Zenith meletakkan dua buah kartu ATM, sejumlah uang, perlengkapan pribadi lainnya seperti Laptop, obat pribadi dan lain sebagainya.
“Perlengkapan lo nanti ketik aja di chat, apa aja yang perlu gue bawain buat lo. Enggak mungkin juga’kan cowok asing dateng ke rumah lo,”
Untuk kali ini Anna setuju dengan Zenith. Tanpa perdebatan. Alih-alih Villa, tempat paling aman untuk membicarakan hal ini adalah rumah Zenith. Rumah Zenith berpenghuni beberapa pembantu beserta Zenith. Hanya saja pembantu Zenith adalah mata-mata setia kakeknya, akan melaporkan hal sekecil apapun yang dilakukan oleh Zenith.
Kedua orang tua Zenith sudah tiada sejak kecil. Zenith hanya memiliki ibu tiri yang kini sudah menikah lagi dan hidup bahagia di Jerman.
Berhubung jam-jam segini pembantunya tengah sibuk berbelanja bahan makanan, Zenith dan Anna menjadi lebih mudah masuk ke dalam rumah.
“Aden, udah pulang ke rumah?”
Mendengar panggilan pembantunya, Zenith dan Anna yang langsung berlari memindahkan barang-barang mereka masuk ke dalam kamar yang berada dilantai dua dengan panik dan terburu-buru.
Zenith menyenggol Anna untuk keluar kamar dan mendatangi pembantunya.
“Gue harus bilang apa?” bisik Anna.
“Cepetan keluar sebelum dia ketuk pintu!” desak Zenith.
Anna cepat-cepat keluar kamar dan tersenyum kikuk pada pembantunya Zenith. “Ah iya, baru pulang,”
“Tunggu lima belas menit enggak apa-apa, Den? Bibi mau masak makanan kesukaan Aden,”
“Enggak perlu Bi, tadi Zenith udah makan bareng Ezekiel di jalan,” tolak Anna halus. Tidak ingin memperumitkan masalah karena Zenith ‘asli’ masih berada di rumah ini.
“Oh ya udah, kalau gitu Aden bilang ya kalau lapar,”
Anna mengangguk kaku. “Iya Bi. Makasih.”
Bi Marni bergumam, “Kok tumben banget si Aden bilang makasih,”
Setelah memastikan Bi Marni turun ke lantai satu, Anna kembali masuk ke dalam kamar Zenith. Rupanya Zenith tengah membereskan barang-barang. Masih ingin menjaga image rapih nan bersih di hadapan mantan.
Zenith menarik kursi belajarnya untuk Anna. “Duduk.”
Setelah Anna duduk di kursi yang telah Zenith sediakan, Zenith menarik kursi bundar lainnya ke samping meja belajar.
“Untung gue belum ganti HP,” monolog Zenith seraya melepas case ponselnya lalu diberikan kepada Anna.
Padahal Zenith sudah berencana untuk mengganti merk ponselnya menjadi keluaran terbaru. Terus memakai merk ini membuat Zenith semakin gagal move on dari Anna. Siapa sangka jika kebiasaan Zenith menunda sesuatu akan menjadi sebuah keuntungan seperti disaat ini.
“Apa?” Anna tidak mengerti.
Zenith dan Anna menggunakan merk ponsel yang sama sejak mereka masih menjalin hubungan. Memang sengaja sama dan beli bersamaan pada saat itu. Hanya berbeda warna saja. Milik Anna silver dan milik Zenith merah.
“Lebih baik HP tetap di pegang masing-masing. Masukin akun lo juga di HP gue. Kalau ada hal mendesak baru kita tukeran HP. Untuk saat ini kita cukup tuker case HP aja biar orang lain enggak sadar.” Zenith menjelaskan.
“Oke.”
“Kartu debit pegang satu-satu ya. Lo bebas beli kebutuhan atau keinginan apa aja pakai kartu itu. Wajib. Lo gak boleh pakai uang lo sendiri selama ada di tubuh gue. Ini murni bentuk tanggung jawab dari gue. Mengenai urusan rumah lo, gak perlu khawatir, lo harus percaya sama gue.”
“Alright, thank you.”
“Gue saranin lo cukup seperlunya aja muncul di depan pembantu gue, misal ya buat makan atau hal-hal wajib lainnya. Pembantu gue udah lebih dari sepuluh tahun bareng gue, pasti dia sadar kalau ada sedikit gelagat gue yang enggak biasa.”
“Iya.”
“Kakek gue jarang kesini meski tinggal di Bali. Jadi lo gak perlu khawatir.”
“Heem.”
“Apa lagi ya, eum,” Zenith bergumam, sedang berpikir keras apalagi hal-hal tentang dirinya yang perlu ia beritahu pada Anna.
Anna menatap Zenith. “Cukup Zenith. Lo enggak perlu terlalu mengkhawatirkan gue. Rumah lo minim interaksi, gue rasa aman-aman aja di rumah lo. Cuma sekolah satu-satunya tempat paling bahaya,”
“Lo benar.”
Suasana kembali hening. Anna tidak banyak bicara sejak masuk ke rumah Zenith. Begitupun dengan Zenith yang merasa kebingungan mencari topik pembicaraan. Dari sekian ribu kata yang telah Zenith ucapkan, ada lima kata yang tak berani ia ucapkan.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, akhirnya Zenith memutuskan untuk memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya pada Anna. Mantan kekasih kesayangannya.
“Na, lo tau gak? Selama ini gue kangen banget sama lo.”
Anna tidak bisa menutupi rasa terkejutnya akan pengakuan Zenith yang terlalu tiba-tiba. Sebisa mungkin Anna tetap duduk dengan tenang.
“Gue juga kangen sama lo.” Balas Anna datar, tidak ingin membuat Zenith merasa payah karena keberaniannya menjadi sia-sia. Lagipula Anna tidak sepenuhnya berbohong dengan perkataannya.
Anna menghela napas dengan berat. “Zenith, gue mau kita bikin satu peraturan yang enggak boleh di langgar. Gue udah mikirin ini matang-matang sebelumnya, jadi gue mohon lo jangan sampai salah paham.”
Dahi Zenith mengerut, tidak mengerti apa yang Anna maksudkan. “Peraturan?”
Anna merobek dua lembar kertas yang sudah ia tulis dengan satu peraturan yang sama.
RULES A TO Z
Zenith sedikit menyunggingkan bibirnya membaca tulisan tersebut. A to Z. Inisial itu tak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun. Namun senyuman Zenith luruh ketika membaca peraturan yang telah Anna buat.
Dilarang saling jatuh cinta, lagi.
“Nana,” gumam Zenith sedih. Seolah semua angan-angannya selama ini lenyap dalam sekejap.
“Lo bisa tambahin peraturan lo sendiri kalau lo mau,”
Zenith menggeleng pelan. Persis seperti anak kecil yang tengah sedih menolak mainan baru, karena masih sayang dengan mainan lamanya yang telah hilang.
“Kalau enggak ada yang perlu di tambahin, lo bisa tanda tangan,” Anna menunjukkan tempat di sebelah tanda tangannya.
Lesu, Zenith menuliskan tanda tangannya tanpa gairah. Wajah sedihnya tidak bisa di tutupi lagi.
“Nih, udah,” ujar Zenith jutek seraya mendorong kertas sialan itu jauh-jauh darinya. Zenith sedang mengambek.
Belum selesai, Anna menunjukkan kertas satu lagi. “Satu lagi belum,”
Zenith berdecak kesal dan menandatanganinya dengan asal.
“Yang bener Zenith,” tegur Anna.
“Saku-saku gue,” balas Zenith sinis.
Anna tersenyum melihat kertas yang sudah di tanda tangani oleh Zenith. “Nih pegang satu-satu.”
Zenith merampasnya dengan kasar. Tidak peduli jika kertasnya menjadi kusut karena ulahnya. “Udah ah, gue mau pulang,”
Sadar akan perubahan sikap Zenith yang terlalu tiba-tiba, Anna bertanya. “Lo PMS?”
Masih dengan wajah cemberut, Zenith segera memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Bersiap hendak pergi dari rumah ini.
“Apa itu PMS PMS, lo kata PNS kali ah. Gue cowok, mana ada PMS. Gue cabut, bye!”
Berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya, Zenith semakin jelas menunjukkan kekesalannya dengan cara menutup pintu kamar secara kasar dari luar. Takut Anna terkejut akan sikap kasarnya, Zenith membuka pintu dan menutup kembali secara perlahan dari luar. Mereka ulang adegan.
Anna terbengong menatap tingkah Zenith yang sebelas dua belas dengan anak tetangganya ketika sedang mengambek.
“Lah, dia lupa kalau udah jadi cewek?”