“Lo ke sekolah naik apa?” Zenith bingung karena tidak dapat menemukan motornya di parkiran sekolah.
“Gue? Naik ojek online. Gak mungkin gue ke sekolah naik motor gede punya lo,”
Zenith mendengus. Seharusnya ia sudah tahu hal itu tanpa perlu ditanyakan.
“Udah pesen mobil?”
“Udah, dua menit lagi.”
Sadar jika ponsel yang di pegangnya sejak tadi bukan miliknya, Anna segera mengembalikan ponsel kepada Zenith. “Nih HP lo. Berisik banget HP lo dari tadi. Gue gak buka yang aneh-aneh kecuali aplikasi ojek sama kamera,”
Zenith menerima ponselnya sembari bergumam. “Buka aplikasi pribadi juga enggak apa-apa,”
“Kenapa? Lo bilang apa barusan?” Anna menolehkan kepala.
“Enggak. Tuh mobilnya, ayo.”
Setelah membuka pintu mobil Zenith membiarkan Anna masuk terlebih dahulu sebelum dirinya. Jika orang lain melihat ‘seorang perempuan membukakkan pintu mobil untuk laki-laki’ mungkin akan berpikir aneh. Namun hanya mereka berdua yang mengetahui kebenarannya.
Sepanjang perjalanan mereka berdua tidak ada yang membuka suara. Tidak ingin juga menimbulkan kecurigaan dari orang asing. Pada akhirnya mereka berdua terlarut dalam pikiran masing-masing hingga sampai ditujuan.
Perjalanan yang memakan waktu satu jam akhirnya mereka lewati. Berkunjung ke villa di pinggir kota dengan suasana asri pun membuat mereka merasa kembali di masa-masa indah mereka. Tentu saja Villa ini telah menjadi milik Zenith.
Anna langsung menghempaskan tubuh di atas sofa empuk. “Zenith, sebelum kita ngobrol serius lo harus lepas salah satu baju yang lo pakai. Pilih lepas baju tidur atau seragam,”
“Gak! Gue gak mau pakai baju lo dua-duanya. Seorang Zenith pakai baju tidur pinky dan seragam rok?” Zenith berdecih sinis. Seorang Zenith yang terkenal gantleman tidak akan sudi melakukan hal feminimin seperti itu!
“Terus, lo mau telanjang? Inget, itu badan gue bukan badan lo!” Anna berkacak pinggang bak seorang ibu yang sedang mengomeli anaknya yang terus membantah.
“Ya, enggak gitu juga,” suara Zenith melemah.
“Nih buktinya, gue udah bawa baju dari lemari lo tadi pagi. Gue gak berani lepas baju tanpa izin lo,” Zenith mengeluarkan ransel yang berisikan pakaian.
“Good job. Sekarang ayo kita ke kamar mandi,” Anna menyeret Zenith menuju kamar mandi yang letaknya sudah Anna hapal di luar kepala.
Melintasi cermin, Zenith tidak percaya bahwa saat ini tubuh pria yang sedang menyeret tubuh perempuan menuju kamar mandi. Persis seperti di film psikopat mesum.
“NA! NANA! LO JANGAN KAYAK ORANG MESUM GITU AH! NANA!”
Kesal, Anna menyentil kepala Zenith. “Lo tuh ya, bisa gak sih jangan mikir yang aneh-aneh?”
Setelah Zenith masuk ke kamar mandi, Anna segera menguncinya dari luar.
“NANA! JANGAN KUNCIIN GUE! SINI LO IKUT MASUK! INI BADAN LO JUGA!” Zenith kembali histeris.
“Stay calm Zenith. Gue gak akan bukain pintu sampai lo selesai ngurusin badan gue di dalam sana. Jangan takut, gue ajarin lo dari luar, ikutin apa kata-kata gue,” suara Anna yang lembut membuat Zenith sedikit tenang.
“Tapi Na, gue merasa bersalah setiap gue mau lepas baju tidur pinky ini,” Zenith mendengus melihat baju tidur bermotif karakter Melody.
“Gue percaya sama lo, jadi jangan merasa bersalah.”
Akhirnya Zenith selesai membersihkan tubuh setelah satu jam berlalu. Sebenarnya dengan waktu lima belas menit pun cukup, hanya saja ini menjadi terlalu lama dengan drama Zenith teriak-teriak di kamar mandi setiap kali melakukan sesuatu. Anna juga telah mengganti seragam dengan pakaian casual. Kini Anna membantu mengeringkan rambut Zenith menggunakan handuk.
“Ribet juga ya jadi cewek,” komentar Zenith setelah terdiam beberapa saat.
“Lo kata jadi elo juga gak ribet? Lo pasti ketawa kalau tadi pagi lo liat gimana balesan gue di sapa anak-anak di gerbang tadi, sampai dibilang sombong karena gue awalnya gak sadar gue itu Zenith.”
Baru mendengar saja Zenith sudah tertawa. Meskipun tidak melihatnya, tapi Zenith sudah bisa membayangkan bagaimana hal itu terjadi. Pantas saja tadi Anna mencari tempat sepi untuk menunggunya datang.
“Terus kenapa lo tadi nunggu di bawah pohon udah kayak kunti? Kenapa lo gak chat atau telepon? Gue sampai nyari lo ke kelas lo, jadinya orang yang liat itu jadi bingung seorang Anna mencari Zenith di kelasnya sendiri,” balas Zenith tak mau kalah.
Anna dibuat tertawa juga. Setelah tawa keduanya mereda, barulah Anna berbicara serius.
“Zenith, gue boleh minta tolong banget enggak ke elo?”
Zenith menolehkan kepala mendengar permintaan Anna. Meskipun suara mereka berdua juga tertukar, tapi tetap saja rasanya setiap kali Anna berbicara bukanlah suara bariton yang terdengar, melainkan suara lembut khasnya. Sudah satu tahun berpisah pun, suara lembut khas Anna tidak akan pernah bisa ia lupakan.
“Lo boleh minta apa aja sama gue,” jawab Zenith siap sebelum Anna mengatakannya.
“Kalau gue minta tesla emang lo bakal kabulin?”
“Ya gak gitu juga Nana,” balas Zenith gemas. “Itu uruannya nanti kalau lo udah sah sama gue.” Lanjutnya tanpa beban.
Anna mendesis tanpa menyembunyikan senyuman salah tingkahnya. “Tolong jagain tubuh gue baik-baik ya? Jangan pernah terlibat masalah. Gue gak punya apa-apa dan siapa-siapa selain diri gue sendiri. Tolong rawat tubuh gue baik-baik. Gue yakin lo bisa menjaga tubuh gue dengan baik bahkan lebih baik dari gue sendiri. Begitupun gue akan berusaha jaga tubuh milik lo.”
Hati Zenith terenyuh mendengar permintaan Anna. “Jangan khawatir, gue akan jaga tubuh lo baik-baik.” Jawabnya meyakinkan.
Hal itu membuat Zenith teringat dengan kejadian pagi ini. “Oh iya. Lo punya Abang? Kenapa gak pernah cerita? Gue kok kayak gak asing ya lihat Abang lo,”
Anna terdiam sesaat. Bimbang harus bercerita atau tidak.
“Na?” panggil Zenith karena Anna terus diam tak bergeming. “Gue salah pertanyaan ya? Gue ganti ya, gue—”
“Ibu gue dibunuh.” Ujar Anna dengan suara bergetar.
“Apa?” Dari semua rasa terkejutnya sejak pagi, hal ini lah yang paling membuat Zenith jauh lebih terkejut daripada sebelum-sebelumnya.
“Ibu gue dibunuh sama Bokap gue. Bokap di penjara, gue pindah ke tempat lain karena tetangga terus mengusik gue. Akhirnya Abang gue balik ke rumah dalam keadaan nganggur dan semakin stress. Sebenarnya udah lama banget gue mau keluar dari rumah itu. Tapi, daripada gue tinggal sendirian, gue masih punya keluarga, gue berusaha bertahan dengan harapan semuanya akan membaik.”
Zenith tidak bisa berkata-kata. Zenith tahu betul seberapa dekat Anna dan Ibunya.
“Kapan kejadiannya?”
“Satu Minggu sebelum kita putus.” Anna mengalihkan pandangan ke arah lain, tak ingin melihat Zenith ketika membicarakan topik sensitif seperti ini.
Selama berpacaran Zenith dan Anna memang seringkali bertengkar. Namun tidak pernah separah pertengaran terakhir mereka sebelum Anna memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Sebenarnya pertengkaran itu hanyalah salah paham, namun Anna yang sedang dalam kondisi tidak baik dan Zenith yang tidak menyadari kondisi Anna membuat pertengkaran itu semakin hebat.
“Na, lo emang paling jago bikin gue merasa bersalah ya,” gumam Zenith penuh penyesalan.
“Nana,” panggil Zenith.
Anna menoleh tanpa bersuara.
“Kalau gue minta maaf sekarang untuk pertengkaran terakhir kita, apa maaf dari lo masih berlaku?” tanya Zenith pelan, seperti seseorang yang tidak berani meminta maaf.
Anna menggelengkan kepala, tidak ingin berlarut dalam masa lalu. “Lo gak perlu minta maaf. Gue juga bersalah untuk pertengkaran itu. Mari kita anggap inpas.”
“Kalau gue meluk lo sekarang dengan harapan gue bisa menebus waktu yang seharusnya gue ada di sisi lo waktu itu, apa itu masih berlaku?”
Kali ini Anna menjawabnya dengan anggukan kepala. Tanpa berkata apa-apa lagi, Zenith menarik Anna ke dalam pelukannya. Memeluk Anna erat-erat tanpa ingin melepasnya lagi.