Selepas kepergian Anna dan Zenith, Ezekiel tersenyum miring. Menunjukkan sisi dirinya yang sebenarnya.
“Go away. Gak ada yang mau gue bicarain sama lo.” Usirnya dengan nada dingin.
Dahi Inara mengernyit. Merasa bingung sekaligus terkejut. Rasa antusiasnya meluntur dalam sekejap. “Maksud lo?”
‘Gue cuma ngelakuin ini demi Anna.’ Ingin sekali Ezekiel bicara blak-blakkan seperti itu. Akan tetapi, sebebsar apapun rasa benci Ezekiel terhadap Inara, Ezekiel masih menahan diri untuk tidak terlalu jujur seperti Zenith. Ezekiel tidak ingin mengadu domba Anna dan Inara.
“Gue cuma mau lihat lo doang. Gak ada hal penting.” Dari sekian banyak kalimat yang sudah tersusun di benak Ezekiel, akhirnya hanya dua kalimat itulah yang bisa ia ucapkan.
Dikarenakan Inara tak kunjung memberi respons, Ezekiel mengedikkan bahu tak acuh dan pergi dari hadapan Inara. Merasa urusannya sudah selesai. Lagipula Anna dan Zenith sudah pergi jauh sejak tadi.
“Ezekiel, tunggu!” Inara berlari kecil menyusul langkah Ezekiel.
“Lo… Lo punya masalah sama gue? Maksudnya, gue pernah ada salah sama lo? Kenapa lo bersikap hangat ke Anna sementara lo terus menghindar dari gue?”
Ezekiel tersenyum sinis. Ia pikir Inara tidak akan menyadari hal itu, rupanya Inara sudah sadar akan hal itu sejak lama. Hanya saja selama ini Inara menahannya.
“Lo punya otak’kan? Lo pikir sendiri apa salah lo sama gue. Lo baru bisa ngobrol sama gue lebih lanjut kalau lo udah tahu apa kesalahan lo.” Jawab Ezekiel sebelum berlalu dari hadapan Inara.
Masih terkejut, Inara bergumam. “Usaha gue selama ini sia-sia dong kalau faktanya gebetan yang gue suka benci sama gue.”
***
Disinilah Anna dan Zenith berakhir setelah Zenith mengganti seragamnya dengan pakaian baru yang bersih dan kering. Mereka berada di ruang musik. Disinilah satu-satunya tempat tidak tembus suara alias kedap suara. Anna dan Zenith duduk berjauhan.
“Gue udah bilang bukan jangan cari masalah.” Peringat Anna dengan nada dingin.
“Tapi gue gak bisa Na denger orang lain ngejelek-jelekin lo. Itu masuknya udah fitnah, udah pencemaran nama baik. Gue emang bersalah kalau masuk toilet cewek, tapi gue akan lebih merasa bersalah lagi kalau gue diem aja denger lo di jelek-jelekin,” Zenith berusaha membela diri.
“Kenapa lo enggak diem aja? Lo cukup diem enggak cari masalah itu udah lebih dari cukup buat gue,”
“Kalau gue diem sama aja gue jadi pelaku kayak Issabel and the gank. Lo kenapa diem aja kalau ada yang jelek-jelekin lo. Elo gak salah kenapa harus diem dan terima itu semua selama ini? Lo yang minta gue ngelindungin tubuh lo sendiri, bukan? Ini gue lagi berusaha ngelindungin elo,” nada suara Zenith naik satu oktaf. Ikut menjadi kesal.
“Lo tahu enggak sih konsekuensi terburuk dengan lo mencari keributan? Beasiswa gue di cabut. Bisa apa gue kalau beasiswa gue dicabut karena nama gue jadi jelek? Gue selama ini diam bukan berarti gue terima di jelek-jelekin. Gue tahu siapa aja yang pernah menghina dan jahatin gue. Lagian juga gue enggak sebodoh itu buat biarin semua itu terjadi tanpa ada bukti,”
Zenith langsung melunak mendengar alasan Anna yang sesungguhnya. Akhirnya rasa penasaran Zenith selama bertahun-tahun terbayarkan juga hari ini.
Anna menghela napas dengan gusar. “Please, tolong Zenith. Tolong bertahan demi gue. Lo harus bisa menahan diri, setidaknya sampai keadaan kembali seperti semula. Gue janji, kalau keadaan udah kembali normal, kalau masih ada yang menghina gue, gue serahin ke elo mau di bales dengan cara apa.”
“Tapi gue tetap gak mau minta maaf sama lo karena udah bikin keributan. Gue enggak merasa menyesal sama sekali. Meski waktu di ulang pun gue tetap bakal ngelakuin itu.”
Tahu betul akan jadi seperti ini, Anna berdecak malas. Jika orang biasa mungkin setidaknya akan berkata maaf demi sebuah formalitas. Lain hal dengan Zenith yang selalu mengikuti apa kata hatinya.
“Gue tahu.” Balas Anna pasrah.
Merasa permasalahan sudah selesai, Anna berdiri. Hendak keluar dari ruang musik.
“Lo, jangan lupa belajar. Jangan bikin nilai gue turun karena lo ngerjain asal kayak lo ngisi soal ulangan punya sendiri. Soal yang lo kerjain sekarang itu bukan lagi jadi nilai lo, tapi nilai gue.” Pinta Anna sebelum pergi.
Menyinggung soal belajar, Zenith jadi teringat akan ulangan dadakan fisika yang diadakan tadi pagi. Betul apa yang dikatakan oleh Anna, tadi Zenith memang mengerjakannya secara asal. Zenith masih suka lupa jika ia sudah menjadi Anna.
“Mampus. Anna makin marah sama gue.”
***
“Zen, lo kesambet apaan dari kemarin jadi kalem nan alim gini di kelas.” Arlan merasa aneh melihat perubahan sikap drastis Zenith.
Derryn yang duduk di sebelah Zenith pun tentu saja menyadari hal itu. “Lo gak cocok Zen kalau jadi kalem gini. Bukan lo banget sumpah.”
Anna tersenyum paksa. “Ini adalah bentuk kemurahan hati gue untuk berubah lebih baik menjadi kalem. Cewek-cewek pasti suka sama cowok cool bukan,”
Mendengar jawaban itu, sontak Arlan dan Derryn langsung bersorak heboh.
“Dih, gak usah sok elite deh lo,”
“Gue kira lo udah berubah, ternyata masih sama aja,”
“Gue pikir lo kesambet setan di gerbang,” tambah Arlan.
Anna tertawa. “Sialan lo,”
Guru Fisika yang katanya sudah memiliki anak empat masuk ke dalam kelas. Guru Fisika memang terkenal galak. Ah ralat, hampir semua guru di sekolah ini memiliki sifat tegas.
“Keluarkan selembar kertas, kita ulangan sekarang juga.”
Semua anak kelas terkejut, tidak terima jika harus ulangan dadakan. Kecuali Anna. Terlebih lagi ini adalah pelajaran fisika. Hapal betul dengan tabiat sang guru, meskipun sebenarnya enggan mereka pun tidak bisa menolak.
Ulangan harian dadakan bak tahu bulat berjalan tidak lancar. Kecuali Anna. Meskipun kini ia ada di dalam tubuh Zenith, Anna tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik demi nama baik Zenith. Ini adalah kesempatan Anna untuk membalas kebaikan Zenith. Walau sebenarnya tidak akan cukup.
Sepuluh menit ulangan berlangsung, Anna sudah berdiri maju dan mengumpulkan soal paling pertama. Lebih dahulu daripada Ezekiel yang termasuk murid tercedas di kelas ini. Melihat moment langka seperti ini, tentu saja seisi kelas terkejut. Sangat langka.
Semua penghuni kelas tahu jika Zenith tidak bisa diandalkan dalam pelajaran. Tentu saja kejadian ini bak Zenith tengah mendapatkan mukjizat. Bahkan Ezekiel pun ikut terkejut, tidak menyangka akan secepat ini dimana Ezekiel masih memiliki satu nomor lagi yang belum terselesaikan.
“Gila, si Zenith habis makan apaan sebelum ulangan?”
“Edan, sebuah mukjizat ini,”
“Matahari enggak salah terbit’kan pagi ini? Gue takut ini termasuk ciri-ciri kiamat.”
Tidak hanya teman-teman, bahkan guru fisika pun sampai terkejut. “Zenith, kau sudah selesai mengerjakan?”
Anna menganggukkan kepala.
“Serius kau? Sini ku tengok. Jangan sampai kau mengerjakan asal lagi seperti ulangan terakhir.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Anna menyerahkan lembar jawabannya. Selesai memeriksa, guru fisika pun masih tidak percaya.
“Zenith nilai kau seratus. Habis makan apa kau sebelum ulangan jadi mendadak pintar macam ni? Saya masih tidak percaya,” ujar guru fisika dengan logat batak khasnya.
Mendengar hasil nilai Zenith, sontak kelas kembali dibuat heboh.
Anna tersenyum. “Saya bisa mengerjakan ulang di depan Ibu kalau masih enggak percaya.”
Guru fisika menggeleng kemudian berdiri, menuliskan soal berbeda di papan tulis.
“Kau kerjakan saja soal ini sebagai bentuk pembuktian bahwa kau mengerjakan ulangan dengan jujur.” Titahnya.
Tanpa merasa keberatan, Anna mengerjakan soal di papan tulis dengan cepat dan teliti. Tidak ada kesalahan. Sampai-sampai Ezekiel takjub dengan cara pengerjaan Anna. Walau dengan cara yang rumit, namun lebih cepat selesai dikerjakan.
Seisi kelas takjub dengan perubahan Zenith yang terlalu tiba-tiba.
“Bagus. Cara pengerjaan kau sudah seperti Annastasia. Kalau gosip kau balikan dengan Annastasia itu benar, Ibu dukung kau. Annastasia sangat berpengaruh rupanya dalam pelajaran kau. Kenapa tidak dari dulu kau seperti itu? Cish, dasar anak muda. Pertahankan ya Zenith.”
Menggunakan cara penyelesaian yang berbeda membuat guru fisika mudah menghapal Anna dintara kebanyakan murid lainnya. Terlebih lagi Anna adalah murid beasiswa kebanggan.
“Terima kasih Ibu.” Ujar Anna sebelum kembali ke tempat duduknya.
Derryn menyambut Anna dengan heboh ketika kembali duduk di sampingnya. Ezekiel juga menyelesaikan soalnya dengan cepat karena tidak ingin kalah dari Anna. Sementara Arkan, tersenyum miring sebelum kembali lanjut mengerjakan soal.