasiun dan melihat-lihat sekitarnya. Banyak juga yang berubah keadaannya. Aku memutuskan untuk memanggil salah satu mobil taksi, tujuanku sekarang ingin merasakan suasana pagi kampus.

 “Pagi mas, panjenengan arep nang pundi?”

 

“Pagi juga pak, ke kaliurang KM 0 ya pak, nanti saya arahkan persis lokasinya”

 

“Ohiya yowes kalau begitu, mari mas”

 

Mobil jenis MVP ini melaju dengan santai. Ramah-tamah masyarakat Yogyakarta memang tidak akan pernah luntur. Semoga akan selalu seperti ini, nyaman dan menenangkan, bukan cuma orang-orangnya namun juga suasananya. Beca-beca yang berjejeran di dekat rel kereta Stasiun Tugu arah jalan Malioboro, masih sepi namun sudah terlihat beberapa aktivitas kecil dari orang-orang penghuni Malioboro.

 

Diperjalanan menuju tempat Anwar aku melewati daerah Sagan, lalu tibalah di bundaran kampus UGM. Begitulah banyak dari aku dan temanku selalu melewati tempat ini jika ingin ke Fakultas tempatku belajar.

 

Hal yang terekam diingatanku tentang bundera ini adalah banyaknya aktivitas mahasiswa, mulai dari unjuk rasa serta pawai. Agak jalan sedikit, dekat bundaran ada tempat Burjo/ kalau di Jakarta biasa disebut Warmindo.

 

Tiba juga akhirnya, aku melihat ke arah bagian atas rumah. Biasanya Anwar sering sekali terlihat melakukan kegiatan olahraga kecil-kecilan di balkon kontrakannya. Sudah hampir 4 tahun berlalu, tak cukup banyak berubah suasana jalan di daerah sini.

 

“Koe nang ndi dab? Aku wes di depan kontrakan mu nih”

 

“Sabar cuk! Aku lagi ono panggilan alam”

 

“Asu! Wakak yowes tak enteni”

 

Beberapa menit menunggu, melihat seksama bahwa jalan-jalan di sekitar sini juga membawa kenangan yang lucu.

 

Karena kontrakan Anwar terkadang menjadi tempat bersantai atau basecamp untuk mengerjakan tugas dan juga sekedar berkumpul sepulang kuliah. Banyak kejadian juga di depan jalan sekitarnya, dari yang ban motorku bocor dan alhasil harus mendorong dari jalan raya Kaliurang untuk menuju ke gapura komplek. Untuk dari situ tidak jauh kontrakan Anwar siap menampung motorku, dan juga Anwar sendiri yang membantu membereskan masalah waktu itu, karena bagiku anak pecinta motor ini sudah seperti tukang bengkel dadakan.

 

Dari semua sahabat terdekatku, cuma laki-laki berambut seperti anggota the beatles ini saja yang menetap lama di Yogya. Itu juga karena dia mempunyai kerjaan sebagai design grafis, serta bisnis clothing yang harus dikelolanya. Sementara beberapa orang lainnya memilih balik ke kotanya masing-masing. Kita tidak punya target atau janji agar berkumpul bersama lagi 1 atau bahkan 5 tahun ke depan. Tapi yang kita yakini bahwa nanti akan masa dimana semuanya harus berkumpul lagi setelah sekian lama tidak kunjung memberi kabar. Tapi kalau aku ke Yogya aku tidak bisa tidak mengabari Anwar.

 

“Selamat pagi Kanjeng mas”

 

“Wah gila apa kabar kamu!”

 

“Apik dab!”

 

“Wah asu kangen banget karo koe!”

 

“Podo ee bro! wakaka”

 

Salam hangat serta pelukan sahabat yang sudah lama tidak berjumpa adalah sebuah obat. Tertawa terbahak-bahak tanpa melihat sekeliling, ditambah komentar lainnya yang berujung saling mencela satu sama lain. Setelah berbincang-bincang beberapa saat aku pun sembari menitipkan barang bawaan dikontrakan Anwar.

 

Sedikit yang berubah, gitar akustik merek Yamaha masih terpajang rapih, meja dan kursi kayu juga masih ada. Bahkan karpet berornamen zebra yang digelar didepan tv kecil di ruang bawah masih terasa seperti dulu. Tidak jarang aku dan sahabat terdekatku sering gitaran menyanyikan lagu sedih maupun senang. Semuanya terekam lagi, memori yang membangunkan rasa ingin tertawa selepas-lepasnya tanpa beban.

 

 Usai meletakan dan melihat-lihat seluruh kontrakan akhirnyab menuju ke tempat sarapan di sekitaran daerah Pogung. Di pinggir jalan ini biasanya sudah terlihat tenda sederhana. Salah satu tempat favorit sarapan bersama saat kuliah dulu, yaitu Soto Pak Muji.

Kami langsung memesannya, tidak lupa dengan teh hangat yang menemani. Semangkuk soto sudah tiba dimeja, masih mengebul asap panasnya, aromanya khas, serta warna kuning yang menggoda sudah tidak dapat menahan rasa lapar. Dimakannya tidak lupa dengan gorengan tempe yang tipis dan juga bakwan. Belum lagi ada sate usus, telur puyuh, dan juga ampela ati. Bukan main rasanya, sarapan di soto ini mengingatkan akan rasa yang berbeda. Aku tidak akan menemukan di kota besar yang seperti ini, hangat soto dan memori-memori saat pagi bersama sahabat saat makan di tempat ini. Biasanya aku dan beberapa temanku memang meramaikan warung soto ini.

 

“Kamu inget gak war kalau ke sini rame-rame kita sering berisik sendiri gara-gara ada aja yang dibicarain”

 

“Iya bro wahaha, untung gak ada yang negur ya”

 

“Anywa wes wareg dab, tur yo ngantuk wahaha”

 

“Ngopi sek po nang burjo”

 

“Weh dikontrakanku wae bro”

 

“Wes rapopo aku seng bayar”

 

“Loh ya ayok bro”

 

Rata-rata mahasiswa dan mahasiswi di kota gudeg ini pastilah megenal burjo. Kedai makann sederhana yang menjual menu khas yaitu bubur kacang ijo, berbagai macam jenis mi instan, makanan dengan lauk pauk, gorengan, serta banyak juga minuman lainnya. Selain tempatnya strategis, burjo juga banyak bertebaran di Yogyakarta, selain praktis dan murah juga buka 24 jam. Tidak heran terkadang banyak yang betah nongkrong karena kerap menjadi penolong utama di saat aku dan teman-teman kelaparan.

 

Burjo Tali Kasih, begitulah namanya. Tempat ini juga menjadi saksi cerita bahwa persahabatan akan terus berlanjut, walaupun sekarang aku dan sahabat-sahabatku lainnya harus terpisah.

 

Tidak lupa aku selalu terbahak-bahak tertawa jika mengingat kalau di Burjo ini selalu menjadi tempat aku dan Anwar melirik mahasiswi cantik yang tak ubahnya sering makan pagi atau tengah malam. Namanya juga mahasiswa jomblo, semester baru pula, masih iseng sana-sini.

 

Aku memesan secangkir kopi hitam dengan gula yang sedikit. Tidak lupa semangkuk bubur kacang hijau dengan sedikit santan serta ketan hitam yang menjadi pelengkapnya. Sementara Anwar memesan teh tawar dan nasi telur dadar, biasanya di tempat ini satu paket nasi telur dadar sudah pasti pakai sambal goreng dan orek tempe yang manis nan gurih. Belum lagi saat pagi, di sini akan ada nampan besar yang diletakkan gorengan yang hangat seperti tahu isi, bakwan, dan tempe goreng tepunnya yang lezat. Sapaan “Aa” kepada penjaga burjo memang sangat khas, kalau pun menemukan yang dipanggil “Teteh” dan cantik pula itu adalah poin lebih jika berkunjung ke Burjo.

 

“Kangen ee dab kalau nongkrong di sini”

 

“Iya sih jadi inget dulu awal kuliah kalau kita malam minggu ora iso turu pasti malem sampe pagi yo ngumpul karo ngobrol di sini”

 

“Tapi ya semester terakhir yang kita wes mulai jarang ee nongkrong di sini”

 

“Iya war, apa lagi pas koe punya wedoan, wuih… makin jarang ikut nongkrong wakaka”

“Ya.. wes putus bro… asu..”

 

“Selow dab wakaka,

 

“Eh koe gimana tuh karo kekasih jarak jauhmu itu?”

 

“Wah masih inget aja war ahaha”’

 

“Masih lah, orang koe sering cerita sampe aku bosen ee dengernya”

 

Saat sering begadang-begadangnya hanya aku yang kerap masih bangun di kontrakan Anwar. Saat sebelum ingin tidur aku pun sering bercerita tentang perempuan ini, tentang parasnya dan betapa senangnya hati yang berbunga-bunga. Anwar sampai mual mendengar dongeng tentangmu, tentang betapa bahagianya aku jika kita saling bercerita saat ditelfon maupun skype.

 

“Hadeh… wes ya gitu war, sudah sama orang lain”

 

“Mesake ee dab, yowes lah masih banyak ikan di laut”

 

“Ya kamu enak ngomong kayak gitu, tapi nyatanya susah buatku nyari ikan langka yang Cuma ada satu di dunia”

 

“Haiyah.. wes klasik cocotmu dab dab”

 

“Loh ini aku beneran war…”

 

“Mungkin karena koe belum nemu yang penggantinya aja, atau yang sekiranya kamu cocok dan pas di hati, atau juga masalah waktu kok”

“Ya mungkin bisa jadi..”

“Loh kok malah kayak jawab kuis tebak-tebak yang di tv itu, nganggo bisa jadi bisa jadi”

 

“Emang seperti tebak-tebakan war, aku bingung sendiri”

 

“Yowes pagi-pagi ojo dibawa galau, nggek dang habisi kopimu, aku arep ke kantor, koe juga siap-siap sana”

 

Anwar berhasil menyadarkanku dari cerita sendu ini, seharusnya aku bersiap-siap dan menikmati perjalanan yang sedang aku lakukan. Balik ke kontrakan, membersihkan diri, membereskan perlengkapan. Aku diantar Anwar ke halte Trans Jogja terdekat, setelah itu mengucapkan salam perpisahan sejenak.

 

“Jangan lupa karo aku ra, tetep saling kontak kayak gini”

 

“Siap war pasti kok! Terimakasih buat pagi ini, jaga diri war, kalau ke Jakarta nanti kabar-kabar”

 

“Woke dab siap!”

 

Semua pasti berubah, tapi dari nostalgia kecil pagi ini menyadarkanku bahwa memang ada potongan-potongan memori yang bisa menjadi kesan mendalam. Kilas balik bukan berarti sesuatu yang melelahkan, tapi hal ini merupakan obat bagi hati yang penat. Masih ada dari lubuk orang-orang lama yang menyuarakan rasa rindu, mereka satu-satu pastilah tidak berubah total. Kondisi memang berbeda, lama-lama diri harus menerima, bahkan sudah terbiasa. Tidak dengan cerita bagian yang ada kamu, aku harus merombak cara berpikir, bahkan menata ulang semua bagian hidupku. Lelah juga hati ini menuntut akan kepergianmu, toh juga kamu sudah bahagia dengan yang tiba-tiba datang.

 

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar