EXT. BANDARA - ARRIVAL GATE — SIANG
BARA berjalan pelan dengan senyum tipis melewati pintu kaca yang terbuka otomatis. Ia menggunakan tas punggung hanya di sebelah tangan saja.
Terlihat satu orang laki-laki berjas dan beberapa perempuan berkostum tradisional menyambut setiap orang yang keluar dari bandara. Di tangan masing-masing perempuan terdapat kalung-kalung bunga.
Sepasang suami istri yang berjalan di depan Bara disambut oleh mereka, masing-masing dikalungkan satu rangkaian bunga oleh penyambut-penyambut itu, sang suami terlebih dahulu baru sang istri. Gerak mereka otomatis, sistematis, dan efisien.
Seorang Penyambut dengan dua rangkaian bunga di tangan kiri mendekati Bara. Ia tersenyum manis nan formil kemudian dengan sigap mengalungkan satu rangkaian bunga kepada Bara. Ia lalu refleks mengambil rangkaian bunga satu lagi dan mencoba mengalungkan ke seseorang di sebelah Bara yang sebenarnya tidak ada.
Penyambut itu berdiri kaku sesaat menyadari refleks gerak yang terlalu sering ia ulang, ia lanjut mengalungkan rangkaian bunga di tangannya ke Bara lagi, menutup rasa malu sebelum tersenyum kembali.
PENYAMBUT
Sekarang ada dua rangkaian bunga di leher Bara. Bara berjalan ke arah taksi. Sebelum masuk ke mobil ia melirik kembali ke belakang, ia melihat penyambut tadi mengalungkan seorang perempuan berbaju garis-garis pelangi pastel berlengan pendek dengan kamera bergantung di depan dada. Ia juga dikalungkan dua rangkaian bunga. Wajah perempuan itu terlihat samar dari kejauhan.
CUT TO:
INT. LOBI HOTEL MIRARI - MEJA RESEPSIONIS — SIANG
BARA menunjukkan hp kepada RESEPSIONIS A tanpa berbicara. Meja besar itu hanya dijaga oleh satu orang saja. Lobi tempat ia berada dipenuhi furnitur dengan pernak-pernik cermin. Bara melihat ke arah resepsionis, terdapat pula cermin besar yang panjangnya sama dengan meja resepsionis itu. Bayangan Bara pada cermin di belakang meja resepsionis tertutupi bayangan resepsionis. Resepsionis sigap saat memeriksa kode booking yang tertera di layar hp Bara, dan tak lama ia menaruh kunci di atas meja marmer dan mendorongnya dengan elegan.
RESEPSIONIS A
(sambil tersenyum lebar dikulum)
Senyum Resepsionis terlihat tulus namun terasa artifisial di dalam hati Bara. Bara tetap membalas senyum, namun tidak selebar saat baru tiba di bandara.
CUT TO:
INT. KAMAR HOTEL BARA — SIANG
BARA mendorong pelan pintu kamar inapnya hingga terbuka lebar. Ia menghela nafas saat melihat ada dua kasur single di dalam kamar. Ia menoleh ke belakang seakan ingin kembali ke meja resepsionis tapi ia membatalkan niatnya.
Bara masuk ke dalam kamar dan kembali menghela nafas lebih berat saat menyadari seberapa besar kamarnya itu, terlalu besar untuk diinapi satu orang menurutnya. Ia menekan saklar lampu untuk menghidupkan dua lampu tidur yang masing-msing berada di sisi terluar tempat tidur. Salah satu lampu itu hidup lebih lambat dan berkelip beberapa kali sebelum bersinar terang. Bara menaruh tas di kasur dan mulai mengeluarkan isi tas.
Air di wastafel menusuk dingin wajahnya saat mencuci muka, pantulan mata Bara di cermin meneriakkan sendu.
CUT TO:
INT. LOBI HOTEL MIRARI — SIANG
BARA turun menyusuri tangga perlahan, langkahnya ragu belum tahu ingin menuju ke mana, di lobi itu hanya dirinya saja yang terlihat, begitu juga dengan cermin-cermin di lobi yang hanya memantulkan bayangan Bara.
Ia berjalan melewati meja resepsionis lalu berhenti di dekat meja rias bercermin bundar sebelum booth souvenir, bayangan Bara belum terlihat pada cermin bundar itu, hanya cerminan orang berlalu-lalangan dari kejauhan.
Bara menoleh ke kanan melihat keramaian di seberang pintu besar berkusen kaca. Matanya memproses orang-orang berpakaian santai, berlalu lalang dengan senyum dan bercengkerama dengan orang-orang di samping mereka, kamera tergantung di leher beberapa orang. Bara seakan mendapat ilham setelah melihat orang-orang tersebut. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia tahu ingin melakukan apa sekarang.
Bara baru menyadari bahwa ia berdiri di depan sebuah cermin, kali ini hanya memperlihakan bayangnya sendiri. Ia menatap lekat-lekat ke matanya sendiri tanpa ekspresi, menampilkan senyum tipis palsu sesaat lalu melangkah dengan pasti ke arah pintu keluar hotel.
CUT TO:
EXT. PANTAI A - TROTOAR KAYU — SORE
BARA memain-mainkan disposable camera yang baru dibelinya dari salah satu booth di hotel, ia menimbang-nimbang berat kamera itu, wajahnya mencari-cari objek foto saat berjalan menyusuri pantai di trotoar kayu.
Bara berhenti dan menoleh ke sana kemari. Sepeda-sepeda tandem berlalu-lalang, langit sore di atas laut berwarna keunguan, pasangan yang berjalan beriringan, kerumunan kecil orang-orang yang menonton pertunjukan jalan. Belum ada hal yang benar-benar ingin ia potret. Bara akhirnya hanya menikmati apa yang dilihatnya dengan sedikit rasa senang tanpa memotret apapun, lalu lanjut menyusuri trotoar.
Di sudut layar, dari kejauhan, terlihat perempuan bandara berbaju garis-garis pelangi sedang berjalan-jalan dan memotret seperti Bara. Wajahnya masih samar-samar.
Beberapa puluh meter di depan Bara terdapat kerumunan kecil orang menonton dalang memainkan boneka kayu sambil bercerita. Bara berhenti menonton.
Sang Dalang memainkan boneka kayu yang menunjukkan ekspresi tersenyum, namun gerak tubuh boneka selalu bungkuk dan terlihat letih. Dalang itu bercerita dengan bahasa yang tidak familiar untuk telinga Bara, namun Bara tetap lanjut menonton pertunjukan kecil itu.
Bara memotret boneka itu di tengah pertunjukkan, saat dalang mulai berdiri tegak Bara menaruh selembar uang dan melanjutkan jalan santainya.
CUT TO:
EXT. PINGGIR PANTAI A - PESISIR BERPASIR — MALAM
Bara berjalan pelan sambil melesakkan kakinya ke dalam pasir, melambungkan pasir-pasir tiap melangkah. Tangan kirinya memegang kamera dan di tangan kanannya tergenggam botol kaca minuman dengan dua jari menenteng sandalnya.
Sesekali Bara menyesap minumannya dari botol, ekspresinya tenang dan puas menikmati harinya. Ia melayangkan kakinya perlahan dan menjatuhkannya perlahan pula, menancapkan setiap kaki dalam-dalam ke pasir menikmati sensasi gesekan yang terjadi di seluruh permukaan kakinya, meresap suara-suara deburan ombak yang mendengkur halus di gendang telinganya juga menyambut belaian menyejukkan nan halus dari angin sepoi-sepoi. Bara benar-benar tenggelam di dalam kesendirian yang memabukkan dirinya.
Setelah berjalan beberapa menit, sedikit jauh dari tempat Bara berada saat ini dapat terlihat cahaya api menari-nari di langit juga kerumunan orang di dekat sumber cahaya tersebut. Bara meneguk minuman tanpa mengalihkan pandangannya ke cahaya tersebut dan lanjut berjalan ke arah sana.
Semakin dekat, Bara bisa mendengar riuh orang-orang bersenandung mengikuti irama musik yang berputar dari speaker portable. Orang-orang yang ada di tempat itu terlihat menikmati alunan lagu sambil memperhatikan api berkobar menari-nari. Bara ikut berdiri, sedikit berjarak dari api tersebut.
Musik yang terputar digantikan lagu dengan irama yang bersemangat, awalnya ada satu laki-laki yang bergoyang pelan ke dekat api tersebut, bergerak dansa ala Vincent Vega di Pulp fiction. Ia kemudian berbalik badan, memanggil pasangannya dengan gestur tangan. Pasangannya menyambut riang, mulai berdansa ala Mia Wallace. Senyum terpampang lebar di wajah kedua orang itu. Bara menyesap minuman, ia bisa melihat peluh-peluh sehat mulai bercucuran di pori-pori mereka.
Setelah sekian waktu dua orang tadi berdansa sendirian, muncul seorang laki-laki yang datang ingin berdansa pula. Laki-laki berbaju hitam dengan celana pendek sama hitamnya mendekati api dengan penuh percaya diri, ia berdansa mengikuti Peter Parker di Spiderman 3.
Ia kemudian mulai menunjuk-nunjuk kerumuman ala pistol koboi untuk mengajak mereka ikut berdansa di dekat api. Orang-orang mulai mendekati api unggun dengan semangat ikut berdansa dengan gaya unik mereka masing-masing, didampingi pasangan masing-masing, mengikuti irama musik serak volume maksimal.
Ekspresi Bara berubah agak kosong. Sekelibat hal mulai keluar masuk di dalam pikiran Bara saat ia menyesap minumannya, berulang dan berulang, dengan wajah tanpa ekspresi menyaksikan apa yang terjadi di depannya. Makin banyak pasangan-pasangan di dekatnya beranjak ke tempat dansa.
Malam semakin gelap, api semakin terang, suasana semakin meriah. Bara seakan terisolasi dari suasana dan pusat kesenangan(yang sebenarnya masih terjangkau hanya dengan beberapa langkah pendek). Ekspresi Bara seakan menyadari bahwa kesendiriannya tidak lagi semabukkan sebelumnnya.
CUT TO:
INT. KAMAR HOTEL BARA — MALAM
BARA terlentang di kasur menatap langit-langit kamar. Ekspresinya penuh melankoli namun matanya menatap tajam ke sebuah titik imaginer di langit-langit kamar. Rautnya sedang meruminasi apa yang baru saja terlintas dalam pikirannya di api unggun tadi, memproses emosi apa yang sebenarnya di rasakan kala itu dan juga emosinya sekarang.
Bara merasa ia tidak akan mendapatkan jawabannya malam ini, pelan-pelan ia memejamkan mata berusaha tidur. Di tengah proses meredupnya cahaya yang masuk ke dalam bola mata Bara, Bara menggosok-gosok sisi lengan, merasakan dinginnya kamar hotel.
Sebelum terhanyut ke arus mimpi, Bara setengah melirik ke sebelahnya. Ia melihat arus hawa dingin terpancarkan dari kasur kosong yang rapi tanpa cacat, tak tersentuh hawa keberadaan manusia.