KARENA AKU TAK PERNAH MELUPAKANMU
1. Chapter 1
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Raka terjaga dari tidurnya. Pelan, ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya gusar. Lagi-lagi ia bermimpi seorang gadis kecil. Mimpi yang sering hadir di tidurnya sejak beberapa tahun belakangan ini. Mimpi tentang dua anak kecil yang sedang bermain di tepi pantai, lalu ombak menggulung mereka sampai ke tengah laut.

Semula Raka menganggap mimpi itu hanya bunga tidur saja. Tapi, saat mimpi itu terus hadir mengusiknya, Raka mulai merasa ada sesuatu dalam mimpi itu. Sesuatu yang berhubungan dengan dirinya.

Kening Raka berkerut sambil memikirkan sesuatu. Raka beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela kamar. Matanya memicing ketika sinar matahari masuk saat ia membuka jendela. Jakarta terlihat lebih hangat dari biasanya. Kota itu yang mengenalkan dirinya dengan dunia hiburan. Dunia glamour yang ia tekuni sejak ia tamat dari sekolah.

Lagi-lagi bayangan mimpinya muncul begitu saja. Raka bahkan tidak tahu apa maksud semua itu.

“Siapa gadis kecil itu?” Pikirnya.

Belum sempat ia menebak mimpinya, pintu kamar diketuk dari luar. Ketukan itu membuat Raka memalingkan wajahnya sejenak ke arah pintu.

“Mas, Raka...” Suara seseorang terdengar dari luar. Raka menoleh dan menyahut sekenahnya.

“Masuk aja, Surya.” Kata Raka, lalu kembali memperhatikan sudut kota Jakarta yang hiruk pikuk. Ia sangat lelah dengan rutinitas sehari-hari. Pergi pagi pulang pagi. Tak jarang ia mengalami sakit kepala sebelah karena kurang tidur.

Seiring pintu dibuka muncul sosok laki-laki berperawakan gempal masuk sambil menghampiri Raka. Dia adalah asisten pribadi Raka yang selalu siap sedia dengan kebutuhan Raka.

“Ada telpon dari pak Dirga.” Kata Surya seraya memberikan handpone ke Raka. Raka menerima handponenya dan menyapa seperti biasa.

“Halo, selamat pagi, Pak Dirga. Ada kabar apa hari ini?” Tanya Raka dengan suara ngebasnya. Cowok jangkung berkulit putih itu kini menjadi incaran para produser. Karya-karyanya termasuk karya yang sangat disukai anak zaman sekarang.

“Raka, temen saya ingin bertemu denganmu. Kalau boleh secepatnya. Dia ingin bekerjasama.”

“Baik, Pak.” Jawab Raka singkat.

Tak banyak yang keluar dari bibir Raka.

Klik. Raka memutuskan sambungan ponselnya. Ia menyerahkan ponselnya ke Surya.

“Siapkan mobil saya. Kita ke kantor.” Kata Raka seraya beranjak menuju kamar mandi. Surya pun berlalu dan menyiapkan mobil untuk Raka.

###

Raka duduk di bangku tengah sambil mengutak atik ponselnya. Mereka terjebak macet di beberapa persimpangan. Hal itu membuat Raka semakin jenuh. Ia kembali bermain games di ponselnya. Beberapa menit kemudian mobil berjalan pelan menuju studio. Cowok berhidung bangir itu buru-buru menuju ruang audisi. Ia duduk terpaku memperhatikan para finalis audisi sambil sesekali membuat ekspresi membosankan. Pandangannya semu. Ia bersandar pada kursi sambil melamun. Sudah lima peserta yang diaudisi. Satu pun tidak ada yang menarik perhatiannya. Mereka memiliki suara yang biasa-biasa saja.

“Gimana menurut lo?” Tanya Revan, temannya yang merangkap koordinator audisi. Revan sudah menemukan seorang penyanyi yang suaranya sangat khas, namun belum cocok di telinga Raka.

Raka menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan rasa kesal. Tangannya mengambil air meneral di atas meja, kemudian ia meneguknya.

“Gue belum nemu yang bener-bener pas untuk lagu ini, Rev.” Ucapnya sambil meletakkan botol minuman.

“Mau lo yang gimana lagi? Udah dua puluh peserta audisi yang udah lo tes. Satu pun nggak ada yang kecantol? Gimana kalau lagu-lagu lo dinyanyiin ama Rio aja?” Usul Revan kemudian.

Raka beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan studio. Ia mengambil sebatang rokok dari sakunya lalu menyulutnya. Sambil berjalan keluar ia menghisap rokok dan menghembuskannya dengan leluasa. Asab menyebar kemana-mana. Revan mengikutinya dari belakang kemudian mereka masuk ke ruangan khusus perokok.

“Ayolah, Bro... lo nggak boleh egois. Ada beberapa peserta yang suaranya bagus. Lo nggak tertarik juga? Rio juga bagus suaranya dan pas untuk lagu-lagu lo.”

“Sudah terlalu biasa, Rev. Lagu gue udah pernah dinyanyiin Rio dan gue mau yang baru. Gue pengen mereka memiliki suara yang beda dan unik. Kalau cuma bernyanyi aja banyak. Tapi mereka bernyanyi tidak dengan hati. Menjadi penyanyi itu nggak gampang. Butuh penghayatan yang penuh dan penjiwaan yang dalam.”

Cowok bertubuh gempal berkulit sawo matang itu menatap Raka dengan lekat. Sudah beberapa dekade album Raka belum juga rilis. Raka juga pusing memikirkan masa depan karirnya. Belum lagi job manggung dan live semakin sepi. Raka melumatkan puntung rokoknya di asbak kaca di atas meja, lalu beranjak dari tempatnya.

“Lo mau kemana?” Tanya Revan penasaran.

“Gue mau refresing dulu bro... Gue mau nenangin otak gue yang udah hampir meledak.” Ucap Raka seraya beranjak meninggalkan Revan yang memandangnya sampai keluar dari ruangan merokok. Revan hanya menghela dengan kesal dan kembali ke ruangannya.

Belum sempat Raka keluar, tiba-tiba ponselnya berdering. Dari mamanya. Raka melenguh sambil menepuk jidatnya.

“Ya halo, Ma…” Sapanya datar.

“Kamu dimana, Raka? Kok nggak jenguk mama?” Tanya perempuan bersuara berat di seberang sana.

“Oppss... Maaf, Ma, Raka lupa. Raka lagi di jalan nih langsung jenguk mama.”

“Huh, kamu itu ya suka ngelupain mama kalau udah kerja. Memangnya kamu nggak pernah memikirkan mama ya?”

“Bukan begitu, Ma. Tadi di studio Raka lagi ada audisi untuk lagu baru, jadi lupa kalau mama ada di rumah sakit.”

“Pokoknya buruan ya, Raka. Sekalian bawain mama bubur ayam gak pake cabe. Mama kepengin bubur ayam langganan kamu itu. Sekalian belikan buah segar untuk mama.”

“Iya, Ma.”

“Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”

“Iya, Ma.”

Klik.

Raka menyudahi pembicaraannya begitu saja dan memasukkan ponselnya ke saku celana. Buru-buru ia keluar dari gedung berlantai empat itu dan menuju mobilnya. Mobil melaju meninggalkan gedung studio. Jalanan macet di beberapa persimpangan dan hal itu membuat Raka semakin kesal. Ia menepuk dashboard, kemudian terpaku sambil memperhatikan mobil-mobil yang bergerak lambat. Raka menyalakan radio di mobilnya. Terdengar suara penyiar yang serak-serak basa membawakan sebuah acara.

Raka terpaku ketika mendengarkan sebuah lagu yang dibawakan oleh seorang gadis tak dikenal. Raka tertegun dan seperti mengalami mimpi yang tak pernah berakhir. Lagu itu membuatnya teringat akan masa lalu. Bayangan-bayangan masa kecil itu muncul di benaknya. Masa dimana semuanya masih terasa indah. Masa di mana ia mengenal sosok gadis kecil yang kini entah dimana. Bencana itu membuat mereka berpisah. Ia lupa siapa nama gadis kecil yang bersamanya.

Tiba-tiba saja Raka tercekat ketika suara klakson membahana di telinganya. Lamunannya pun buyar dan ia kembali konsentrasi ke jalanan. Jakarta membuatnya jengah dengan kemacetan yang tiada henti.

Di persimpangan toko buah, Raka menghentikan mobilnya. Ia ingin membeli buah untuk mama. Setelah pesanan mama lengkap, Raka kembali menyusuri jalan hitam yang penuh sesak.

Raka tiba di rumah sakit dan masuk ke ruangan mama. Ia menyapa mama sambil mengecup pipi kanan dan kiri.

“Mama... Sudah gimana keadaannya?” tanya Raka setelah mengecup pipi mama.

“Sudah lumayan baikkan, Raka.” Papa menyahut dan mama hanya tersenyum. Kemudian Raka duduk di sisi tempat tidur dan mengelus tangan mama.

“Kamu lembur lagi?”

Raka mengulas senyum tipis hingga terlihat giginya yang putih.

“Ada produser yang ingin kerjasama, Ma. Do’akan kerjasama itu terjalin dan Raka akan membawa mama jalan-jalan ke luar negeri. Mama ikut ya.”

Perempuan berambut setengah putih itu hanya tersenyum dan mengangguk.

“Mama hanya bisa berdoa agar kamu diberi yang terbaik. Sudah lama sekali mama nggak jalan-jalan bareng kamu.” ujar mama.

“Yang penting mama harus sembuh, makan yang banyak dan kita jalan-jalan. Raka mau refresing untuk nenangin pikiran, Ma.”

“Besok mamamu juga udah sembuh kok. Mamamu cuma kurang piknik kata dokter.” Papa ikut nyeletuk dengan diiringin gelak tawa. 

“Hahahaha...”

Raka merasa iba dengan perempuan yang terbaring di atas tempat tidur. Ia sangat menyayangi mama lebih dari apa pun. Walau dia sudah tahu kalau perempuan itu bukan mama kandungnya. Tapi perempuan itu adalah seorang malaikat yang menyelamatkannya dari maut. Saat ia diselamatkan tim SAR, perempuan itu yang memungutnya.

“Mama cepat sembuh yah.” Ucap Raka sebelum ia pamit pulang.

Mama mengangguk seraya mengumbar senyum tipis.

“Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut.” Kata mama menasehati.

“Iya, Ma. Raka pulang dulu.” Ucap Raka seraya mengecup tangan mama. Raka berlalu dan keluar dari kamar rumah sakit.

###

Raka menstarter mobilnya dan melaju perlahan keluar dari rumah sakit. Ponsel Raka bergetar dan ia mengambil ponselnya di atas dashboard. Ia melihar reminder yang tertera dilayar monitor. Casilda. Raka memencet tombol OK dengan tangan kirinya.

“Halo…” Sapanya dengan suara ngebasnya.

“Raka, kamu di mana?” tanya Casilda di seberang sana.

“Aku lagi di jalan.” jawab Raka singkat.

“Kamu gak jadi jemput aku? Katanya mau ke galeri cari cincin pernikahan?”

“Hmm…” Raka membuat kerutan di dahinya. “Aku lagi sibuk nih, Cil. Besok aja ya...”

“Ughh… Kamu gimana sih.” Terdengar suara rengekan manja dari seberang sana.

“Besok ada audisi. Aku harus mempersiapkan semuanya. Udah dulu ya.”

Klik. Raka mematikan ponselnya begitu saja. Sementara Casilda merungut-rungut kesal di seberang sana.

Sesampainya di rumah, Raka menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia menyelonjorkan kedua kakinya di atas meja, lalu mengambil sebungkus rokok dari saku celananya. Ia mengambil sebatang dan menyulutnya. Kepulan asab menyebar kemana-mana.

“Biikkk...” Panggilnya kepada sang pembantu.

“Iya, Tuan.” Sahut perempuan baya sambil tergopoh-gopoh berlari.

“Buatin saya kopi ya.”

“Baik, Tuan.” Perempuan itu langsung berlalu ke dapur.

Raka mengambil laptopnya dari dalam tas lalu membukanya. Ia memperhatikan kembali video rekaman peserta audisi dari latopnya. Sebagian dari mereka tidak menarik perhatiannya. Suara-suara yang fals dan belum cocok di telinganya membuat ia jenuh.

Darmi, nama perempuan pembantunya datang membawakan secangkir kopi panas, lalu meletakkannya di atas meja. Setelah itu ia kembali ke dapur.

Tangan kanan Raka mengambil mug berisi kopi dan meniupnya sejenak. Kemudian ia menyeruput kopi dengan perlahan. Aroma yang diidam-idamnya menyeruak memadati ruangan.

Sudah lima peserta audisi yang ia dengar suaranya. Kelimanya belum menarik perhatiannya. Matanya mulai lelah dan ia sangat mengantuk. Besok hari kedua diadakan audisi dan Raka tidak mau menghabiskan waktunya begitu saja. Ia mematikan komputernya dan beranjak dari sofa dengan berat. Ia mematikan lampu ruangan dan menuju kamarnya.

Matanya tak bisa terpejam. Lagi-lagi bayangan mimpi itu muncul di benaknya. Siapa bocah kecil itu? Bathinnya. Mengapa mimpi itu lagi-lagi menghantuinya. Ia bahkan tidak mengenal siapa gadis kecil di pinggir pantai itu.

###

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)