Pergilah Puan Tanah ini telah Bertuan (Script Version)
4. Scene 15 - 18

15.     EXT. KORIDOR SEKOLAH – SIANG

Long shot Kirana yang berjalan di koridor sekolah, kemudian Dirga memanggil dari belakang.

DIRGA (17):

An! (Berlari dari belakang, Kirana menoleh)

Congrats, puisimu dimuat koran harian nih! (Menyerahkan koran)

KIRANA:

Serius, Ga? (Mengambil koran yang diberi Dirga dan melihat puisinya)

Hah, beneran! (Tersenyum girang)

DIRGA:

Selamat ya!

KIRANA:

Makasih ya, Ga.

Eummm, ya udah aku ke kelas dulu.

DIRGA:

Iya. Eh, An! (Kirana kembali menoleh ke arah Dirga)

Nanti pulang sekolah jadi ‘kan interview sama beberapa pekebun teh buat bahan lomba jurnalisme kita?

Kirana mengangguk sambil tersenyum, kemudian kembali melangkah menuju kelas.

CUT TO:

16.     EXT. POHON AKASIA – SIANG

Binar berjalan menuju pohon akasia dengan memakai earphone di telinganya. Ia berhenti karena melihat ada orang yang duduk menelungkup di bawah pohon akasia yang biasa ia duduki. Binar melepas earphone-nya kemudian berjalan menghampiri orang tersebut.

BINAR:

Hei!

Orang tersebut mendongak, Binar kaget karena ternyata Irgi. Irgi melangkah mendekat dan tiba-tiba memeluk Binar. Binar tambah kaget, ia ingin marah tapi tidak jadi karena tiba-tiba mendengar suara isakan dari Irgi. Binar bingung karena tiba-tiba Irgi menangis namun ia hanya diam dan membiarkan Irgi tenang terlebih dahulu selama beberapa menit.

CUT TO:

Binar dan Irgi duduk berdampingan menghadap perkebunan teh yang hijau. Hening beberapa detik.

BINAR:

Jadi, kamu dari pagi di sini?

IRGI:

(Mengangguk)

Gue berantem sama ayah tadi pagi, males jadinya ke sekolah!

Binar hanya diam.

IRGI:

(Menghela napas)

Mungkin hidup gue sempurna di mata lo, di mata temen-temen gue, dan di mata semua orang!

Tapi di mata gue ... (Tertawa miris)

Jangankan sempurna, utuh aja enggak.

Long shot Binar dan Irgi dari belakang. Kemudian kembali close up ke wajah Irgi dan Binar.

IRGI: (CONT’D)

Dari dulu, ayah gue juga nggak suka gue jadi pemusik.

BINAR:

Kenapa?

IRGI:

(Mengangkat kedua bahu)

I don’t know.

Musik itu bukan hanya mimpi buat gue, Bi.

Lebih dari hobi dan mimpi, musik sudah jadi jiwa gue. Ayah gue nggak pernah setuju gue jadi pemusik.

Mimpi dia pengin anaknya jadi dokter, tapi gue nggak pernah kepikiran dunia itu walau cuma selintas.

Apa salahnya sih sama musisi? (Menghela napas kesal)

Setiap malam gue selalu saja debat dengannya perihal masalah yang sama. Ayah gue yang keras kepala, nggak mau ngalah dan selalu saja berakhir dengan gue yang keluar rumah. Dia egois, Bi. Ini bukan cuma sekali atau dua kali, dari kecil gue selalu nurut apa mau dia, tapi yang ada apa?

Dia nggak pernah yang namanya puas, yang dia pikir itu cuma gimana kata orang, gimana penilaian orang, gimana orang akhirnya mandang dia mendidik anak dengan baik tanpa peduli pendapat gue, tanpa peduli kalau yang dia lakuin itu nekan gue dan bebanin gue dengan tuntutan yang mau nggak mau harus gue capai.

Capek banget Bi, harus ngertiin orang tua kayak dia.

BINAR:

Ayahmu mungkin hanya mau yang terbaik buatmu.

IRGI:

Iya, gue tahu! Setiap orang tua hanya mau yang terbaik buat anaknya. Tapi, kenapa harus selalu dengan cara mereka?

Terbaik menurut mereka apa akan terbaik buat anak?

Gue cuma mau membuat mereka bangga dengan cara gue sendiri, dengan sesuatu yang nggak membebani gue saat melakukannya. Harusnya dia lebih paham karena dia juga pernah jadi anak, pernah ngerasa gimana terbebannya dituntut orang tua.

Irgi menghela napas, diam sejenak, kemudian menoleh ke arah Binar.

IRGI: (CONT’D)

Asal lo tahu, akun Youtube yang gue punya itu cuma sebuah pembuktian.

Pembuktian ke ayah gue kalau apa yang gue pilih itu nggak pernah main-main.

Tapi dia nggak pernah ngerti!

BINAR:

Emm ... aku ngerti saat ini kamu emang lagi marah sama ayahmu. Tapi, kan nggak serta merta yang kamu lihat hanya sisi negatifnya. Ayahmu begitu, mungkin ia hanya khawatir anaknya memilih pergaulan yang salah.

Kita kan tahu sendiri gimana stigma negatif anak band dan musik yang berkembang di masyarakat, walau sebenernya itu juga nggak.

Tapi naluri ayah, cuma mau menjaga anaknya –

IRGI:

Nggak, Bi! Nggak ada yang namanya menjaga dengan cara menuntut!

Lo nggak ngerasain, karena lo nggak punya orang tua! (Sedikit tinggi nadanya)

Binar tersentak kaget mendengar kalimat Irgi, ia perlahan mengalihkan pandangan ke depan. Senyap beberapa detik. Irgi menunduk, merasa bersalah.

CUT TO:

17.     INT. KAMAR IRGI – MALAM

Irgi masuk ke dalam kamarnya yang gelap dan didominasi warna hitam. Di sudut ruangan ada drum, bass, dan beberapa alat musik band lainnya, sedang didekat jendela kamarnya ada piano. Ia menaruh tas di sofa, kemudian melentangkan tubuh di tempat tidur, memandang langit-langit kamar.

CUT TO FLASHBACK:

Irgi dan Binar saling diam, angin berhembus agak kencang. Irgi melirik Binar canggung, masih merasa bersalah.

BINAR:

Dulu, aku pengin banget jadi seorang pianis kayak Sergei Rachmaninoff.

Tapi, setelah ibuku terkena guillain-barre syndrome yang mengakibatkan kakinya mendadak lumpuh dan usaha bapakku bangkrut, mimpiku untuk jadi pianis juga terpaksa ikut aus.

Bapakku melarangku ikut les piano lagi walaupun waktu itu aku dapat tawaran beasiswa dari tempat kursus.

Irgi menoleh ke arah Binar, namun Binar tetap memandang ke depan dengan beberapa kali menghela napas.

BINAR: (CONT’D)

Bapakku depresi, nggak mau nyari kerja lagi dan kejaannya cuma minum. (Mata Binar berkaca-kaca, mulai terisak)

Padahal, untuk pengobatan ibu itu butuh biaya yang nggak sedikit.

Aku harus kerja mati-matian buat biaya sekolahku sendiri, buat biaya pengobatan penyakit langka ibuku itu.

Dan .... (Binar menghapus air matanya dengan cepat)

Semua makin kacau saat ibuku meninggal karena gantung diri dan ayahku yang berubah jadi monster membuat aku, jangankan untuk egois dengan keinginanku, untuk bisa hidup sampai esok saja aku nggak kepikiran, Gi.

BINAR: (CONT’D)

(Menghela napas cukup lama)

Kita pernah ngerasain hal yang sama, Gi, dilema antara mimpi atau orang tua. Bedanya, kamu masih punya kesempatan untuk mewujudkan semuanya.

BINAR: (CONT’D)

(Menoleh, menatap Irgi yang menunduk)

Kalau kamu serius dengan mimpimu, kamu cuma perlu meyakinkan orang tuamu.

Kalau ... jadi musisi itu emang cita-cita kamu dan pilihanmu itu serius. (Sambil menepuk bahu Irgi)

Binar mengusap bekas air mata di pipinya lagi kemudian hendak bangkit dari duduk, tapi tanggannya tiba-tiba dicekal Irgi.

IRGI:

Bi ...

Maaf.

Binar terseyum perlahan kemudian mengangguk.

FLASHBACK CUT TO:

Irgi bangkit dari posisi terlentang, menatap piano yang terletak di dekat jendela kamarnya. Irgi berjalan menuju pianonya, duduk di kursi kemudian mulai menekan tuts piano.

CUT TO:

18.     INT. PANTI ASUHAN – MALAM

Close up tangan Binar yang menekan knop pintu kamar. Pintu terbuka, Binar kemudian masuk ke dalam kamar. Di dalam kamar ada Kirana yang sedang membalas chat dari Dirga. Binar mendekati Kirana yang belum sadar dengan kehadirannya lalu merebut ponsel Kirana.

KIRANA:

(Menoleh) Binar ....

Siniin, nggak?

BINAR:

(Mengetik sesuatu di ponsel Kirana, kemudian tersenyum)

Iya, iya, nih. Bentar doang juga. (Menyerahkan ponsel Kirana kemudian berjalan ke tempat tidurnya)

KIRANA:

(Kesal) Binar!! Kok kamu jawab iya sih pesannya, Dirga?!

Binar menyengir tanpa bersalah, mengambil handuk dan buru-buru ke luar kamar. Binar berjalan menuju kamar mandi, namun sayup-sayup mendengar suara Najandra mengaji. Binar menghentikan langkahnya ke kamar mandi, dan berjalan ke arah suara Najandra. Dari balik pintu yang terbuka, Binar mengintip Najandra yang sedang membaca Al-Qur’an dengan merdu. Diam-diam Binar tersenyum.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar