Anna dan Zenith menghabiskan sepiring sarapan roti yang diantarkan pelayan beberapa menit yang lalu. Mereka berdua menghabiskan makanan dengan rakus, saking laparnya belum makan dari pagi.
Zenith menunjukkan layar ponselnya pada Anna, menyuruh Anna membaca ruang obrolan gank-nya.
“Apa? Balapan? Gila aja lo nyuruh gue ikutan balapan,” tolak Anna mentah-mentah.
“Kalau seorang Zenith nolak hal itu, gimana harga diri gue nanti?”
Anna mengarahkan pisau roti pada Zenith. “Lebih peduli mana, harga diri lo atau nyawa gue? Ini emang tubuh lo, tapi ada nyawa gue di dalamnya.”
Sontak Zenith langsung terdiam. Tidak bisa menjawab.
“Sebisa mungkin gue harus meminimalisirkan kegiatan tubuh Zenith dengan teman-temannya. Lo gak mau ketahuan temen-temen bukan, kalau tubuh lo itu berjiwa cewek?”
Zenith menggelengkan kepalanya berulang kali.
Kemudian ponsel Zenith berdering, Arlan, salah satu sahabat Zenith menghubunginya. Refleks Zenith langsung menggeser logo hijau, sebelum Zenith berbicara Anna segera merebut ponsel Zenith dan menyalakan pengeras suara. Tak lupa Anna mencubit Zenith, gemas terhadap kebodohan sang mantan.
“Eh, Lan, napa lo nelpon gue?” Anna berusaha mengubah nada bicaranya menjadi khas anak gaul nan hits.
“Zen, lo lagi dimana dah? Lo cabut ya dari sekolah? Kok gak ngajak gue sih,”
“Gue…” Anna memberi kode pada Zenith, bertanya harus memberikan jawaban apa.
“Gue lagi di Villa,” jawab Anna jujur.
“Gue tau. Gue nanya cuma buat basa-basi doang kok. Jangan-jangan lo tau ya kalau hari ini sekolah lagi pulang cepet makannya cabut duluan?”
Anna tertawa garing. Bingung hendak memberikan jawaban apa. Begitu pula dengan Zenith karena tidak terbiasa berbohong.
“Cepetan keluar, gue sama yang lain udah di depan Villa lo.” Ujar Arlan sebelum mengakhiri panggilan secara sepihak.
Mendengar suara klakson mobil, Anna dan Zenith menjadi panik. “Zenith, lo kan tau sendiri dari zaman kita pacaran aja gue kurang akrab sama temen-temen lo karena mereka gak suka sama gue. Lo—”
“Kata siapa? Enggak. Temen-temen gue gak suka sama lo awalnya cuma pura-pura cuma buat ngetes elo doang, tapi si kembar emang jadi gak suka sama lo gara-gara lo mutusin gue dan bikin gue sakit tipes seminggu.” Jawab Zenith terlampau jujur.
“ZENITH! ZENITH!” suara teriakan Arlan mulai terdengar, membuat Anna dan Zenith semakin terdesak.
“Lo harus diem. Jangan bertingkah aneh. Ikutin apa kata gue. Jangan ngomong kalau gak di ajak ngomong.” Peringat Anna galak.
“Astaga! Kalian—” Arlan terkejut melihat kebersamaan mantan yang rumornya sudah menghilang dalam waktu satu tahun terakhir.
“Astaghfirullah, kalian balikan?” sahut Arkan, kembaran Arlan. Mereka berdua bak pinang di belah dua.
“Apa lo kalian-kalian?” sahut Anna galak. Sementara Zenith berusaha sekuat mungkin untuk stay calm di hadapan para sahabatnya. Padahal aslinya Zenith sudah ingin menjambak si kembar yang hobi membuat kerusuhan.
“Lo cuma berdua doang? Gak ajak yang lain?” tanya Anna, berusaha membaur walau tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya.
“Derryn lagi jalan sama ceweknya, Ezekiel lagi jalan sama nyokapnya. Gue lagi hindarin orang pacaran, eh siapa sangka malah ketemu mantan lagi balikan,” balas Arlan seraya melirik Zenith sinis.
Sadar jika Zenith akan terpancing amarah karena mendapatkan lirikan sinis, Anna segera mencubit Zenith supaya sadar akan posisi mereka.
Sementara Arkan langsung merangkul Anna dan membawanya ke ruangan lain. Sikap si kembar menunjukkan dengan jelas jika mereka masih tidak menyukai sosok tubuh Anna.
“Zen, lo berdua ngapain berduaan disini? Mana di kaki gunung pula. Lo beneran balikan? Sumpah lo? Gak ada angin gak ada hujan, lo berdua balikan?” Arkan menjadi heboh sendiri.
Anna mengerutkan dahi. “Emang kenapa kalau gue sama Zenith, eh, Anna balikan?”
Arkan merengut. “Kok lo malah nanya kenapa. Lo sendiri yang bilang Anna nyelingkuhin lo terus mutusin lo. Masa lo mau balikan sama tukang selingkuh?” kompornya.
Anna tertawa sinis. Rasa penasarannya selama satu tahun terjawab sudah melalui mulut kompor Arkan. Pantas saja teman-teman Zenith selalu kompak menatapnya sinis dan mengasingkannya semenjak kabar mereka berpisah telah tersebar seantaro sekolah.
Merasa puas, Anna menepuk-nepuk punggung Arkan, kemudian berbisik, “Lo tau sendiri gue orangnya gimana. Kalau gue balikan sama Anna, lo bebas minta apa aja ke gue, atau lo mau hajar gue juga boleh.”
Arkan menatap Anna curiga. “Zen, lo salah minum obat ya hari ini?”
“Maksud lo?”
Dalam hati Anna sudah was-was, curiga, cemas jika aktingnya ketahuan oleh Arkan. Tapi yang pasti Anna tahu, Arkan tidak sepintar itu untuk menebak hal tidak masuk akal seperti ini. IQ dan EQ si kembar tidak setinggi yang Anna pikirkan.
“Maksudnya, kalau gue sama Arlan mau nginep disini, kan kamar cuma ada dua, lo mau tidur sama Anna?”
Refleks, Anna langsung melayangkan pukulan ringan kepada Arkan. “Sinting lo. Gue juga masih tahu batasan.”
Sadar jika topik pembicaraan Arkan tidak ada yang berbobot, Anna memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, disusul oleh Arkan. “Ih serius gue nanya. Ya kan siapa tahu lo kangen sama mantan terus malah ngelupain temen lo,”
“Berisik!” Anna tidak mengacuhkan ocehan Arkan.
Arlan tersenyum miring melihat kedatangan Arkan dan Anna dari dapur. “Sini-sini. Kita main berempat.”
Anna tak bisa menutupi rasa terkejutnya melihat ‘mainan’ yang sudah di susun rapih di atas meja. Jenga dan kartu. Dua hal yang paling dihindarinya selama berdekatan dengan Zenith.
Hendak melihat balik kartu sebelum memulai permainan, namun Anna kalah cepat dengan Arlan yang sudah merebut kartu tersebut dan memindahkannya ke posisi paling aman.
“Ini kartu baru. Kejutan buat kalian berdua.”
Arkan menepuk bahu Anna. “Gue juga gak tau. Arlan yang ngatur.”
Anna dan Zenith saling melemparkan tatapan penuh arti. Sudah lama Zenith tidak mengumpati si kembar dari lubuk hati terdalamnya. Jenga dan kartu adalah perpaduan sempurna untuk menjebak seseorang. Bahkan Anna berani menyebut bahwa ini adalah permainan setan.
“Eh, tunggu sebentar, Ezekiel bentar lagi sampai, dia nyusul habis nganterin nyokapnya,” interupsi Arkan, menunda permainan.
Diam-diam Anna menghela napas. Gugup. Permainan terakhir yang mereka mainkan di pantai berhasil membuatnya cukup trauma. Sial. Mengapa Zenith masih berteman dengan orang aneh seperti mereka?
Crazy and psycho, bahkan kedua kata itu tidak cukup untuk menggambarkan permainan ini. Tidak ada kata ‘tidak’ dalam permainan mereka. Apabila mendapatkan stiker merah yang tertempel di jenga, maka diharukan membuka kartu dan menjalankan misinya hingga tuntas. Mulai dari tugas paling mudah hingga paling sulit. Semua kembali kepada keberuntungan sang pemain.
Sejak kenal permainan ini pula Anna menjadi benci warna merah. Di permainan terakhir mereka, Anna yang memiliki phobia dengan laut mendapatkan misi untuk berendam di laut selama tiga puluh menit. Padahal waktu itu Zenith sudah marah-marah, namun kembali kepada peraturan tidak ada kata ‘tidak’ dalam permainan mereka.
Permainan itu baru berakhir di menit ke tiga puluh ketika Anna sudah kehilangan kesadaran di laut selama satu menit. Zenith emosi bukan kepalang hari itu.
Ezekiel masuk dengan napas terengah-engah. Siapapun tahu jika Ezekiel datang kemari secara terburu-buru.
“Anna, lo kenapa bisa disini?” bukan sapaan, melainkan pertanyaan itu lah yang Ezekiel ajukan ketika tiba di Villa.
Sontak Zenith langsung menatap Anna. Bingung dengan sikap Ezekiel yang tidak pernah Zenith lihat sebelumnya. Dalam hati ia bertanya-tanya mengenai hubungan Ezekiel dan Anna yang sebenarnya.
“Anna, ayo pulang.” Ezekiel langsung meraih tangan Zenith yang refleks langsung di lepaskan oleh Zenith.
‘Horor kali lah kalau gue gandengan sama Ezekiel. Dikata truk gandeng kali ah..’ Umpat Zenith dalam hati.
“Anna lo gak aman disini, hubungan lo sama Zenith udah gak kayak dulu kecuali kalau hari ini kalian balikan. Lo—”
“Please, sit down Ezekiel. Gue ngundang lo bukan buat lo ngajak Anna pulang.”
Persis seperti reaksi Anna sebelumnya. Ezekiel tak bisa menutupi rasa terkejutnya ketika menyadari terdapat permainan laknat yang sudah disusun rapih di atas meja.