Perjalanan Bukan Pelarian
2. Semua Bermula #2
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Belakangan ini sering ada lamunan, serta selalu tiba-tiba memikirkan tentang momen yang harus aku lupakan. Ditengah-tengah suara bising kendaraan, atau ramai abang-abang yang memakai toa dari gerobak tahu bulat, belum lagi tuntutan deadline yang menyerang, begitulah beberapa teman yang kerap menemani setiap hari. Bolak-balik gedung kantor, lalu keliling kota dan menikmati hari yang itu-itu saja, keliling kota pun bisa dibilang saat pulang kantor, apa lagi di hari Jumat.

 

Namun saat seperti itu bosan juga, atau aku kurang bersyukur terhadap yang sudah terjadi dan diberikan. Malam ingin menjelang, dimana hari sedang berada saat awal  minggu. Mampir sejenak untuik menikmati sore di area ibu kota, langit sedang indah-indahnya untuk menikmati suasana di daerah Senayan. Hari itu ada rasa bahagia karena bisa pulang cepat, jam ditangan menunjukan pukul setengah 06:00 sore. Maklum, aku salah satu pekerja dibidang dunia industri periklanan. Terkadang jam kerja tidak menentu, belum lagi deadline dari client yang menodong penuh paksa. Sering kali aku menikmati jam-jam lembur dini hari.

 

Begitulah sedikit awal dari kisahku Aksara Bani Timur, biasa dipanggil Aksa atau Hanif, laki-laki berumur 24 tahun yang masih mencari tentang apa yang harus dikerjakan kedepannya. Tidak lupa mencari cara agar aku cepat melupakan kisah yang rasa-rasanya baru kemarin terjadi, sebuah patah hati yang ternyata tidak biasa.

 

Terkadang isi kepala tiba-tiba ramai saat ditempat yang sepi. Sebaliknya, saat aku berada di keramaian, bisa jadi isi kepala dan hati adalah ruang yang kosong, yang hanya ingin menikmati keramaian.

Kamu yang seperti kembang api di malam tahun baru, sangat meriah dan tiba-tiba menyentuh bagian diri yang sedang dalam proses menjauhi semua yang ada tentangmu.

 

 

#

Sepulangnya dari kantor, diiringi rasa tidak ingin langsung ke rumah. Sambil menyusuri jembatan penyeberangan Mall Senayan City menuju Plaza Senayan. Bermodal kamera mirrorless, lalu aku memotret suasana serta lalu-lalang wajah orang-orang yang hendak pulang dari kantor. Jujur saja, aku bukanlah orang yang sangat ahli dalam fotografi, hanya suka dan menurutku kelak akan menjadi sesuatu yang bisa dikenang.

 

Nantinya bisa menjadi sebuah cerita yang tidak terlupakan, bisa membuatku mengingat bahwa ada gambar yang tidak disangka pernah aku ambil. Lalu bisa menjadi cerita yang bisa dilihat lagi jika aku merindukan hal indah. Sangat sering hasil jepretanku hanya disimpan di laptop dan menjadi konsumsi pribadi. Terkadang aku juga share di sosial media, walaupun memang tidak banyak. Ada kesenangan tersendiri ketika aku membuka file-file yang berisikan potret gambar yang sudah lama, seperti muncul kembali cerita-cerita dari gambar tersebut.

 

Mampir ke gerai kopi yang semerbak ada hampir disetiap perkantoran dan mall, untuk membeli segelas americano yang hangat, lalu dibawa pulang dan dinikmati saat perjalan pulang, tipikal pekerja-pekerja kantoran di Ibu kota yang ingin terjaga agar tidak cepat ngantuk.

 

Suara mesin kopi yang mulai terdengar, obrolan dari mereka-mereka yang mengantri panjang, pemandangan roti, cake, serta kudapan lainnya yang dipajang di sebuah etalase, belum lagi suara barista yang diawali dengan…

 

“Mau order apa kak? Kita ada menu spesial buat bulan ini dan kalau pake kartu kredit bisa dapat promo “

 

Setelah membeli minumannya, lalu ditambah dengan kata-kata seperti ini..

 

“Mau nyoba pake bean kopi dari luar? Kalau kaka lebih suka kopi yang asam atau lebih pahit?”

 

Sebagian percakapan tadi selalu membuatku suka untuk mampir ke Coffee shop, karena bagiku obrolan serta suasananya selalu mengingatkan kembali memori akan jaman kuliah dulu. Secangkir kopi untuk mengakhiri hari karena lelah, adalah bagian tervaforitku.

 

 Kopi menjadi pelarian terhadap banyak hal yang menjatuhkan langkah ini, atau menjadi sebuah pengingat untuk rehat sejenak. Memang banyak yang bilang bahwa kopi pahit, apa lagi menikmatinya tidak pakai gula atau pun terkadang hanya sedikit. Selain itu, tempat ngopi selalu mengingatkanku akan percakapan dengan sahabat, dengan tempat lama, atau perbincangan terakhir dengan bapak.

 

Terserah kebanyakan orang mau bilang apa, tapi beginilah cara bagi sebagian individu menikmati kepahitan, dan juga mengurangi konsumsi gula. Tidak melulu mendalami tentang kekecewaan dengan kesialan. Sedikit prespektif yang berbeda, maka bisa menjadi pengalihan dari sebuah rasa sakit. Walaupun aku masih perlahan dalam melupakan rasa yang menampar.

 

Hari-hari yang begitu-begitu saja, entah ada yang kurang, atau memang ada rindu kepada yang terkasih yang belum kelar-kelar. Atau mungkin kebosanan melanda memang karena aku sudah lama tidak menulis di blog. Cukup lama terbengkalai, ada enam bulan lebih aku tidak menulis dengan semauku sendiri. Menulis menyuarakan isi hati. Kesibukan ini menyita waktuku untuk terus menyibukan batin, tapi sesekalinya istirahat, aku hanya ingin tidur seharian.

“Sementara… teduhlah hatiku tidak lagi jauh,

belum saatnya kau jatuh.”

 

Sambil jalan kaki melanjutkan langkah kaki untuk pulang, aku memasang earphone, terdengar lagu Sementara dari Float. Lagu ini memang kerap mengingatkanku pada memori-memori yang sudah dingin ditelan waktu. Namun masih ada rasa hangat di lubuk, seperti kejadian-kejadian itu baru terjadi, padahal sudah lewat sekian minggu. Sambil menggenggam segelas kopi yang masih hangat aku menyeruput kembali.

 

 Dalam perjalanan ke rumah, aku terlarut dalam khayal. Seperti ada cerita lama dengan kau perempuan yang separuhnya bukan darah Indonesia. Ibarat mereka yang datang pada zaman dahulu untuk menjajah, kau salah satunya.

 

 Memang sudah merdeka tanah ini, tapi aku masih saja tertawan hatinya. Serasa masih dijajah olehnya, aku masih sedang berjuang dalam sedikit demi sedikit bisa mulai melupakanmu.

 

 Kamu datang dengan baik, menawarkan persahabatan yang kekal. Bersalaman seolah manusia seperti diriku adalah yang mati rasa dan tidak punya harap.

 

 “Gue cerita ini ke lo doang ya, jangan kasih tau siapa-siapa dulu. Ceritanya gini…jadi… aduh aku  bingung mau mulai dari mana, eh maksutnya gue”

 

Pesan suara dari perempuan ini aku putar, leih tepatnya tidak sengaja diputar. Aku menyimpan beberapa pesan suaranya, karena alunan suara itu terkadang bisa membuatku tenang. Saat sepi, saat itu juga terbesit beberapa adegan aku dengannya sedang bercengkrama. Seakan meracik semua yang sudah pasti terjadi bahagia, berujung aku dan kamu, tapi kenyataannya memang tidak begitu.

 

Beberapa curhatannya dalam bentuk suara tersimpan rapih di file di memory card telefon genggamku ini. Bahkan terkadang saat aku mendengarkan playlist lagu, tiba-tiba saja pesan suara ini masuk dan seolah-olah menjadi lagu favoritku. Maklum saja, pesan suara ini tersimpan di barisan file-file lagu yang ku download.

 

Bertahun-tahun mengenal sosok perempuan ini dengan dekat. Tak banyak yang mengerti dunianya, namun aku terus belajar memahami hal itu. Aku terus masuk ke pikirannya dan juga bergabung dalam dunianya. Cerita yang ia punya, segala impian yang ia cita-citakan, dan kegiatan-kegiatan ya dilakukannya selama ia melanjutkan studi di Eropa.

 

Singkat cerita kondisinya sekarang agak berbeda, memasuki tahun-tahun dimana aku dan dia sama sibuknya. Pesan di akhir tahun kemarin menjadi memori yang tersimpan, entah sedang apa dia sekarang, aku hanya bisa mendoakannya. Aku dan dia adalah “Kita” yang sudah berubah, menjadi yang cukup asing.

 

Kenyatannya aku akan tersandung rindu yang harusnya disudahi saja karena bertepuk sebelah tangan. Terkadang penat pekerjaan bisa membuat lupa sejenak akan kegalauan, tapi jika waktu istirahat datang bisa dibilang riskan termenung perempuan yang satu ini. Malam minggu pun aku selalu menghabiskan waktu untuk mencari distraksi, agar gangguan bayangmu lama-lama pergi. Berkumpul bersama beberapa teman, atau menonton film, dan yang paling sering berlama-lama di kedai kopi untuk menghabiskan buku-buku yang terlantar tak terbaca, padahal sudah aku beli. Saat hilang hingar-bingar untuk mengganggu kesendirian ini, kamu selalu tiba-tiba menanyakan kabar, tapi aku juga tetap saja membalas.

 

Sepertinya sisa-sisa candu akan hadirmu masih tidak mau pergi, atau bahkan belum mau pergi, atau sebentar lagi. Aku hanya bisa berharap untuk rasa ini akan pergi.

#

Sesampainya di rumah, saat masuk kamar aku langsung berbaring di tempat tidur. Sehabis itu membuka buku yang sedang aku baca. Baru saja dibeli online, aku tertarik dengan judul dan penulisnya. Buku karangan Puthut EA, judulnya adalah “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” baru melihatnya saja sudah membatin.

 

 Tapi akhirnya aku beli saja, nasib isi buku dan yang membacanya sekarang adalah sebuah kesamaan. Saat sedang khusyuk membaca tiba-tiba teriakan dari luar kamar terdengar, suara ibu yang juga sering membangunkanku dari lamunan.

 

“Aksa jangan lupa nak makanannya kalau kamu mau makan diangetin dulu, itu ada rawon sama telur asinnya ada di lemari es”

 

“Iya mah siap, nanti tinggal aku angetin kok”

 

Suara ibu sering menjadi penggerak sistem malasnya diri, terkadang berdiam diri saat memikirkan hal tidak penting menjadi kebiasaanku. Sering termenung terjadi 2 tahun belakangan. Untungnya selalu ada ibuku yang menjadi penyemangat dan penyadar lamunan yang sering ini. Entah dari teriakannya untuk membantunya membereskan rumah, atau panggilan tiba-tiba saat aku harus disuruh memberi informasi secara detail tentang pemakaian handphone serta fitur-fiturnya. Untuk bagian yang kedua aku harus cukup sabar. Langsung saja aku bergegas ingin keluar kamar, toh perut ini sudah keroncongan.

 

Saat berdiri aku tidak sengaja menginjak album foto yang terjatuh dari meja, memang baru kemarin aku melihat-lihat kembali isi album tersebut. Bukan main aku ini sangat malas membereskan kamar, jadilah ada saja barang yang tergelatak bukan pada tempatnya. Seperti album foto ini, aku melihat-lihat kembali, menyita waktu istirahatku pun tak apa demi mengenang gambar-gambar lama. Lembar demi lembar dibuka dan dilihat satu-satu setiap fotonya.

 

 Ada foto almarhum bapak, mengingatkan akan kenangan masa kecil. Terekam dalam diri sebuah cerita-cerita saat pergi bertamasya, saat berkumpul bersama. Karena bagiku hanya ada rasa rindu yang tak ada ujungnya. Sudah berulangkali aku melihat satu demi satu tiap foto. Masih saja ada senyum, rasa terharu sambil diam sejenak. Ada yang aneh ketika membuka lembar terakhir, baru aku tersadar ada selipan kertas pembatas, ada kata-kata yang tertulis.

 

“Foto adalah bagian dari cara penyampaian setiap insan untuk mengenang cerita, dan meluapkan rasa rindu yang terjadi suatu saat nanti – dari Bapak untuk anak-anak”

 

Kenapa baru hari ini menemukan tulisan pembatas buku bercorak batik yang terselip. Sudah begitu, ada tulisan dibaliknya, ini khas tulisan tangan almarhum bapak. Dari kata-kata yang tadi aku baca, rasa-rasanya ada sesuatu yang mengetuk hati, menyadarkan beberapa hal yang harusnya aku lakukan, atau entah, aku banyak sekali merenung beberapa minggu ini.

 

“Oh iya benar juga!”

 

Langsung aku buka laptop dan menuju ke blogku untuk mengkonfirmasi email yang ku pakai untuk blog. Sudah lama juga tidak aku buka, ternyata aku harus mengganti password tersebut, itu pun juga karena lupa yang lama. Mengotak-atik isi tampilan, agar telihat berbeda.

 

Jadi aku sudah tahu akan melakukan apa pada blog ini, mengasah tulisan-tulisanku lagi, dan juga mempublikasikan hasil potretku ini. Namun bukan cuma sekedar itu, ada hal lain yang aku bawa, ada penjelasan yang tertera di setiap fotonya. Dan tulisan ini akan terbit tiap bulan. Aku langsung mengambil sebuah tanggalan yang aku dapat dari bank, kerap foto-foto bertemakan visual beberapa wisata alam di Indonesia sering bermunculan Melihat beberapa tanggal merah, dan mulai menyusun jadwal dan mempersiapkan perjalanan.

 

“Jalan berliku dalam kehidupan

Dua remaja kehilangan

Penawar rindu kasih pujaan

Menempuh cobaan”

 

Sebuah tembang lama dari Alm. Chrisye dimainkan begitu saja di playlist yang mengacak dari laptop. Malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak, masih ada yang terpikirkan dalam benak. Lagu dari penyanyi legenda kesukaanku ini menjadi teman dini hari. Hening malam, dan bekas memar karena luka yang tidak sengaja kau berikan menjadi kata-kata di puisi yang baru aku tulis, menang tidak bisa dipungkiri kalau menulis membuatku cukup lega dan melepas satu-satu beban.

 

 Selalu ada hari dimana aku susah tidur, ada pikiran-pikiran tentang kisah-kisah yang seharusnya terjadi, namun tidak dengan kenyataannya. Kata demi kata menantang pikiran yang lelah. Terbayang bagimana sebuah perjalanan nanti menjadi sesuatu yang layak bagi hati yang sedang mencari, melupakan, atau memalingkan rindu sejenak.

 

Foto-fotomu pun pelan-pelan aku hapus, tadinya cukup banyak, namun sekarang tinggal dikit di handphone ini. Biasa terpampang beberapa senyum, dan sekarang tidak lagi. Semua pelan-pelan aku hapus, karena beberapa kali aku meyakinkan diri bahwa memang terkadang jalan ini sudah berliku, terutama tentang cerita cinta.

#

 Perjalanan ini aku siapkan secara dadakan, hanya persiapan 2 hari sebelum hari keberangkatan. Di era sekarang membeli tiket untuk berpergian sangatlah mudah. Maka dari itu, aku mempersiapkan kebutuhan pun terbilang tidak lama. Untuk tempat menginap, aku tinggal menelfon beberapa kawan lama dan juga pakde. Bersyukur mempunyai sanak saudara yang menyebar kemana-mana, dan kawan lama saat kuliah. 

Itu untuk di Yogyakarta, kalau di kota satu lagi semakin ke timur, semakin asing dan pastinya akan aku temukan banyak hal baru. Dua tempat ini aku rasakan cukup untuk menjadikan pencarian gambar ini jadi cerita singkat yang berkesan. Pertama di Yogyakarta, adalah tempat aku bisa bernostalgia sejenak, lalu semakin ke ujung pulai Jawa paling Timur, tanah paling tinggi, yaitu Bromo. 

 

Dari dulu aku penasaran ke sana, pun juga sesuai nama belakangku, mungkin aku harus melakukan perjalanan ke arah Timur

 

“Aku selalu membayangkan sebuah perjalanan layaknya Heinrich Harrer di film 7 Years in Tibet, atau bahkan sebuah perjalanan gila tentang perjalanan yang ia niatkan untuk istirahat dari sebuah rutinitas kehidupan, seperti kisah Christopher McCandless dalam Into The Wild, agaknya kisah yang satu itu terkesan lebih nekat sih, tapi justru sangat menginspirasi”

 

 Banyak kisah yang akhirnya memacuku untuk sebuah perjalanan ini, bukan ingin lari dari kenyataan, aku percaya bahwa mungkin alam punya cara untuk yang ingin sembuh. Sembuh dari segala yang membuat kecewa, atau menemukan sebuah jawaban yang tidak di sangka-sangka. Mengambil jatah libur seminggu, bagiku adalah hal yang tidak boleh di sia-siakan, toh juga seharusnya perjalanan ini menjadi salah satu impian.  

 

 Tas gunung yang aku pakai sedari jaman kuliah dan tas kamera, bagiku sudah cukup. Toh barang yang aku bawa saja memang tidak terlalu banyak, membawa stock celana panjang hanya dua, sisanya ada celana pendek 3, celana dalam aku bawa lebih banyak, kaos secukupnya dan jacket aku bawa 1 serta sweater tambahan.

 

Waktu berjalan cepat, sudah sebulan sejak kejadian di kamar waktu itu, dimana aku tersadar bahwa kata-kata bapak sangat penting. Akhirnya tiba juga perjalanan solo, akan ada sedikit napak tilas, serta datang ke tempat yang belum pernah aku kunjungi. Singkat waktu, memang aku meniatkan menjadikan perjalanan seminggu ini untuk iseng, untuk menangkap gambar yang bisa aku koleksi, serta untuk melangkah dan membuat hati lebih menerima tentang apa yang telah terjadi.

 

Sambil menenteng tas gunung, aku buru-buru menuju pintu masuk Stasiun Pasar Senen. Sepulangnya dari kantor memang jalanan cukup ramai. Untung saja tiba dengan tepat waktu.

 

 Sambil aku buka buku catatan kecil ini, aku melihat beberapa tulisan yang ditulis singkat. Ini note yang sederhana, bagian depannya ada potongan prangko khas dari Eropa.

 

Buku ini cukup menyimpan segala kebutuhan selama 2 tahun belakangan ini, terutama dalam mencatat ide-ide yang akan aku kembangkan. Selain itu, terkadang buku ini selalu tertulis hasil coretan sajak-sajak tak jelas. Memang cukup penting note ini aku bawa, karena  pasti aku butuhkan saat menulis sesuatu yang terlintas. Lalu tulisan-tulisan singkat dari note aku pindahkan di blog saat waktunya pas.

 

 Bermodal keyakinan tertentu aku berangkat menuju Yogyakarta, ingin bernostalgia, lalu melanjutkan perjalanan ke Malang, lalu Bromo. Semua ini dilakukan sendiri, sebuah perjalanan mungkin saja bisa membuat aku menemukan sesuatu yang baru, yang membuat beberapa penat dan keluh lama-lama terkikis.

 

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar