81. EXT. KORIDOR KELAS, LANTAI 5 — SIANG HARI
Semua reflek melihat ke lantai paling bawah dari pinggir railing koridor.
Gian berlari cepat dari koridor lantai 5 menuju lantai bawah.
Tasta, Biza, Estya, Risa, Fajrin, Dili, Permana, Adung, Dirto, Pratama mengekor berlari di belakang Gian.
Fajrin berlari mendahului, panik membolak-balik setiap lembar di buku gambar Gian. Memastikan semua gambar di dalamnya tidak ada yang kotor dan sobek.
Dili ikut mengecek berulang kali.
Gian mengecek ulang buku gambarnya, memukul gemas punggung Fajrin dan Dili bergantian.
Gian memukul ulang tas ransel Fajrin.
Fajrin melepaskan tas dan membukanya.
Risa merebut bola basket di tangan Fajrin, lalu menuju lapangan di pinggir area parkir.
Tasta, Biza, Estya, Risa, Fajrin, Dili, Permana, Adung, Dirto, Pratam, Gian berlari ke lapangan basket, bermain asal tanpa aturan.
Estya berlari menutup kelapa dengan kedua tangannya ke pinggir lapangan menuju bangku tempat tumpukan tas mereka.
Tasta melempar bola ke arah Fajrin, mengelap kacamatanya sambil berlarian menuju bangku di pirnggir lapangan.
Semua mengambil tas masing-masing dan berlarian sambil tertawa ke arah kanopi terdekat dari lapangan, Kantin.
82. EXT. KANTIN — SIANG HARI
Semua menaruh tasnya, duduk berhadapan di kursi besi panjang berwarna orange dan putih.
Biza melambai tinggi-tinggi ke arah Mustopa.
Estya menjabarkan kemudian menoleh ke arah Gian dengan sumringah.
Gian mengangguk sambil mengelap rambut yang agak basah terkena air gerimis.
Gian, Tasta, Biza, Estya, Risa, Fajrin, Dili, Permana, Adung, Dirto, Pratama mengacungkan jari, berpandangan kemudian tertawa terbahak.
Gian mengerutkan dahi membaca pesan tanpa membalas, menengok ke arah kiri dan kanan, depan juga belakang. Mencari.
83. EXT. KORIDOR KELAS, LANTAI 5 — PAGI HARI
Adung menggiring semua ke dalam kelas dengan tangan seperti menggiring anak ayam.
Teman-teman sekelas berlarian kecil memasuki kelas.
Tasta sewot, sambil tetap membetulkan ikatan gelang di pergelangan tangan Gian.
Gian memeletkan lidah ke Adung. Mengangkat tangan kanannya, mematung di depan Tasta.
Adung memelototkan mata galak, bercanda, menghilang di balik pintu kelas.
Gian mengendus sebal memegang handphone dengan tangan kirinya, membaca satu pesan di layar. Kemudian melirik ke kanan dan ke kiri, mencari.
Tasta menarik ikatan terakhir gelang tangan kanan Gian.
Gian menurunkan tangannya, memutar pergelang tangan kanan, mengecek.
Gian melirik ke arah yang Tasta sebut.
Gian mengangguk, mengekor, masuk ke dalam kelas E501.
84. EXT. JALANAN SAMPING LAPANGAN — SIANG HARI
Gian mengekor Biza, Biza tiba-tiba menghentikan langkah.
Biza membalik badan pelan, melirik hati-hati kesekeliling.
Gian mengangkat bahu.
Biza menunjuk ke atas dengan isyarat mata.
Gian mendongakan kepala ke arah atas. Melihat Bang Alfa dan teman-temannya. Berdiri di koridor kelas gedung E lantai 5.
Bang Isat melompat-lompat sambil berteriak kegirangan.
Agam memukul lengan Bowo.Bang alfa dan yang lainnya tertawa.
Biza menarik tangan Gian, lanjut berjalan.
Gian menoleh ke atas sebelum mengekor langkah Biza.
85. EXT. KANTIN — SORE HARI
Risa sedikit berteriak, suaranya kalah dengan suara hujan. Sambil mencocol gorengan bakwan, kemudian duduk persis di samping Gian.
Gian menyeruput Dancow blend,menggeser handphone yang di pegangnya menjauh dari Risa.
Risa menggeser wajahnya mendekat, mengintip layar handphone Gian.
Tasta menyimak, tersenyum sambil mengunyah.
Menyodorkan ke Biza, sambil tetap menyimak juga.
Biza membuka botol.
Gian mengangkat bahu, mengambil gorengan bakwan, memakannya.
Risa mengelap mulutnya yang terkena saus kacang.
Biza tersenyum, melirik Gian curiga, sambil juga makan bakwan.
Gian menarik handphonenya jauh-jauh.
Biza terbahak.
Gian ragu. Kemudian mengetikan sesuatu di handphonenya.
Menyeruput Capucino blendnya samapi habis.
Risa menyambar kasar handphone Gian, kemudian membacanya.
Tangan Gian tidak sampai menggapai handphonenya kembali.
Risa mengembalikan handphone Gian, Frustasi sendiri.
Tasta, Biza, Estya terbahak.
Gian membaca sms masuk di handphonenya.
86. INT. KAMAR — MALAM HARI
Gian meletakan pensil di atas kertas gambarnya, membaca pesan singkat di handphone, tidak percaya dengan pesan masuk di handphonenya. Pesan dari Daksa bukan Agam seperti biasanya.
87. EXT. HALAMAN RUMAH — MALAM HARI
Gian mengumpulkan keberanian berjalan kkeluar gerbang. Sesekali menoleh ke arah halaman rumah bang Alfa.
Daksa tersenyum ragu, mematung di samping motornya dengan celana panjang dan jaket gelapnya.
Gian menatap Daksa penuh keberanian, memastikan rasa untuknya masih atau tidak ada.
Daksa berkata lirih, kemudian tertunduk.
Gian masih menatap Daksa penuh keberanian.
Gian tetap menatap Daksa penuh keberanian.
Gian menarik nafas pelan, menatap ke atas langit, menahan air matanya agar tidak jatuh.
Di sana potongan-potongan hari teringat lagi, Ares siaga jadi tameng ataupun sekedar menemani duka karena luka. Namna dan Bulan menghibur sepenuh hati. Slevy dan Firiyan dengan tegas memarahi ketika mata masih mencari dan hati teringat lagi. Lestari, Juwita dan Jelita mengalihkan dengan soal-soal matematika juga fisika yang memuakan. Deyan dan Rini menjejalkan berbagai makanan-makanan manisnya sebagai penghilang lara. Indi, Nasayu, Nita, Mala dan Airunisa dalam diam benar-benar menatap nanar. Dan, yang tersulit adalah semua hal-hal yang baru akan mulai dengan Agam, segala ingatan itu mendesak sesak.
Gian menggeleng pelan, menjawab pertanyaan Daksa.
Daksa tidak berkata.Gurat pilu di matanya pun tersirat. Tertunduk beberapa lama sebelum akhirnya mengangkat kepala, kecewa.
Gian menatap Daksa.
Daksa menatap Gian sungguh-sungguh. Menunggu beberapa waktu, menunggu jawaban Gian runtuh berubah menjadi utuh.
Gian benar-benar sudah rutuh dan tidak akan berganti jadi utuh, untuk Daksa.
Gian tersenyum yakin.
Daksa perlahan memakai helm, menaiki dan menghidupkan mesin motornya. Tersenyum sendu ke arah Gian, kemudian menghilang di balik gerbang.
Gian membeku, menggumam diantara kumpulan pilu.
88. INT. PERPUSTAKAAN — SORE HARI
Estya, Tasta mengetikan sesuatu di laptop.
Gian, Biza membaca materi tugas di buku.
Risa bermain mata, menunjuk handphone Gian yang bergetar di meja, berbisik ke arah Gian.
Gian tidak bergemning, lanjut membaca.
Risa merebut handphone Gian.
Suara Gian terpekik, teringat ini perpustakaan.
Risa menghempas tangan Gian, komat-kamit kecil mengetikan sesuatu dengan cepat di handphoe Gian dan menaruhnya kembali ke meja.
Gian menyambar handphonenya.
Gian mengehela nafas, melirik ke arah Risa penuh sebal. Menaruh kembali handphonenya ke meja.
Risa senyum jahil, senyum kemenangan.
Tasta, Biza, Estya senyum-senyum tanpa suara. Melanjutkan kerja kelompok.
89. INT. PERPUSTAKAAN — SORE HARI
Lift perpustakaan berbunyi, pintunya terbuka.
Tasta, Biza, Estya menahan tawa.
Gian kaget, kemudian tertunduk malu.
Agam keluar dari lift bersama rombongannya, Bang Angga, Bang Isat, Bang Bowo dan yang lainnya, tanpa Bang Alfa. Kemudian duduk di salah satu sudut baca.
Agam berjalan ke arah Gian, berdiri persis di sebelah meja Gian. Berbisik.
Gian mengangguk, bangun dari tempat duduknya.
Tasta, Biza, Estya, Risa riuh rusuh dengan suara tertahan.
Agam berjalan ke arah rak buku perpustakaan.
Gian mengekor langkah Agam.
Agam berhenti di korior rak buku.
Gian terdiam.
Wajah bang Bowo muncul dari barisan buku di depan Agam.
Bang Bowo mengangkat kedua jadinya membentuk lambang peace, kembali ke tempat duduknya dambil terbahak tanpa suara.
Agam menghela nafas sebal, tersenyum ke arah Gian.
Gian mengatur nafas, kaget. Balas tersenyum ke arah Agam.
Gian tersenyum.
Agam menunjuk kubikal baca di ujung, tempat rombongannya berada.
Agam tersenyum , melambai pelan berjalan ke arah kubikal baca di ujung.
Gian mengangguk, tersenyum, kembali berjalan ke arah kubikal bacanya.
Tasta, Biza, Estya, Risa masih riuh rusuh dengan suara tertahan, melambaikan tangan tidak sabar menunggu Gian sampai.
90. INT. MOBIL, PERJALANAN — SIANG HARI
TUJUH TAHUN KEMUDIAN.
Gian membuka dashboard brio hitam yang setahun lalu dibeli Gian dan Agam. Mengambil roll poni berwarna kuning dan memakainya.
Gian menggangguk, tersenyum.
Tangan kanan Agam memegang stir, tangan kiri Agam mengacak-ngacak roll poni Gian yang baru terpasang. Matanya tetap menatap ke jalanan di depan.
Gian membetulkan roll poninya.
Gian tersenyum jail, senyum menyebalkan.
Tangan kiri Agam memecet gemas hidung Gian.
Agam meledek, tangan kirinya menggenggam tangan Gian.
Gian terbahak.
Gian menghempas tangan Agam.
Agam gantian terbahak.
Gian menatap ke atas langit, Tersenyum, Mengguman dalam hati,
Bahagia.
Laki-laki di sampingnya memang pelabuhan terpantas. Jiwa mandiri yang tidak pernah lelah berkerja keras. Sandaran ternyaman. Pelukan yang menenangkan. Hati yang tidak pernah bosan untuk jatuh dan jatuh lagi setiap harinya pada tempat yang sama.
Agam akan menjadi tujuan Gian pulang ke'Rumah', tempat hati terakhir singgah. Begitu juga sebaliknya.
Mobil Gian dan Agam terus melaju, ke sana pula mata Gian dan Agam tertuju. Walaupun sesekali sama-sama menoleh lewat kaca spion kecil di kiri dan kanan, seperti bermain lorong waktu. Tidak ada kekhawatiran, karena selalu tau hal-hal menyakitkan yang di tinggalkan jauh di belakang, akan selalu disyukuri sekarang dan kelak di masa depan.
Agam masih sibuk dengan kegiatan mengemudinya, tapi tentu masih sempat menoleh sekilas sambil melemparkan senyum favorit Gian yang terpasang di wajahnya itu.
Gian pun masih duduk lengkap dengan seatbelt sambil memperhatikan gumpalan awan yang mulai menghilang. Jalan sudah tidak semacet sebelumnya.
Menyenangkan, Tersenyum simpul, Gian menghela nafas pelan, mengakhiri lamunan di kemacetan.
Terimakasih, untuk waktu kalian.